‘Jihad Selfie’, Cara ISIS Merekrut Remaja Galau

Ismira Lutfia Tisnadibrata
2016.07.26
Jakarta
jihadselfie1000a.jpg Noor Huda Ismail (kanan) didampingi Teuku Akbar Maulana berbicara dalam diskusi usai pemutaran film dokumenter “Jihad Selfie” di Jakarta, 24 Juli 2016.
Ismira Lutfia Tisnadibrata/BeritaBenar

Di tengah gencarnya program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah dalam upaya menangkal niat pemuda Indonesia tergoda menjadi pejuang ISIS, ternyata ada satu hal sederhana tapi sangat ampuh, yaitu komunikasi dan hubungan baik antara anak dan orangtua.

Hal ini dirasakan remaja 17 tahun asal Aceh, Teuku Akbar Maulana yang hampir saja bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), tetapi kemudian mengurungkan niatnya.

“Saya tak jadi ikut (ISIS) karena dekat dengan orangtua, saya sering curhat sama mereka,” ujar Akbar, menggunakan istilah "curhat" - curahan hati, saat menjabarkan kedekatannya dengan orangtua dalam diskusi usai pemutaran film dokumenter "Jihad Selfie".

BeritaBenar menyaksikan film berdurasi sekitar 50 menit karya pakar terorisme Noor Huda Ismail saat penayangan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Minggu 24 Juli 2016.

Dalam film itu, Huda, panggilan akrab Noor Huda Ismail, menceritakan pengalamannya pertama bertemu Akbar pada 2014 di Kayseri, satu kota di Turki dimana remaja itu belajar di sekolah setingkat SMA atas beasiswa pemerintah Turki.

Huda berada di Turki untuk menghadiri konferensi dan sempat meluangkan waktu untuk berjalan-jalan ketika berkenalan dengan Akbar. Dalam percakapan, Akbar mengaku sedang menunggu dijemput temannya untuk “menyeberang”.

“Maksudnya mau menyeberang (perbatasan) ke Suriah,” ujar Huda, yang kini sedang menyiapkan disertasi doktoral tentang jender dan maskulinitas terorisme di Indonesia pada Universitas Monash di Australia.

Sebelumnya, Huda dikenal sebagai penggagas program untuk mengintegrasikan mantan kombatan yang berperang di luar negeri dan bekas terpidana terorisme melalui usaha restoran bistik di Solo dan Semarang.

Akbar, yang tak tahu latar belakang Huda sebagai pakar terorisme, menunjukkan kepada Huda percakapan melalui akun Facebook dengan temannya, Yazid.

Yazid ialah remaja asal Surabaya, yang satu sekolah dengannya tapi sudah lebih dulu bergabung dengan ISIS. Ia mengajak Akbar untuk ikut. Dalam film itu, disebutkan Yazid sudah tewas.

Saat itu, Huda mengaku tidak bisa berkata banyak pada Akbar, tetapi ia memberi nomor kontaknya. Nasib baik berpihak pada Akbar, karena temannya itu tak pernah datang menjemput.

Akbar menghubungi Huda. Sejak itu, mereka menjalin hubungan baik. Huda pun tergerak membuat “Jihad Selfie”, untuk menunjukkan sisi lain pemahaman yang selama ini diyakini rekrutmen ISIS terjadi karena proses radikalisasi ajaran agama Islam.

Salah satu adegan dalam film “Jihad Selfie”. (Dok. jihadselfie.com)

Kegalauan mencari identitas

Dalam film itu, Huda menunjukkan kegalauan masa remaja ketika mereka sedang mencari identitas diri ditambah ketiadaan hubungan harmonis antara anak dan orangtua bisa mendorong remaja tergoda bergabung ISIS.

Menurut Akbar dan Noor, Yazid dan juga Wildan Mulkholad, remaja asal Lamongan, Jawa Timur, yang tewas dalam aksi bom bunuh diri ISIS di Irak tahun 2014 tidak punya hubungan yang dekat dengan orangtuanya, terutama ayahnya.

“Film ini sebenarnya lebih seperti film pengasuhan sebagai orangtua,” ujar Huda seraya menyebutkan, dokumenter itu dia dedikasikan kepada kedua anaknya dan bukan untuk menyudutkan satu pihak tertentu.

Dalam kegalauan masa remajanya, Akbar sempat terpesona melihat foto Yazid yang terlihat gagah memegang senjata AK-47 di Facebook.

Akbar mengatakan salah satu bujukan Yazid untuk bergabung dengan ISIS ialah hidup yang menyenangkan di sana karena mendapat uang saku dan bisa makan kebab setiap hari.

“Sebenarnya banyak yang menceritakan yang jelek-jelek tentang ISIS, tapi selalu ada yang menyanggahnya (di media sosial),” ujar Akbar.

Adegan dalam film ‘Jihad Selfie’, dimana Akbar memeluk ayahnya. (Dok. jihadselfie.com)

Media sosial

Media sosial menjadi alat andalan ISIS untuk bersosialisasi dan merekrut anak muda seperti Akbar dan Yazid, yang penyendiri dan sering menghabiskan waktu berjam-jam di warung internet bermain game.

Hal itu diakui Fauzan Anshori, pendukung ISIS di Indonesia dan pendiri sebuah pesantren di Jawa Barat. Dia mengatakan media sosial sangat berguna untuk menyebarluaskan paham ISIS walau ada cibiran bahwa alat yang digunakan itu dibuat orang Yahudi yang dianggap kafir.

“Saya tidak ada masalah Yahudi yang menciptakan Facebook dan WhatsApp. Alhamdulillah mereka menciptakannya untuk kita pakai,” ujar Fauzan dalam film tersebut.

Adegan lain mengisahkan tentang Ahmad Junaidi, yang dipenjara tiga tahun karena bersimpati pada perjuangan ISIS. Dulu, Ahmad hanya pedagang bakso keliling di Malang, Jawa Timur. Ia ditangkap Densus 88, Maret 2015 dan divonis awal tahun ini.

Karena aturan penjara yang tidak memungkinkan pengambilan gambar, Huda hanya menampilkan rekaman pembicaraannya dengan Ahmad.

“Ahmad Junaidi lebih seperti korban yang terkena radikalisasi. Dulu dia hanya berjualan bakso. Namun yang merekrut dan penyedia dana tidak pernah dicari," ujar Huda.

Menurutnya, untuk mencegah perekrutan anggota ISIS, negara bisa menggunakan mereka yang pernah bergabung kelompok militan itu, tapi kemudian kembali. Mereka kecewa karena situasi di sana tidak seindah seperti digambarkan.

Dari pembuatan film ini, Huda menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang pun yang dilahirkan sebagai teroris. Mereka menjadi begitu karena melalui sebuah proses.

“Isu terorisme bukan hanya isu keamanan tapi juga isu sosial,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.