Menyoal Akses Kesehatan untuk Orang Asli Papua
2017.03.30
Jayapura

Publik Papua dikejutkan dengan terkuaknya kondisi kesehatan masyarakat di Koroway, Kabupaten Yahukimo, karena dalam sepekan terakhir banyak penduduknya, orang asli Papua, terjangkit penyakit.
“Mau berobat di mana? Tidak ada rumah sakit, tenaga medis dan peralatan kesehatan. Banyak mama-mama dan adik-adik kecil menderita, ada juga meninggal,” kata Pendeta Sem Awom kepada BeritaBenar, Kamis, 29 Maret 2017.
Tapi, pendeta yang cukup lama melakukan penginjilan di Koroway itu tak bisa merincikan jumlah komunitas yang meninggal dunia atau sakit di wilayah berpopulasi 3.000-an jiwa yang ditemukan 35 tahun lalu di wilayah pedalaman Papua itu.
Menurutnya, ciri-ciri penyakit yang diderita adalah gatal-gatal yang berujung pada kudis. Selain itu, ada juga yang menderita penyakit kaki gajah, panas dingin, batuk lendir dan lainnya.
“Sulit memastikan nama-nama penyakit karena tidak ada tenaga yang menganalisis itu. Kondisi ini tidak berubah sampai saat ini. Bahkan belum ada tanda-tanda perhatian dan keseriusan pemerintah daerah,” ujarnya.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, drg. Aloysius Giyai, mengakui memang tidak ada petugas medis di Koroway. Tetapi, pihaknya sudah membentuk tim khusus untuk turun ke Koroway guna memberikan pelayanan kesehatan.
“Kami sudah tahu. Di Koroway sudah berdiri Puskesmas Pembantu (Pustu) namun tidak ada tenaga medis yang bertugas,” katanya saat dikonfirmasi.
Ia menambahkan alokasi dana untuk sektor kesehatan lumayan besar. Tahun 2016 saja, total dana untuk bidang kesehatan di Papua mencapai Rp1,4 triliun.
"Tahun ini dana untuk bidang kesehatan juga sebesar Rp1,4 triliun yang sedang dikelola di Dinas Kesehatan Papua dan Dinas Kesehatan kabupaten/kota yang ada di Papua," katanya.
Contoh buruk
Theo Hesegem, Ketua Jaringan Advokasi HAM Pegunungan Tengah Papua menyebutkan apa yang dialami warga di Koroway merupakan contoh buruknya pelayanan kesehatan bagi orang asli Papua.
Ia berharap jangan sampai kasus yang pernah terjadi di distrik Mbua, Kabupaten Nduga tahun 2015 terulang terhadap masyarakat Koroway. Saat itu, 54 orang meninggal dunia akibat serangan dua virus pneumococcus dan japanese encephalitis.
“Itu membuktikan betapa buruknya layanan kesehatan di pedalaman Papua,” ujarnya.
Theo menambahkan tentang masalah lain di luar buruknya fasilitas kesehatan yang terkadang harus dihadapi masyarakat. Ia mencontohkan kasus yang menimpa Edison Matuan, seorang pemuda di Wamena pada Januari lalu menghembus nafas terakhir karena diduga akibat penganiayaan polisi.
Hasil otopsi, tambahnya, menunjukkan Edison yang dituduh sebagai pencuri oleh polisi meninggal dunia akibat benturan di otak kecil.
“Ketika bertanya kepada petugas rumah sakit, mereka membenarkan Edison dipukul dengan popor senjata di kepala,” ujarnya, “malah saat dirawat di rumah sakit, korban masih dianiaya sejumlah oknum kepolisian.”
Kapolda Papua, Irjenpol. Paulus Waterpauw mengakui anggotanya melakukan kekerasan terhadap korban.
“Mereka telah melakukan penanganan berlebihan, apalagi korban juga dalam keadaan tidak sadar karena terjatuh dari pagar warga dengan ketinggian 2 meter,” katanya.
Kesehatan Ibu dan anak
Nelce Wandikbo, perempuan asal Wamena, Kabupaten Jayawijaya, ingat bagaimana anak keduanya dilahirkan. Bidan tradisional hanya menggunakan batu yang dipanaskan untuk memotong tali pusar bayinya. Akibatnya, pusar bayinya bengkak tiga hari setelah lahir.
“Bayi saya kejang-kejang. Saya membawanya ke klinik tapi mereka tidak bisa menolong. Bayi saya meninggal. Dokter bilang karena infeksi di pusarnya yang disebabkan oleh batu tidak steril waktu potong tali pusar. Dokter juga bilang bayi saya kurang gizi,” kata Nelce.
Fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang minim di Papua jadi tantangan berat untuk mewujudkan kualitas kesehatan ibu dan anak yang baik. Selain itu rendahnya sosialisasi mengatasi masalah gizi buruk dan kurang gizi.
Sulit dijangkau
Masalah ini bukannya tidak disadari oleh pemerintah daerah seperti Kabupaten Yalimo yang wilayahnya banyak sulit dijangkau.
"Tahun ini kami berikan (subsidi transportasi) khusus guru, mantri dan pegawai distrik yang bertugas di pedalaman yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat,” kata Wakil Bupati Yalimo, Lakius Peyon.
Selama ini, guru, mantri dan pegawai distrik ingin ke tempat tugas, namun terkendala transportasi. Biaya sewa pesawat mencapai Rp25 juta, sementara gaji mereka hanya Rp3-4 juta.