Aceh Resmi Berlakukan Penuh Qanun Jinayat
2015.10.22
Banda Aceh
Pemerintah Aceh mulai hari Jumat 23 Oktober resmi memberlakukan secara penuh Qanun Hukum Jinayat yang mengatur sejumlah tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 200 kali cambuk di depan publik. Syariat Islam selama ini diberlakukan secara parsial sejak tahun 2001.
Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Syahrizal Abbas menyatakan, pemberlakuan Qanun Jinayat sesuai ketentuan bahwa setahun setelah diundangkan pada lembaran daerah Aceh, qanun tentang hukum pidana Islam tersebut mulai berlaku bagi semua Muslim di Aceh.
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan Qanun Jinayat pada tanggal 27 September 2014 meskipun para aktivis pembela hak asasi manusia (HAM) mengkritik karena terdapat sejumlah klausul multi-tafsir sehingga dikhawatirkan terjadi masalah saat diimplementasikan.
Alasannya, banyak kasus pelanggaran syariat Islam yang diproses selama ini dari hasil tangkap tangan polisi atau polisi syariah.
“Yang kami khawatirkan ialah akan terjadi improsedural penegakan hukum sehingga hak-hak tersangka dilanggar,” ujar Hendra Saputra, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Aceh kepada BeritaBenar, Kamis.
Selain itu, pihaknya juga khawatir penegakan syariat Islam hanya kepada rakyat kecil.
“Selama ini penegakan syariat Islam tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Banyak kasus pelanggaran syariat yang melibatkan pejabat tidak dicambuk, tapi masyarakat biasa dicambuk,” katanya sambil menambahkan Kontras menolak hukuman cambuk.
Dia menambahkan, pelaksanaan Qanun Jinayat juga tidak berlaku kepada semua kalangan.
“Qanun Jinayat juga tidak berlaku bagi anggota TNI di Aceh. Seharusnya mereka bisa tunduk pada Qanun Jinayat sebagai wujud dukungan pelaksanaan syariat Islam dan bentuk kekhususan Aceh,” tukas Hendra.
‘Perempuan jadi korban’
Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Azriana menyatakan, selama 14 tahun pelaksanaan qanun syariat, perempuan yang selalu menjadi korban, seperti saat polisi syariah (Wilayatul Hisbah) menggelar razia pakaian serta penegakan qanun khalwat atau mesum. Ia khawatir hal sama tetap berlangsung saat Qanun Jinayat dilaksanakan.
“Setiap aturan yang mengatur tentang moralitas, banyak sekali dampaknya terhadap perempuan. Ini bentuk diskriminasi karena bagi perempuan akan melekat sepanjang hidupnya stigma negatif di tengah masyarakat bila ia melakukan pelanggaran,” tegas perempuan aktifis asal Aceh itu kepada BeritaBenar, Kamis.
“Yang sangat menjadi keprihatinan kami adalah bakal ada impunitas terhadap pelaku pemerkosaan karena bentuk pembuktiannya lewat sumpah. Jika pelaku bersumpah tidak mempemerkosa, maka pemerkosaan dianggap tak terjadi.”
Azriana dan Hendra menambahkan bahwa kedua lembaga itu akan terus memantau ketat pelaksanaan Qanun Jinayat. Mereka bakal mengeluarkan temuan secara rutin kalau menemukan persoalan dalam pelaksanaannya.
Ajak semua pihak memantau
Syahrizal dari Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh menyambut baik keinginan semua pihak memantau pelaksanaan Qanun Jinayat. Alasannya menegakkan syariat Islam bukan hanya tugas aparat penegak hukum, tetapi seluruh masyarakat harus mendukung.
“Kritik terhadap substansi dan pelaksanaan harus diterima untuk memastikan bahwa kita berjalan sesuai aturan. Kalau dalam pelaksanaan belum sempurna, harus segera diperbaiki,” ujarnya.
Syahrizal mengaku selama setahun terakhir, pihaknya gencar mensosialisasi Qanun Jinayat ke berbagai pihak di seluruh Aceh. Harapannya saat mulai diberlakukan, tidak ada lagi warga Aceh yang melanggar syariat Islam karena hukumannya sangat berat.
“Pada intinya substansi qanun ini ialah untuk menjaga harkat dan martabat manusia. Ini juga untuk memproteksi dan melindungi masyarakat Aceh agar tidak lagi berbuat maksiat kepada Allah,” katanya kepada BeritaBenar, Kamis.
Pelanggaran syariat Islam selama ini yaitu bermain judi, minum minuman keras dan berbuat mesum, diancam hukuman cambuk di depan publik setelah divonis bersalah oleh Mahkamah Syari’yah.
Menurut dia, Qanun Jinayat secara penuh sekarang berarti penambahan tujuh tindak pidana lain yaitu perbuatan zina, menuduh seseorang berzina, pelecehan seksual, pemerkosaan, bermesraan, lesbian dan gay.
Hukuman 10 hingga 200 kali cambuk
Dalam qanun yang diperoleh BeritaBenar disebutkan hukuman terberat ialah pelaku pemerkosaan anak yaitu antara 150 hingga 200 kali cambuk. Sedangkan, pemerkosa perempuan dewasa dicambuk 125 sampai 175 kali.
Sedangkan, hukuman paling ringan sebanyak 10 kali cambuk dijatuhkan atas pelaku khalwat yaitu perbuatan laki-laki dan perempuan belum menikah berada di tempat tertutup.
Selain dicambuk, pada qanun itu juga terdapat hukuman denda dengan emas murni yaitu jumlah cambuk dikali 10 dan kurungan penjara yang jumlahnya sama dengan hukuman cambuk.
“Yang memutuskan hukuman alternatif ialah hakim. Jadi hakim diberi ruang untuk memilih bentuk hukuman bagi pelaku pelanggaran syariat apakah dengan cambuk, penjara atau bayar denda,” jelas Syahrizal, yang merupakan guru besar hukum Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh.
“Tapi, untuk perbuatan zina 100 kali cambuk dan menuduh seseorang berzina 80 kali cambuk tidak ada pilihan karena begitu hukuman yang tercantum dalam Al-Quran.”
Pelaku homoseksual (lesbian dan gay) dihukum paling banyak 100 kali cambuk. Bagi pelaku pelecehan seksual dicambuk maksimal 45 kali. Peminum khamar (minuman memabukkan) diancam 40 kali cambuk. Pemain judi dicambuk maksimal 12 kali dan perbuatan bermesraan antara pria dan perempuan yang belum menikah diancam 30 kali cambuk.
Kepala Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Husni Thamrin mengakui, pihaknya sudah siap melaksanakan Qanun Jinayat. Begitupun, dia berharap Pemerintah Aceh untuk terus mensosialisasi kepada masyarakat karena “qanun ini berlaku dengan ketentuan yang memberatkan sekali.”
Sementara itu, di Jakarta organisasi masyarakat sipil yang dimotori Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyiapkan gugatan uji materi Qanun Jinayat ke Mahkamah Agung karena beberapa pasal dianggap bertentangan dengan konstitusi, antara lain menyasar perempuan dan kaum homoseksual.