ADB kucurkan pinjaman US$500 juta kepada Indonesia untuk transisi energi
2024.09.20
Jakarta
Bank Pembangunan Asia (ADB) pada Jumat (20/9) menyepakati pinjaman senilai US$500 juta atau sekitar Rp7,6 triliun untuk membantu Indonesia mempercepat transisi energi dan mendukung kebijakan untuk mencapai target emisi listrik nol bersih yang ditetapkan pemerintah untuk tahun 2060, sementara seorang pengamat mengatakan pinjaman seperti itu membebani APBN.
Program yang disebut Transisi Energi yang Terjangkau dan Berkelanjutan ini akan mendukung kebijakan- yang membantu Indonesia mengurangi ketergantungan pada batu bara - yang selama ini menjadi sumber energi utama - memperkuat tata kelola, dan keberlanjutan keuangan, kata ADB, yang dalam rilisnya menyebutkan bahwa target emisi nol bersih tercapai pada 2050, sementara pemerintah Indonesia mematoknya pada satu dekade kemudian.
Sebelumnya, Indonesia telah mendapatkan dukungan finansial dari Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) senilai US$20 miliar dari negara-negara G7, meskipun baru US$1 miliar yang disalurkan oleh Amerika Serikat pada Juli lalu.
"Indonesia berada di persimpangan yang sangat penting dalam perjalanan transisi energinya," ujar Direktur ADB untuk Indonesia, Jiro Tominaga, dalam keterangan tertulis pada Jumat.
Dalam keterangannya ADB menyebut program tersebut mencakup pengembangan rencana investasi dan kebijakan yang didukung JETP, dan peningkatan kapasitas energi terbarukan yang mitra pembiayaannya melibatkan badan pembangunan Prancis, Agence Française de Développement (AFD), dan pemberi pinjaman negara Jerman KfW.
Senior Communications Officer ADB Andri Suryo mengatakan pinjaman berbasis kebijakan ini ditujukan untuk mendukung pengembangan kebijakan sektor transisi energi.
“Pinjaman ini merupakan bagian dari keterlibatan jangka panjang ADB dan Indonesia di sektor energi,” ujar Andri kepada BenarNews, tanpa menjelaskan lebih detail besaran bunga dan periode waktu utang.
BenarNews telah meminta keterangan dari Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana terkait detail proyek, besaran bunga dan periode utang, namun tidak memperoleh balasan.
Terkait tentang lambatnya implementasi JETP, Menteri Pembangunan Inggris Anneliese Dodds mengatakan kepada Reuters minggu ini bahwa JETP adalah kemitraan jangka panjang yang membutuhkan perubahan besar di bidang infrastruktur.
"Ini tidak akan terjadi dalam semalam," katanya, menambahkan bahwa dibutuhkan waktu untuk memperbarui kebijakan itu untuk fokus pada pertumbuhan hijau dan pembangunan ekonomi, seperti dikutip Reuters. Pada 2021, ADB juga sudah mengucurkan pinjaman pada 2021 sebesar US$600 juta kepada PLN untuk membantu meningkatkan keandalan dan ketangguhan layanan listrik di Pulau Jawa.
“Beban utang negara”
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan pinjaman dalam rangka transisi energi sangat membebani APBN, mengingat jumlah utang pemerintah sudah lebih dari Rp8.500 triliun.
Hal itu, lanjut Bhima, belum ditambah beban utang jatuh tempo plus bunga sebesar Rp 1.350 triliun yang sebagian dibayar lewat penambahan utang baru maka estimasi tahun depan utang pemerintah tembus Rp9.500-10.000 triliun.
“Pinjaman transisi energi akan memperburuk situasi. Idealnya pemerintah mendesak agar porsi hibah lebih besar sebagai tanggung jawab negara maju dan lembaga multilateral membantu negara berkembang,” ujar Bhima pada BenarNews.
Menurut dia, transisi energi yang terlalu bertumpu pada utang akan menciptakan persepsi bahwa transisi energi itu mahal dan tidak menguntungkan. Bahkan pinjaman ini akan masuk pada kategori Structural Adjustment Program berkedok membantu negara berkembang melakukan transisi energi.
“Selain itu, pinjaman ADB dikhawatirkan untuk membiayai proyek geothermal yang berdampak pada risiko lingkungan, pencemaran air, kebisingan, seismik hingga dampak ekonomi kecil yang dinikmati masyarakat sekitar lokasi proyek,” jelas Bhima.
Berbeda dengan Bhima, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan pendanaan dari ADB berbentuk program lending, bukan project lending.
Program lending biasanya digunakan untuk melakukan reformasi kebijakan yang mendukung transisi energi termasuk implementasi JETP.
“Sebagian besar uangnya dipakai untuk menutupi defisit anggaran, makanya besar nilainya. Tapi memang kita perlu melakukan reformasi kebijakan,” ujar dia pada BenarNews.
Menurut dia, utang tersebut mungkin saja membebani APBN, namun biasanya lembaga multilateral mempunyai kebijakan seperti bunga dan biaya lebih rendah.
“Utang itu sebenarnya punya tujuan, itulah tujuan yang harus dipenuhi oleh pemerintah agar utangnya bermanfaat bukan hanya menjadi beban,” ujar dia.
“Pensiun dini PLTU”
Namun, pengamat ekonomi Universitas Padjajaran Yayan Satyakti mengatakan jika melihat pada prioritas pinjaman, dana ADB fokus pada pilot project atau prototype project untuk penghentian operasional PLTU yang saat ini mempunyai kontribusi 50-60% terhadap bauran energi Indonesia.
“Jika kita lihat penghapusan bertahap pembangkit listrik batu bara di Indonesia masih membutuhkan tantangan yang besar,” jelas Yayan kepada BenarNews.
Bahkan, lanjut dia, jika melihat berdasarkan data JETP November 2023, selain PLTU Cirebon I, kebutuhan pensiun dini juga terjadi pada PLTU Pelabuh Ratu yang membutuhkan dana sebesar US$870 juta.
“Jadi perjalanan masih panjang. Tetapi lompatan besar dimulai dari langkah kecil, diharapkan dengan adanya pilot project kita dapat secara bertahap melakukan adaptasi dan mampu mengembangkan investasi energi bersih ini menjadi menciptakan lapangan kerja hijau.”
Artinya, terang Yayan, dana ADB tidak sepenuhnya diandalkan untuk pembiayaan transisi energi seluruhnya. Pemerintah Indonesia, idealnya mengembangkan teknologi dari pilot project tersebut untuk melakukan inovasi agar adanya pengembangan teknologi lokal yang murah dan secara efektif mampu menurunkan emisi.
“Tanpa adanya efektivitas hal tersebut, maka pembiayaan JETP tidak akan mampu menurunkan emisi,” tutur dia.
Kurang partisipatif dan transparan
Novita Indri, juru kampanye Trend Asia, sebuah organisasi masyarakat sipil yang fokus pada energi terbarukan, mengatakan bukan kali ini saja ADB mengucurkan dana pinjaman untuk transisi energi. Namun dalam proses pengucuran dan implementasinya, publik tidak banyak dilibatkan, padahal ini adalah dana utang.
“Program yang selalu ditawarkan adalah transisi energi, yang mana program ini selalu dikaitkan dengan kepentingan publik. Tapi dalam proses keputusannya tidak pernah melibatkan publik. Tidak ada transparansinya, tidak accountable,” kata Novita kepada BenarNews.
April lalu, Trend Asia juga mengeluarkan laporan berjudul “Dukung Proyek Pembangunan Batu Bara Baru, Bank Pembangunan Asia (ADB) Ingkari Janji Iklim” yang mengkritik pengucuran dana ADB.
Investigasi yang mereka lakukan bersama kelompok masyarakat sipil lainnya mengungkapkan pinjaman sebesar US$600 juta dari ADB pada 2021 lalu untuk mendorong penggunaan energi bersih di Indonesia nyatanya dapat digunakan untuk mendukung pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baru yakni PLTU Jawa 9 dan 10 yang merupakan bagian dari rencana ekspansi Pembangkit Listrik Suralaya, yang terkenal sebagai kompleks batu bara terbesar dan terkotor di Asia Tenggara.
“Ini memantik pertanyaan tentang keseriusan komitmen iklim dari ADB, termasuk janjinya tentang tidak ada batu bara baru,” jelas Novita.
Nazarudin Latif berkontribusi dalam berita ini.