Rasau Jaya, ‘Kota Jawa’ di Kalimantan Barat

Meski telah berpuluh tahun tinggal di Kalimantan Barat, warga transmigran tetap bisa berbicara bahasa Jawa dan melestarikan budaya daerah asal mereka.
Severianus Endi
2017.07.21
Pontianak
170721_ID_Trans_1000.jpg Kasmini (kanan) berbincang dengan seorang tamu di halaman rumahnya di Desa Rasau Jaya I, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, 18 Juli 2017.
Severianus Endi/BeritaBenar

Sore merambat di Dusun Suka Bakti, Selasa, 18 Juli 2017, saat Kasmini (75) sendirian di beranda rumahnya. Hujan ringan yang sempat mengguyur, menyisakan hawa sejuk di halaman nan teduh dengan aneka tanaman.

Mbah Mul, begitu perempuan enam anak dan nenek beberapa cucu ini disapa. Ia adalah transmigran angkatan pertama di Rasau Jaya, yang kini telah menjadi sebuah kecamatan di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Sekitar 45 tahun silam, dia bersama suaminya Samian (80) dan empat anak tiba di sana. Beberapa tahun kemudian, dia melahirkan dua orang anak di "tanah baru" itu.

"Sekarang teman-teman angkatan pertama dari Bojonegoro hanya tinggal tujuh orang. Perkembangan sudah sangat maju dibandingkan pertama kali kami datang," tutur Mbak Mul, yang sore itu mengenakan jilbab hitam, kepada BeritaBenar.

Seperti umumnya perempuan Jawa pedesaan, Mbah Mul mengenakan jarik, bahasa Jawa untuk kain. Kepada tamunya, ia menyuguhkan jadah, makanan ringan berupa olahan beras ketan dicampur kelapa, khas makan kampung asalnya di Bojonegoro, Jawa Timur.

Usianya yang senja, tidak memupuskan semangatnya bercerita. Ia masih ingat jumlah rombongan dan kepala keluarga (KK) yang pertama datang ke situ:150 KK dari Jawa Timur.

Pemerintah memberi dua hektar lahan pertanian dan sebuah rumah kepada setiap KK transmigran. Selama 18 bulan, mereka menerima bantuan sembako, sambil menanti lahan pertanian menghasilkan.

Tahun-tahun berikutnya, mereka menerima bantuan ternak berupa ayam, sapi, dan kambing. Pelan tapi pasti kehidupan mulai berubah, kendati beberapa transmigran ada yang putus asa dan kembali ke Jawa.

"Saat masih di Bojonegoro, saya bekerja sebagai buruh tani. Alhamdulillah, setelah jadi transmigran, hasil pacul (cangkul) bisa menyekolahkan anak-anak sampai berhasil," kata Mbah Mul, yang anaknya menjadi pegawai negeri sipil dan bekerja di sektor swasta.

Saat ini, empat cucu tinggal bersamanya.

Waktu tempuh ke Rasau Jaya dari Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat, hanya perlu 40 menit untuk jarak 30 kilometer itu. Sangat berbeda ketika Mbah Mul dan keluarga pertama kali tiba di sini.

"Dulu kami harus jalan kaki seharian ke Pontianak untuk membeli radio dan petromak saja," tuturnya sambil tertawa.

Dikunjungi Soeharto

Satu pengalaman tak terlupakan di tengah perjuangan memulai hidup di tanah baru itu adalah kunjungan Presiden Soeharto, tahun 1979. Pak Harto datang ke dusun yang kala itu masih berada di tengah hutan belantara dengan beberapa helikopter, dan mendarat di lapangan dilapisi papan di depan rumah Mbah Mul.

Putra keempatnya, Kasnur (46) sedang menjenguk ibunya, sore itu. Kasnur baru berusia sembilan bulan saat keluarganya pindah ke belantara Kalimantan sebagai transmigran.

"Masa kecil saya masih banyak pohon yang besarnya sepelukan orang dewasa," katanya.

Seorang pekerja mempersiapkan kapal kayu untuk mengangkut barang dan penumpang di pelabuhan kecil Rasau Jaya, 18 Juli 2017. (Severianus Endi/BeritaBenar)

Kota transit

Hasil pertanian seperti jagung, ketela, kacang tanah, kelapa, keladi, serta berbagai jenis sayuran dan buah-buahan mudah dijumpai. Banyak kios kecil atau toko berjejer di sepanjang jalan menjual komoditas ini.

Industri rumahan juga banyak diproduksi, seperti kerupuk rengginang terbuat dari beras dan aneka bumbu, diberi label “oleh-oleh khas Rasau Jaya”.

Rasau Jaya ditetapkan Pemerintah Kabupaten Kubu Raya sebagai sentra jagung hibrida. Ada 2.000 hektar lahan yang diharapkan bisa menghasilkan komoditas unggulan itu.

Letaknya di bagian pesisir, menjadi transit bagi lalu lintas warga dari dan ke pedalaman. Jarak Pontianak yang relatif dekat, menjadikan Rasau Jaya, tempat persinggahan barang dan jasa. Beberapa pelabuhan menawarkan layanan transportasi kapal kayu atau klotok dan speed boat.

Untuk menuju Teluk Batang di Kabupaten Kayong Utara, misalnya, kapal klotok muatan barang dan penumpang ditempuh sembilan hingga 10 jam. Tarif satu penumpang Rp75 ribu. Sedangkan tarif speed boat untuk tujuan sama Rp200 ribu per orang dengan waktu tempuh sekitar 3,5 jam.

Tak hanya warga transmigran yang menikmati kemajuan ini. Tanjung (51), perantau asal Tanah Minang yang tiba di Pontianak pada 1986, berjualan kain dan kadang jadi tukang ojek yang biasanya mangkal di pelabuhan.

"Tiap hari pukul 10.00 dan pukul 14.00, ada kapal klotok berangkat dan berlabuh," tutur laki-laki yang fasih berbahasa Jawa, yang dipelajarinya di tanah rantau itu.

Tenteram

Suasana tenteram cukup terjaga di Rasau Jaya. Ini dirasakan Michael Warsito, seorang pastor Katolik yang sudah enam tahun melayani umat yang mencakup 27 stasi (satuan terkecil komunitas Katolik di desa-desa).

Pesta perkawinan dan acara lain kental nuansa Jawa mulai dari dekorasi sampai musik dan tarian tradisional. Warga juga memiliki kelompok karawitan (musik tradisional) dan permainan jaranan atau kuda lumping.

Bahasa Jawa masih menjadi bahasa pengantar, bahkan digunakan oleh generasi yang lebih muda. Meski tinggal di Kalimantan, semua anak Mbah Mul tetap berbahasa Jawa halus. Begitu juga warga lain. Ketika ke pasar, transaksi atau sekadar bincang-bincang, dilakukan dalam bahasa Jawa.

"Daerah ini relatif jauh dari komunitas lain, makanya nuansa Jawa kental. Saya rasa ini potret kebhinekaan yang baik karena perbedaan tidak pernah menjadi masalah," tutur Warsito.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.