Pakar: Negara Bisa Merugi Jika WNI Simpan Kekayaan di Luar

Pemerintah masih tetap menyelidiki dana sebesar US$14 miliar milik 81 WNI yang ditransfer Standard Chartered Bank ke Singapura
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2017.10.13
Jakarta
171013_ID_Moneytransfer_1000.jpg Sejumlah warga melaporkan nilai pajak mereka pada hari terakhir program tax amnesty tahap pertama di Jakarta, 30 September 2016.
AFP

Indonesia berpotensi mengalami kerugian besar karena ada devisa hilang dengan masih ada warga negara Indonesia (WNI) menyimpan kekayaannya di luar negeri, ujar peneliti ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bima Yudhistira.

Hal ini dikatakannya menyusul laporan media massa dalam sepekan hari terakhir bahwa regulator keuangan di Eropa dan Asia tengah menyelidiki transfer dana sebesar US$14 miliar atau senilai Rp18,9 triliun milik para nasabah asal Indonesia yang dilakukan oleh Standard Chartered Bank pada akhir 2015 dari Guernsey, sebuah pulau di kanal Inggris ke Singapura.

“Ada potensi cadangan devisa yang tidak tercatat, yang seharusnya bisa ditarik ke dalam negeri untuk membiayai pembangunan,” ujarnya kepada BeritaBenar, Kamis, 12 Oktober 2017.

Menurut Bima, dana tersebut seharusnya bisa digunakan untuk menggenjot kegiatan ekonomi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Apalagi target penerimaan pajak tahun ini yang hingga September baru mencapai target 60 persen atau senilai Rp 770 triliun dan masih ada sisa sekitar Rp 513 triliun yang harus dikejar sampai akhir tahun ini demi memenuhi target.

Potensi penerimaan pajak bisa didapatkan dari mereka yang ternyata masih menyimpan harta di luar negeri, setelah program amnesti pajak berakhir Maret lalu, karena mereka akan harus bayar denda yang sangat besar atau sekitar 200% dari nilai pajak mereka.

“Pemerintah harus tegas agar harta mereka masuk kas negara,” ujar Bima lagi.

81 nasabah

Sebelumnya pada Senin, 9 Oktober lalu, Direktur Jendral Pajak, Ken Dwijugieastadi mengatakan kepada wartawan bahwa hasil penyelidikan Direktorat Jendral Pajak (DJP) menunjukkan bahwa dana US$14 miliar itu adalah total jumlah yang ditransfer oleh 81 nasabah.

Selain itu, DJP juga menemukan bahwa 62 di antara mereka telah ikut program amnesti pajak dan sisanya 19 orang masih diselidiki apakah mereka juga telah ikut program yang berlangsung selama sembilan bulan hingga Maret 2017.

Ken mengatakan saat ini pihaknya sedang melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap data-data yang ada dan berkoordinasi dengan Pusat Penelitian Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Upaya penyelidikan itu sudah dilakukan sejak dua bulan lalu, termasuk mencocokkan data-data para nasabah dengan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak dan laporan hasil analisis (LHA)

“Dari 81 warga negara Indonesia tersebut, tidak ada nama pejabat TNI, tidak ada nama pejabat Polri, tidak ada nama penegak hukum dan nama pejabat negara,” ujar Ken sambil menambahkan bahwa mereka yang namanya ada dalam daftar tersebut adalah “murni pebisnis”.

Namun Bima mengatakan bahwa seharusnya pemerintah bisa lebih tegas dalam menyikapi teridentifikasinya nama-nama mereka yang melakukan transaksi itu.

“Harusnya DJP membeberkan inisial nama-nama mereka yang 62 orang dan sisanya yang 19 orang sebagai shock therapy bagi pengemplang pajak besar yang belum ikut amnesti pajak,” ujar Bima.

“Ini baru satu tempat surga pajak, bagaimana dengan tempat-tempat surga pajak lain? Ini menunjukkan adanya potensi kerugian yang dialami negara.”

Tetap selidiki

Wakil Kepala PPATK, Dian Ediana Rae, mengatakan PPATK sejauh ini masih menyerahkan pada DJP karena dugaan sementara kasus ini terkait masalah pengemplangan pajak.

Dian juga mengatakan PPATK tetap melakukan penyelidikan mengenai kemungkinan adanya tindak pidana lain namun semuanya akan tergantung pada perkembangan fakta-fakta di lapangan dan informasi-informasi lain yang diterima lembaga tersebut.

Mengenai dugaan adanya kaitan uang yang ditranser itu dengan personil militer, Dian mengatakan PPATK akan tetap objektif dalam penyelidikannya tanpa mengarahkannya pada tujuan tertentu dan berdasarkan fakta-fakta objektif yang berkembang di lapangan.

“Harapan saya kasus ini tidak menjadi kegaduhan politik, percayakan saja kepada PPATK dan aparat penegak hukum, termasuk DJP,” ujarnya kepada BeritaBenar.

Dian menambahkan PPATK sudah membangun kapasitas intelijen keuangan yang baik dengan menggunakan pendekatan lintas disipliner yang cukup kuat.

Selain itu juga dibekali pengetahuan yang baik mengenai berbagai transaksi ekonomi dan transaksi keuangan maupun terkait pengetahuan aspek hukum serta kerjasama dan koordinasi di tingkat internasional yang baik dan dibekali pemahaman setiap kemungkinan tipologi kejahatannya.

“Kita gabung semua kapasitas itu untuk mengungkap berbagai kasus selama ini, termasuk mengenai transfer dana internasional seperti ini, yang jelas jangan mengasumsikan transfer keuangan seperti ini adalah pasti pelanggaran hukum,” ujar Dian.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.