Aksi protes peringatan Perjanjian New York berujung bentrok
2024.08.16
Jayapura
Aksi protes di Papua untuk memperingati 62 tahun Perjanjian New York, yang memuluskan jalan bagi aneksasi wilayah itu oleh Indonesia, berujung bentrok dengan aparat keamanan.
Setidaknya satu orang demonstran dilaporkan terluka akibat tembakan peluru karet dan 95 ditangkap polisi atas tuduhan penyerangan dan perusakan dalam aksi yang berlangsung Kamis, kata Kimot Mote, koordinator lapangan.
Aksi protes di Nabire yang digelar Komite Nasional Papua Barat (KNPB) pada Kamis semula berlangsung damai, namun berubah menjadi mencekam ketika aparat keamanan membubarkan massa dengan menggunakan gas air mata dan kekerasan.
Seorang demonstran bernama Kamel Bagau tertembak peluru karet dan 95 orang lainnya ditangkap polisi dan diangkut ke Polres Nabire saat aksi berlangsung, kata Mote.
“Kami melihat aparat menggunakan kendaraan dua truk Sabhara, satu mobil Dalmas, dan satu mobil Kijang dengan jumlah aparat kepolisian sekitar 100 orang," kata Mote.
Mote mengatakan ada sekitar 80 polisi berseragam dan 20 polisi tidak berseragam yang melakukan penangkapan.
Perjanjian New York adalah sebuah perjanjian antara Belanda dan Indonesia mengenai pemerintahan Papua, yang saat itu disebut Nugini Barat. Perjanjian ini menetapkan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan mengambil alih kendali pada awalnya, tetapi jika PBB mengizinkan, Indonesia dapat mengambil alih pemerintahan dengan syarat-syarat sosial tertentu.
Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 1962, di markas besar PBB di New York.
Namun, banyak orang Papua percaya bahwa kesepakatan ini dibuat tanpa persetujuan mereka, dan hal ini membuka jalan bagi apa yang mereka anggap sebagai aneksasi ilegal Indonesia atas tanah air mereka.
Papua secara resmi diintegrasikan ke Indonesia pada tahun 1969 setelah referendum yang kontroversial, yang dikenal sebagai "Penentuan Pendapat Rakyat" atau Pepera, di mana sekelompok kecil orang Papua yang dipilih memberikan suara bulat untuk integrasi.
Seorang warga Kota Nabire, Taksen Giyai mengaku menyaksikan warga non-asli Papua yang menamakan diri mereka sebagai Warga Nusantara menghadang massa aksi pada Kamis.
“Mereka memegang besi, kayu, samurai, pedang, parang, sambil menjaga massa aksi yang hendak ke Wonorejo. Ketika ada reaksi dari massa KNPB, mereka kemudian memukul tiang listrik, dan semua masuk ke jalan raya,” jelasnya.
Giyai mengaku bahwa ia sempat dihadang oleh Warga Nusantara ini saat ia melintas di Wonorejo, namun ia kemudian dibiarkan lewat.
Kapolres Nabire AKBP Wahyudi Satrio Bintoro mengatakan penanganan aksi yang dilakukan oleh polisi sudah sesuai prosedur.
“Kepolisian Nabire melaksanakan tindakan tegas terukur,” katanya.
Di Manokwari, polisi mengadang demonstran dengan menempatkan sejumlah kendaraan operasional mereka di tengah jalan.
“Negosiator kami menawarkan polisi mengantar massa ke lokasi, tetapi ditolak. Begitu pun ketika negosiator menawarkan massa aksi menggunakan kendaraan masing-masing menuju lokasi aksi, tetap tidak diizinkan,” kata Erick Aleknoe, seorang perserta unjuk rasa.
Ketua KNPB, Warpo Wetipo, mengatakan demonstrasi rencananya dilakukan di lingkaran Abepura, namun pengunjuk rasa di Expo Waena dan di Sentani sudah dihadang terlebih dahulu sebelum berkumpul di lingkaran Abepura.
“Padahal kami sudah mengantongi izin dari pihak keamanan jauh-jauh hari, tapi tetap diadang oleh pihak keamanan,” kata Wetipo.
Sementara di depan Kampus Universitas Cenderawasih di Abepura, ratusan orang yang mengatasnamakan Mahasiswa Peduli Tanah Papua melakukan aksi pidato dan unjuk rasa.
Juru bicara Polda Papua, Kombes Ignatius Benny Ady Prabowo mengatakan kepolisian telah menyiapkan langkah antisipasi dengan menurunkan sekitar 700 personel.
Menurut Wetipo, aksi demonstrasi yang dilakukan di beberapa kota di Tanah Papua ini dilakukan untuk menyampaikan pesan kepada pemerintah, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Melanesian Spearhead Groups (MSG), Pacific Islands Forum (PIF) untuk menghentikan semua bentuk operasi militer, eksploitasi dan penindasan terhadap rakyat Papua.
“Kami juga menyerukan agar Yang Mulia Paus berbicara atas nama kami yang tertindas, menyerukan diakhirinya kekerasan, penindasan, dan pelanggaran hak asasi manusia di tanah Papua,” kata Wetipo. Paus Fransiskus dijadwalkan berkunjung ke Indonesia bulan depan.
Sementara itu, Penjabat Gubernur Papua Tengah Ribka Haluk mengajak semua pihak untuk menjaga keamanan dan menyampaikan aspirasi sesuai mekanisme yang ada.
"Tak hanya pemerintah, baik TNI dan Polri maupun pemerintah kabupaten harus sama-sama bertangung jawab untuk menjaga masyarakat kita," ujarnya.