Didakwa Makar, 7 Aktivis Papua Disidang di Balikpapan

Tim kuasa hukum mengatakan polisi menutup akses pengacara menemui terdakwa.
Gunawan
2020.02.11
Balikpapan
200211_ID_Papua_jakarta_1000.jpg Orang-orang Papua berdemonstrasi di depan Istana Merdeka, menentang rasisme terhadap orang Papua dan menuntut diadakannya referendum penentuan nasib sendiri, di Jakarta, 28 Agustus 2019.
AFP

Tujuh mahasiwa dan aktivis Papua didakwa dengan tuduhan makar terkait demo dan kerusuhan di Papua bulan September lalu dalam sidang perdana di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur, Selasa (11/2/2020).

Ketujuh terdakwa - Alexander Gobai, Hengki Hilapok, Steven Itlay, Agus Kosai, Ferry Kombo, Buchtar Tabuni, dan Irwanus Uropmabin – terancam hukuman penjara maksimal 20 tahun jika terbukti bersalah.

“Terdakwa didakwa pasal 106 atau 107 dalam ketentuan KUHP,” kata jaksa penuntut umum Adrianus Tamana, Selasa, merujuk kepada pasal yang mengatur tentang makar.

PN Balikpapan bergantian mulai menyidangkan terdakwa dan menugaskan sembilan hakim memimpin jalannya persidangan yang dibagi dalam tiga kelompok.

Alexander Gobai, presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) dituduh menjadi aktor penggerak massa demo mahasiswa yang berujung kerusuhan massa di Jayapura.

Jaksa menuduh aksi demonstran berafiliasi langsung dengan Komite Nasional Papua Barat (KNPB), kelompok yang memperjuangkan diadakannya referendum untuk merdeka dari Indonesia bagi wilayah paling timur Indonesia itu.

“Massa mahasiswa bercampur dengan kelompok lain membawa bendera KNPB dan Bintang Kejora.” papar Adrianus, merujuk pada lambang Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dilarang pemerintah Indonesia, “massa mempersenjatai diri dengan senjata tajam, kayu, ketapel, dan batu,”

Dakwaan serupa pun dituduhkan pada dua aktifis BEM USTJ lainnya, Hengki Hilapok dan Irwanus Uropmabin. Keduanya ini dituduh memprovokasi masyarakat menyusul umpatan rasial yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya bulan Agustus.

Hinaan rasis dan perlakuan kasar aparat keamanan di Surabaya menjadi salah satu pemicu demo di sejumlah kota di Indonesia khususnya di Papua yang sebagian besar berakhir rusuh, pada Agustus-September lalu.

“Orasi Hengki memprovokasi warga meminta referendum, dengan atribut bendera Bintang Kejora dan KNPB. Sedangkan Irwanus sengaja membiarkan massa melakukan aksi anarkis, meskipun tugasnya penanggung jawab keamanan peserta aksi,” ungkap Adrianus.

“Presiden BEM Uncen Ferry Kombo aktif mengumpulkan mahasiswa dan mengasut warga ikut melakukan aksi,” tambah Adrianus.

Salah seorang terdakwa Steven Itlay, tambah Adrianus, juga merupakan buronan kasus makar melibatkan warga negara Polandia Jakub Fabian Skrzypzki, yang dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara di Papua.

“Terdakwa Steven terlibat pula dalam kasus makar melibatkan warga asing. Ia ditangkap saat akan menghadiri rapat bersama mahasiswa Uncen,” paparnya.

Jaksa menuduh Ketua KNPB Agus Kosai bersama rekannya, Wakil Ketua United Liberation Movement for Papua, Buchtar Tabuni, menggalang dukungan dunia internasional dengan menuduh aparat melakukan pelbagai pelanggaran HAM.

“Mereka aktif mengkampanyekan referendum Papua. Aksi demo mahasiswa menjadi momentum untuk melaksanakan tujuannya,” ungkap Adrianus.

“Mereka memprovokasi warga agar tidak ikut upacara bendera serta tidak mengakui NKRI,” imbuhnya.

Aparat kepolisian menangkap Agus Kosai dan Buchtar Tabuni saat menghadiri rapat mahasiswa di Uncen.

Ketujuh terdakwa dipindahkan dari Papua ke Balikpapan setelah mereka ditangkap dengan alasan keamanan.

Dalam foto tertanggal 6 September 2019 ini, warga Papua di Denpasar, Bali, melakukan demonstrasi menuntut dibebaskannya rekan mereka yang ditangkap polisi di Jakarta karena berunjuk rasa menentang rasisme terhadap orang Papua dan menuntut diadakannya referendum penentuan nasib sendiri. (AFP)
Dalam foto tertanggal 6 September 2019 ini, warga Papua di Denpasar, Bali, melakukan demonstrasi menuntut dibebaskannya rekan mereka yang ditangkap polisi di Jakarta karena berunjuk rasa menentang rasisme terhadap orang Papua dan menuntut diadakannya referendum penentuan nasib sendiri. (AFP)

Pengacara: diskriminasi atas terdakwa

“Jaksa terkesan belum yakin dengan dakwaannya. Pasal pasal yang dikenakan masih belum yakin,” kata juru bicara tim kuasa hukum terdakwa, Latifah Anum Siregar.

Ia optimis mempersiapkan eksepsi pembelaan dakwaan kejaksaan. Dalam kasus ini, timnya mempertanyakan kewenangan PN Balikpapan menyidangkan kasus diluar delik lokasinya.

“Apakah bisa PN Balikpapan menyidangkan kasus di luar wilayahnya? Prinsip keadilan adalah memudahkan saksi-saksi menghadiri panggilan persidangan. Sedangkan lokasi Balikpapan dan Jayapura sangat jauh,” ujarnya.

Apalagi, imbuhnya, seluruh terdakwa mendapatkan diskriminasi hak pembelaan hukum. Selama enam bulan ini, kepolisian menutup akses terdakwa bertemu tim kuasa hukum.

“Polisi menutup akses pengacara menemui terdakwa saat ditahan di Balikpapan. Kami meminta pemeriksaan medis seluruh terdakwa. Salah satu terdakwa bernama Alexander Gobai sempat muntah darah,” ungkap Latifah.

Proses persidangan memperoleh perhatian aparat kepolisian yang menerjunkan ratusan personil pengamanan. Jaringan seluler dan internet sekitar area gedung pengadilan pun mendadak padam selama sidang.

Persidangan rencananya dilanjutkan minggu depan dengan agenda pembacaan eksepsi pembelaan tim kuasa hukum terdakwa.

Selain ketujuh aktivis Papua yang disidang di Balikpapan itu, enam aktivis Papua lainnya saat ini juga sedang menjalankan persidangan mereka di Jakarta.

Dano Anes Tabuni, Ambrosius Mulait, Surya Anta Ginting, Arina Elopere, Isay Wenda, dan Charles Kossay, ditangkap di sejumlah lokasi di ibu kota akhir Agustus 2019. Mereka dituduh melakukan tindakan makar setelah berunjuk rasa dengan membawa bendera Bintang Kejora dan menuntut penentuan nasib sendiri melalui referendum bagi warga Papua di depan Istana Kepresidenan Jakarta pada 28 Agustus 2019.

Dalam catatan BenarNews, setidaknya 38 orang dituduh melakukan tindakan makar dalam berbagai demonstrasi berujung kekerasan terkait Papua antara Agustus –September tahun lalu. Setidaknya 40 orang tewas di Papua akibat kerusuhan tersebut.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.