Tingkatkan Keamanan Laut, Bakamla Luncurkan Pusat Informasi Kemaritiman

Pakar mengatakan yang terpenting pemangku kepentingan bisa merespons setiap laporan dengan cepat dan tepat.
Ronna Nirmala dan Drake Long
2020.07.23
Jakarta dan Washingtom
200723_ID_maritime_security_1000.jpg Dalam foto tertanggal 22 Juli 2020 ini, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menginspeksi dua kapal ikan Vietnam yang disita di Sungai Rengat, Kubu Raya, Kalimantan Barat.
AFP

Badan Keamanan Laut (Bakamla) pada Kamis (23/7) mengatakan kehadiran Indonesia Maritime Information Center (IMIC) akan mampu mempercepat koordinasi dalam hal penegakan hukum terhadap berbagai pelanggaran mulai dari penyelundupan, pencurian ikan, hingga keselamatan nelayan Indonesia di laut.

IMIC, sistem pengumpulan data yang baru diresmikan Bakamla sehari sebelumnya, sebagai pusat informasi kemaritiman terlengkap yang sebelumnya tidak ada di Indonesia, kata Kepala Bakamla Laksdya TNI Aan Kurnia.

“Selama ini sistem informasi maritim di Indonesia belum lengkap. Di IMIC, semua kejadian dari kecelakaan, penyelundupan, informasi pencurian ikan sampai kasus nelayan seperti yang kemarin ramai itu akan disediakan,” kata Aan kepada BenarNews.

“Dari situ kita juga bisa cepat tentukan, oh kejadian ini ranahnya Bakamla, ini Polair, ini KKP [Kementerian Kelautan dan Perikanan] dan lainnya. Jadi koordinasi di lapangan bisa lebih baik,” kata Aan.

Aan menjanjikan laporan IMIC akan disediakan secara periodik, mulai dari laporan mingguan, bulanan, hingga tahunan, serta publikasi kemaritiman yang bisa berguna pada masa depan. Oleh karenanya, sistem ini diharapkan bisa turut dimanfaatkan lembaga kajian dan media massa dari dalam dan luar negeri.

“Kehadiran IMIC ini juga akan melengkapi aset yang ada pada organisasi kemaritiman internasional seperti IFC (Information Fusion Centre) di Singapura atau IMB (International Maritime Bureau) di Malaysia,” kata Aan.

IFC yang dibentuk oleh Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia (ReCAAP) mencatat 13 percobaan dan insiden perompakan serta perampokan bersenjata yang terjadi di perairan Indonesia dari Januari hingga Juni 2020. Perompakan dan perampokan bersenjata di laut di Asia Tenggara meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan dalam rentang waktu yang sama tahun lalu.

Namun, Aan menyatakan frustrasi dengan bagaimana pusat-pusat informasi regional seperti ReCAAP dan IMB menginformasikan data mereka tentang kejahatan laut, yang menyebutnya "tidak proporsional."

"Banyak informasi sebenarnya hanya kasus pencurian kecil-kecilan di sebuah kapal, tetapi dilaporkan seolah-olah telah terjadi pembajakan," kata Aan Kurnia dalam pertemuan 15 Juli dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan. Menurutnya, ini menjadi sebagian alasan mengapa IMIC didirikan.

Pada awal Januari 2020, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto juga meresmikan Pusat Informasi Maritim atau Pusinfomar TNI.

Hadi ketika itu mengatakan Pusinfomar hadir sebagai upaya mendukung pelaksanaan tugas TNI di wilayah perairan Nusantara sekaligus bentuk sinergi kementerian dan lembaga dalam menghadapi kompleksitas permasalahan maritim.

Panglima turut menekankan bahwa kehadiran pusat informasi ini bisa mempererat kerja sama dengan negara sahabat dalam meningkatkan keamanan dan memberantas kejahatan di laut.

“Diperlukan juga kerja sama bilateral dan multilateral yang makin erat dan makin baik karena tanpa adanya hubungan dan kerja sama yang baik, stabilitas regional tidak akan terjaga dan tentunya akan memengaruhi negara-negara yang ada di kawasan,” kata Hadi, merujuk situs resmi TNI.

Disinggung terkait adanya potensi tumpang tindih kewenangan, Kepala Bakamla menyatakan bahwa kehadiran IMIC tidak akan mengambil alih peran yang dijalankan oleh TNI di laut.

“Kan sudah jelas pembagiannya, TNI AL itu pertahanan, kalau Bakamla itu keamanan. Kita berjalan sama-sama, koordinasi harus baik,” katanya.

Sehari sebelumnya Bakamla menyita dua kapal ikan Vietnam yang berlayar di Laut Natuna Utara setelah terjadi sengketa laut yang cukup dramatis antara maritim Indonesia dan para awak kapal yang berusaha melarikan diri.

 

 

Gilang Kembara, peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Jakarta mengatakan bahwa anggota Bakamla berasal dari anggota TNI AL , dan badan tersebut mengandalkan cakupan radar dan intelijen dari TNI.

“Singkatnya,” kata Kembara, “tantangan terbesar Bakamla adalah masalah aset dan tenaga kerja. Butuh bertahun-tahun sampai mereka dapat secara mandiri membangun fasilitas khusus yang menjangkau seluruh kepulauan.”

Kerjasama dengan Malaysia dan Filipina

Dalam pertemuan virtual pada Senin (20/7), Bakamla dan Malaysia Maritime Enforcement Agency (MMEA) menyepakati adanya penguatan tugas dan fungsi penegakan hukum di wilayah perairan dua negara yang bersinggungan.

“Kita bicarakan soal patroli bersama di wilayah perbatasan dengan Malaysia. Kalau ada kapal-kapal ikan Malaysia yang ketangkap di Indonesia, mereka mohon ada koordinasi yang baik untuk penyelesaiannya,” kata Aan kepada BenarNews.

Aan mengatakan pihaknya dalam waktu dekat juga akan mengadakan pertemuan virtual dengan pihak Filipina untuk membahas kerja sama patroli trilateral bersama Malaysia.

“Kita kuatkan lagi, sinergikan lagi patroli trilateral ini. Untuk atasi yang namanya penyelundupan orang atau masalah pencurian ikan,” kata Aan.

Presiden Filipina Rodrigo Duterte, pada September 2018 pernah mengusulkan untuk melakukan operasi gabungan di perairan Sulawesi (Indonesia), Sulu (Filipina), dan Sabah (Malaysia), sebagai peningkatan kerja sama patroli laut menyusul berulangnya kasus penculikan nelayan Indonesia oleh kelompok militan Abu Sayyaf.

Namun usulan itu ditolak Indonesia. Ketika itu pemerintah lebih memilih untuk mengevaluasi kerja sama patroli gabungan trilateral yang disepakati dalam Kesepakatan Kerja Sama Trilateral (TCA) pada November 2016. Kerja sama itu mencakup Patroli Maritim Trilateral (TMP) dan Patroli Udara Trilateral (TAP).

Data International Maritime Bureau-Commercial Crime Services (IMB-ICC) menunjukkan, Indonesia adalah negara dengan kasus penyanderaan awak kapal komersial terbanyak dibanding Malaysia dan Filipina, meski tidak dijabarkan pelaku penyanderaannya.

Sampai Oktober 2018, kejadian penyanderaan terhadap awak kapal Indonesia mencapai 431 kasus, sementara Malaysia sebanyak 63 kasus, dan Filipina 55 kasus.

Adapun catatan Kemlu menyebut sepanjang tahun 2000-2019, sebanyak 39 WNI diculik oleh kelompok Abu Sayyaf di Sabah, Malaysia. Satu orang di antaranya dilaporkan meninggal dunia.

Respons cepat

Direktur The National Maritime Institute (Namarin), Siswanto Rusdi, menilai bahwa hal yang paling penting dari kehadiran pusat informasi dari institusi yang bertugas menjaga keamanan di laut adalah bagaimana para pemangku kepentingan yang terlibat bisa merespons setiap laporan yang masuk dengan tepat dan cepat.

Rusdi mengatakan, Bakamla perlu melihat akar persoalan dari berbagai permasalahan di laut dengan lebih detail. Menurutnya, selama ini banyak pihak yang berkegiatan di laut lebih nyaman memberikan laporan kejadian ke lembaga internasional seperti IFC di Singapura atau IMB di Malaysia.

“Alasannya apa? Di sana responsnya cepat. Urusannya juga tidak berbelit. Di sini, mau lapor ada perompakan, kapalnya bisa disita sampai berbulan-bulan, ya repot urusannya,” kata Rusdi, melalui sambungan telepon dengan BenarNews, Kamis.

Tanggapan serupa juga disampaikan Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Mohammad Abdi Suhufan. Menurutnya, selama ini korban-korban kejahatan di laut kerap dipusingkan dengan kerumitan dengan ke mana mereka harus mengadu merujuk banyaknya institusi yang mengurus keamanan di perairan Indonesia.

“Terlalu banyak (institusi) dan korban, termasuk kami, kadang bingung mau mengadu ke mana. Sudah kirim surat ke Bareskrim, eh ternyata kasusnya ditangani Polda. Padahal bisa mekanisme internal saja,” kata Abdi kepada BenarNews.

“Akan lebih baik jika dilengkapi dengan mekanisme respons cepat untuk melakukan intercept jika praktik human trafficking tersebut terjadi di perairan di Indonesia,” tambah Abdi.

DFW Indonesia adalah lembaga nonprofit pembela hak pekerja di laut. Dalam advokasinya, DFW Indonesia mendirikan dua pusat pengaduan dan keluhan awak kapal perikanan (Fisher Centre) yang berada di Tegal, Jawa Tengah, dan Bitung, Sulawesi Utara.

Belakangan, Fisher Centre menjadi wadah pertama pelaporan dugaan eksploitasi pekerja Indonesia di kapal Cina. Insiden terakhir yang dilaporkan ke Fisher Centre adalah seorang awak kapal Indonesia yang meninggal dunia karena mengalami kekerasan fisik di kapal Lu Huang Yuan Yu 118.

“Nah, awak-awak kapal itu merasa lebih nyaman kalau mereka mengadunya ke LSM karena tidak harus ketemu birokrasi yang njelimet. Ini yang seharusnya jadi alarm bagi Bakamla terkait kehadirannya sebagai penjaga keamanan laut,” tukas Rusdi.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.