UNDP: Agama Menjadi Pemicu Terkuat Diskriminasi di Indonesia
2016.03.14
Jakarta

Di Indonesia diskriminasi atas nama agama dan keyakinan lebih banyak terjadi dibandingkan karena masalah gender, etnis atau kelompok minoritas.
Hal itu dikatakan Project Manager United Nation Development Programme (UNDP), Fajar Nursahid pada diskusi Peran Media dalam Mempengaruhi Wacana Publik atas Diskriminasi dan Pelanggaran Hak Kelompok Minoritas di Jakarta, Minggu, 13 Maret 2016.
Menurutnya, hal tersebut bisa memicu meningkatnya kekerasan di kalangan masyarakat karena sentimen agama lebih rentan bagi seseorang menjadi intoleran.
“Orang lebih sensitif jika diganggu soal keyakinan dan agamanya. Ini bisa menjadi pengungkit kekerasan yang luar biasa,” ujarnya.
Fajar menyayangkan tindakan sebagian orang yang melakukan kekerasan atas nama agama untuk "membuktikan ketaatannya".
“Seharusnya agama kan bisa mengerem kekerasan, menjauhi tindakan tidak berperikemanusiaan. Agama seharusnya memberikan jalan yang damai bukan jalan keluar keblablasan,” kata dia.
Gambaran kelompok minoritas dalam Indonesia Democracy Index (IDI) 2009 – 2014 yang dirangkum UNDP dan Pemerintah Indonesia, terdapat beberapa indikator yang mencerminkan diskriminasi agama di Indonesia.
Salah satunya adalah ancaman penggunaan kekerasan dari satu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lain terkait ajaran agama.
Dicontohkan bahwa November 2014, saat warga Bakunase di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi pengikut aliran Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) diminta angkat kaki karena dianggap meresahkan warga lain. Sebelumnya, warga telah menggerebek rumah kontrakan organisasi itu.
Selain itu ada tindakan atau pernyataan pejabat pemerintah yang membatasi kebebasan masyarakat menjalankan ajaran agama/ kepercayaannya.
Misalnya, Polda Jawa Tengah tak mengizinkan pengajian jama’ah Ahmadiyah di pondok pesantren Soko Januari 2009, sehingga acara tersebut dibubarkan polisi.
“Ada juga aturan tertulis yang membatasi kebebasan atau mengharuskan masyarakat dalam menjalankan agamanya seperti Surat Edaran Walikota Bogor tertanggal 22 Oktober 2015 yang melarang peringatan Asyura bagi komunitas Syiah,” jelas Fajar.
IDI memotret beragam kemajemukan sebagai indikator penting demokrasi, termasuk ada tidaknya akomodasi dan penghargaan terhadap kelompok minoritas sebagai bagian dari Indonesia yang utuh.
“Tingkat demokrasi di Indonesia secara umum masih dalam kategori sedang,” ujar Fajar, di depan puluhan jurnalis dan masyarakat sipil dalam diskusi yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Yayasan TIFA itu.
Keterlibatan aparat dan korporasi
Direktur Eksekutif Sajogyo Institute, Eko Cahyono, menyebutkan diskriminasi terhadap minoritas semakin kronis dan tak terselesaikan karena keterlibatan aparat TNI/Polri dan korporasi dalam kasus yang terjadi.
“Aparat yang seharusnya melindungi, malahan membantu korporasi demi mempercepat proses penyelesaian sehingga masyarakat terintimidasi,” ujarnya.
Menurut dia, diskriminasi tak hanya terjadi dalam persoalan keyakinan atau keagamaan, tapi bisa terjadi terhadap siapapun.
Data Sajogyo Institute menunjukkan bahwa sepanjang 2004 - 2014 terdapat 1.391 konflik di lahan seluas 5,7 juta hektar.
Konflik minoritas yang melibatkan kelompok masyarakat adat, erat kaitannya dengan upaya penguasaan sumber daya alam seperti kasus Paneai (Nabire, Papua), Cisitu (Lebak), Cek Bocek (Sumbawa), dan Malind (Merauke Papua).
Hasil riset lembaga itu menunjukkan beragam cara dilakukan perusahaan dan koorporasi untuk memuluskan tujuannya dalam penguasaan sumber daya alam di wilayah-wilayah yang dikuasai kelompok minoritas adat.
“Sulit memisahkan meluasnya isu SARA dengan konflik perebutan sumber daya alam yang tersembunyi atau disembunyikan. Konflik dengan isu agama bisa saja terjadi untuk mengalihkan penguasaan sumber daya,” ujar Eko.
Peran media massa
Ketua AJI Indonesia Suwarjono menyebutkan bahwa peran media massa dibutuhkan untuk mengungkap ada apa di balik konflik terhadap kelompok minoritas, terutama yang menggunakan isu SARA.
Media dimintanya untuk ikut serta mengambil bagian dalam memberikan suara bagi kelompok minoritas dalam memperjuangkan haknya.
“Tak cukup hanya menjadi jurnalis indipenden tapi juga mempunyai sikap,” tegasnya.
“Tantangan media saat ini berbenturan antara kondisi lapangan dan di ruang redaksi yang lebih memperhatikan klik atau ratting tapi tanpa solusi,” tambah Suwarjono.
Sedangkan Direktur Eksekutif Yayasan Tifa, Darmawan Triwibowo, mengkritik media massa yang terkesan bagaikan pengamat karena hanya memberitakan awal peristiwa. Padahal negara sering mengabaikan hak kelompok minoritas paska-konflik.
“Misalnya pada kasus konflik Syiah di Sampang, Ahmadiyah atau Gafatar bagaimana aset mereka, siapa kemudian yang menguasai, dan bagaimana peran negara untuk melindungi,” ujarnya.
“Padahal media punya legitimasi untuk menuntut pertanggungjawaban atas kelalaian negara,” tambahnya. “Jurnalis tidak sekedar menjadi pelapor peristiwa.”