Kisah Pengungsi Afghanistan Berpuasa di Detensi Balikpapan
2016.06.27
Balikpapan
Selasar lorong Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Lamaru Balikpapan, Kalimantan Timur, mulai agak gelap. Para penghuninya duduk melingkar di pintu masuk masing-masing sel, sembari bersenda gurau dengan bahasa Persia Afgani – menunggu bunyi beduk berbuka puasa.
“Kebiasaan kami saat masih di Afganistan, duduk melingkar seperti ini menunggu waktu berbuka puasa bersama keluarga dan tetangga,” kata Nematulloh (43), seorang dari 271 pengungsi Afganistan yang ditampung di tempat itu.
Keluarga Nemat kini menjalankan ibadah puasa Ramadhan dengan senang hati. Seluruh keluarganya menempati sel isolasi Rudenim Balikpapan sejak dua tahun terakhir. Mereka sudah di hadapan rantangan nasi dengan lauk pauk kiriman Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) untuk berbuka puasa.
“Keluarga saya sebagian besar berpuasa yakni saya, istri dan dua anak paling besar. Dua anak kecil belum berpuasa. Berbuka ialah waktu paling bahagia bersama keluarga dan penghuni Rudenim Balikpapan,” ujarnya saat ditemui BeritaBenar, Jumat, 24 Juni 2016.
Nemat mengaku keluarga besarnya yang beraliran Syiah mendapatkan penolakan keras di negaranya. “Saya punya masalah besar di Afganistan. Kami akan dibunuh bila pulang di Afganistan. Di sini tak ada orang Indonesia yang mengancam keselamatan keluarga saya,” tuturnya.
Nemat berpendapat semestinya Syiah juga bagian dari agama Islam karena mengesakan Allah, mengimani kerasulan Muhammad SAW serta mengakui kitab suci Al-Quran.
“Saya juga tidak mengerti, kami juga muslim seperti orang Islam lain. Namun hidup kami selalu terancam di sana,” keluhnya.
Nemat telah lima tahun berada di Indonesia. Pertama ia ditampung di Bali selama tujuh bulan. Lalu, dipindahkan ke Medan, Sumatera Utara, dua tahun. Terakhir ia ditampung di Balikpapan.
Sebenarnya tujuan Nemat meninggalkan negaranya yang saat itu tengah dilanda perang saudara adalah ke Australia. Begitu juga dengan para migran Afghanistan lain. Seluruh yang ditampung di situ hendak ke Australia, tapi ditangkap petugas Imigrasi Indonesia.
“Kami kabur dari Afghanistan karena dikejar-kejar oleh milisi Taliban dan simpatisannya. Mereka minta kami menjadi informan dan memata-matai tentara Amerika. Kalau tidak mau, akan dibunuh,” tuturnya.
Pengungsi Afganistan lain, Ali Zafar (44) punya masalah sama. Ia mengungsi ke Indonesia sejak lima tahun silam. Sebelumnya ia ditampung di Rudenim Bogor, Jawa Barat, selama tiga tahun.
Sejak pindah ke Balikpapan, ia berinisiatif mengajar bahasa Inggris pada rekan-rekannya sesama pengungsi. Menurut dia, mereka harus membekali diri dengan kemampuan berkomunikasi terhadap pihak luar.
Ali mengatakan, kemampuan bahasa sangat penting bagi para pengungsi guna bertahan hidup di negara orang, terutama pengungsi Afganistan yang menunggu penempatan ke negara ketiga.
Nemat mengaku stres kalau memikirkan nasib dan masa depan anak-anaknya yang tidak bersekolah. Dia berharap mereka bisa segera mendapatkan negara ketiga yang bersedia menerima pengungsi Afghanistan sehingga bisa bekerja dan menghidupi keluarga, tanpa bantuan pihak lain.
Mereka hanyalah potret kecil dari 13.745 pengungsi dan pencari suaka yang ditampung di berbagai tempat di Indonesia. Meski telah bertahun-tahun berada di Indonesia, belum juga ada kepastian negara ketiga yang mau menerima mereka.
Petugas Imigrasi (kanan) berbicara dengan pengungsi yang ditampung di Rumah Detensi Imigrasi Balikpapan, Kalimantan Timur, 24 Juni 2016. (Gunawan/BeritaBenar)
Toleransi tinggi
Ketua RT 19 Kelurahan Lamaru Balikpapan, Yatno mengaku masyarakat setempat tahu keberadaan Rudenim yang menampung pengungsi Syiah dari Afghanistan. Tapi mereka tidak terlalu mempersoalkan karena pengungsi tak pernah berinteraksi dengan warga.
“Mereka tidak pernah keluar dari Rudenim, tanpa pengawalan. Mereka juga tak pernah bikin ribut sehingga warga menanggapinya santai saja,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Yatno mengatakan warga Balikpapan memiliki toleransi tinggi menyikapi perbedaan dalam beragama. Saling menghormati dalam beragama membuatnya tidak terlalu mempersoalkan keberadaan pengungsi Syiah di Balikpapan.
Namun ia berharap pemerintah daerah mampu mengendalikan jumlah pengungsi sebab Yatno khawatir membludaknya para pencari suaka berdampak pada peningkatan angka kriminalitas di Balikpapan.
Kepala Rudenim Balikpapan, Raden Agusi mengatakan ada 281 pengungsi ditampung di situ. Paling banyak warga Afganistan. Sisanya enam orang Rohingya, Myanmar, seorang warga Pakistan dan tiga dari Filipina.
Bangunan penampungan terdiri 24 sel semestinya hanya mampu menampung sebanyak 144 jiwa pengungsi. “Memang sudah over capacity, tapi faktanya begini sehingga kami manfaatkan sesuai kemampuan,” ujarnya.
Pihaknya memisahkan para pengungsi sesuai agama dan asal negara untuk menghindari gesekan antara mereka.
“Yang beragama Islam, semuanya berpuasa. Mereka selama ini tertib. Hanya terkadang suka protes menu masakan dari IOM,” katanya. “Warga Afghanistan tak suka masakan berkuah seperti masakan Indonesia. Mereka suka sayuran dan buah buahan.”
Rudenim Balikpapan hanya menyediakan lokasi penampungan. Biaya konsumsi bagi 281 pengungsi ditangani IOM dan UNCHR – Komisioner Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi.
“Kami tidak bertanggung jawab terhadap konsumsi pengungsi. Semua menjadi tanggung jawab IOM yang memperoleh dana donor dari UNHCR. Lembaga ini mengurusi makanan pengungsi tiga kali sehari selama dua tahun ini,” papar Raden.
Nemat, Ali dan para pengungsi lain tetap merindukan makanan khas Afghanistan saat bulan Ramadhan seperti ini. Tapi, karena tidak diizinkan memasak sendiri, mereka harus menerima menu makanan yang disediakan.