Dewan Gereja Dunia Desak Indonesia Akhiri Kekerasan di Papua

Sementara Sekjen Konferensi Gereja Pasifik mengatakan hampir 5.000 orang ditangkap di Papua pada 2016, penasihat Kemlu pada misi Indonesia untuk PBB di Jenewa mengatakan hanya 20 orang yang ditangkap.
Victor Mambor
2017.03.03
Jenewa
170303_ID_papua_1000.jpg Suasana pertemuan konsultasi situasi HAM Papua yang dilaksanakan oleh Dewan Gereja Sedunia (WCC) di Jenewa, Swiss, 22-23 Februari 2017.
Victor Mambor/BeritaBenar

Koalisi gereja-gereja kembali mendesak Indonesia untuk membuka akses bagi wartawan internasional, pengamat independen, organisasi pembela hak asasi manusia (HAM) serta Palang Merah Internasional (ICRC) masuk ke Papua dan Papua Barat.

Desakan ini dikatakan Peter Prove, Ketua Komisi Hubungan Internasional Dewan Gereja Sedunia (WCC) saat diwawancara BeritaBenar, di Jenewa, Swiss, Selasa, 28 Februari 2017.

Dia menambahkan, WCC baru saja menyelenggarakan konsultasi tentang HAM Papua bersama International Coalition of Papua (ICP) di Kantor WCC, Jenewa, 22-23 Februari lalu.

"Gereja sepenuhnya mendukung desakan tersebut setelah Sekjen WCC, Rev. Dr Olav Fykse Tveit, berkunjung ke West Papua tahun 2012. Kami mendukung perjuangan hak asasi manusia rakyat Papua. Kami mendesak diakhiri kekerasan yang berlangsung dan impunitas," kata Prove.

Sedangkan, Tveit menegaskan desakannya agar Pemerintah Indonesia memulai dialog serius dan proses politik yang konkrit untuk mengatasi permasalahan di Tanah Papua.

"Kami mendukung penegakan keadilan sosial dan ekonomi melalui dialog dan proses politik yang konkrit sebagai upaya mengatasi akar penyebab masalah ini," katanya.

Pdt Jochen Motte, anggota WCC dari Gereja Misi Inggris di Jerman, mengatakan kerjasama ICP dan WCC sudah dimulai sejak tahun 2005.

"Bersama WCC dan mitra di Papua, jaringan berbasis kepercayaan yang kami buat secara berkelanjutan telah menerbitkan beberapa studi tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di Papua," jelasnya.

Motte menyebutkan bahwa laporan-laporan tersebut dikonsultasikan bersama gereja-gereja se-dunia setiap tahun di Eropa.

Dukungan

Persoalan HAM dan politik di Papua sejauh ini mendapat dukungan kuat dari sesama negara Melanesia dan Pasifik. Gereja Pasifik sejak lima tahun terakhir mendukung bukan saja penegakan HAM di Papua, tetapi juga hak penentuan nasib sendiri.

Rev. Francois Pihaate, Sekretaris Jenderal Konferensi Gereja-Gereja Pasifik yang berbasis di Fiji, mengatakan gereja-gereja di wilayah tersebut sangat prihatin dengan kekerasan di Papua dan mendukung dilakukan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.

"Bagaimana mungkin kita sebagai gereja tidak bisa tahu tentang apa yang terjadi di luar dunia kita? Sebagai gereja, kita harus terlibat mengakhiri penderitaan yang dialami rakyat West Papua,” katanya kepada BeritaBenar.

Pihaate menyebutkan, setiap tahun ia mendapat laporan dari gereja di Papua tentang penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan yang dilakukan aparat keamanan terhadap orang asli Papua.

Laporan ini menggerakkan gereja-gereja di kawasan Pasifik menggalang dukungan untuk penentuan nasib sendiri rakyat Papua, seperti dilakukan Pacific Islands Association of Non-Government Organizations (PIANGO), forum organisasi non-pemerintah di kawasan Pasifik.

“Tahun lalu, hampir 5.000 orang ditangkap di Papua karena demonstrasi secara damai. Sebagian mereka bahkan ditahan tanpa alasan yang jelas. Mereka dituduh makar. Ini laporan dari gereja di Papua yang kami terima,” tegas Pihaate.

Bantahan Indonesia

Pernyataan Pihaate dibantah Denny Abdi, penasihat Kementerian Luar Negeri pada misi Indonesia untuk PBB di Jenewa, dengan mengatakan data yang didapatnya sepanjang tahun 2016 hanya 20 orang yang ditangkap.

“Saya mau klarifikasi, laporan yang kami terima, hanya 20 orang ditangkap tahun 2016 saat berdemo. Itu juga karena membawa senjata tajam,” katanya kepada BeritaBenar.

Namun Veronica Koman, pengacara public “Papua Itu Kita” yang berada di Jenewa untuk konsultasi ICP dan WCC menegaskan jumlah penangkapan yang terjadi di Papua selama tahun 2016 memang mencapai 5.000 orang.

Penangkapan paling besar terjadi pada Mei 2016 saat aksi damai menentang aneksasi Indonesia ke Papua Barat tanggal 1 Mei.

“Saat itu, di Jayapura saja hampir dua ribu orang ditangkap. Belum lagi di Merauke, Manokwari, Timika, Sentani, Wamena dan Sorong. Belum termasuk di luar Papua seperti Jakarta dan Manado,” jelasnya.

Veronica, yang sebelumnya merupakan pengacara publik di LBH Jakarta ini menjelaskan bahwa dalam KUHP sudah sangat jelas jika terjadi pemindahan dari satu lokasi ke lokasi lainnya yang diikuti dengan motif penyelidikan itu adalah penangkapan.

“Mereka yang berdemo damai itu kan dipindahkan dari lokasi demo ke markas Brimob Papua dan kantor polisi. Mereka juga didata, itu memenuhi unsur penyelidikan. Jadi itu adalah penangkapan oleh polisi,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.