Batik di Tengah Gempuran Produk Impor

Zahara Tiba
2015.10.02
Jakarta
151002_ID_BATIK_620.jpg Seorang pembeli melakukan transaksi dengan pedagang di Pusat Batik Nusantara, Thamrin City, Jakarta, 2 Oktober 2015.
BeritaBenar

Hari Batik Nasional tahun ini terasa istimewa. Pasalnya jatuh bertepatan pada Jumat, hari dimana pemerintah telah menginstruksikan instansi pemerintah dan swasta untuk menganjurkan karyawannya mengenakan busana batik.

Langkah yang diambil pemerintah sebelumnya di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disambut baik publik. Ini tentu saja untuk mendorong pelestarian batik sejak ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya bangsa oleh Lembaga PBB Urusan Pendidikan, Sains dan Kebudayaan (UNESCO).

Di pusat-pusat perbelanjaan ibukota, banyak warga yang mengenakan batik di hari perayaan Batik Nasional. Misalnya di Pusat Batik Nasional di Thamrin City, Jakarta, pihak pusat perbelanjaan menggelar acara khusus untuk memeriahkan perayaan Hari Batik Nasional tahun ini dengan panggung hiburan dan pameran batik.

“Penjualan meningkat jelang Hari Batik melebihi target penjualan toko kami yang rata-rata Rp 3 juta perhari,” ungkap Rian, penjaga Toko Sen di Thamrin City, kepada BenarNews, Jumat.

Dia mengaku ke-17 gerai batik Sen di kawasan perbelanjaan itu hanya menjual batik produksi Solo dan kota-kota pesisir utara Jawa, dengan kisaran harga mulai dari Rp. 60.000 hingga jutaan.

Khawatir gempuran batik impor

Namun di tengah gempita perayaan, terselip kekhawatiran para produsen batik lokal. Kabar semakin derasnya gempuran batik impor di pasar dalam negeri dianggap menjadi ancaman bagi mereka. Produk Cina ditengarai sebagai negara terbesar yang masuk ke pasar batik Indonesia.

Wiwid Rohmadiyanto (26) adalah pemilik usaha berlabel Batik Ijen, yang menjual batik asal Banyuwangi. Wiwid yang juga pemerhati batik mengatakan, peminat batik meningkat sejak ditetapkan sebagai warisan budaya Indonesia.

“Tapi tantangan juga datang dari situ. Karena permintaan banyak, kapasitas produksi pengrajin batik belum mampu memenuhi kebutuhan sehingga banyak masuk produk dari luar negeri yang menggunakan motif batik,” katanya kepada BenarNews, Jumat.

Padahal, tambah Wiwid, yang dihargai UNESCO adalah prosesnya, sehingga menjadi pembeda antara batik asli Indonesia dan impor.

Batik berasal dari kata mbatik (membuat titik). Motif batik dimulai dengan membuat titik-titik pada kain dengan menggunakan media malam (wax). Sebuah produk baru bisa dibilang batik jika sudah melalui tiga proses: pencantingan atau pengaplikasian malam, pewarnaan, dan pelorotan atau melepaskan malam dari kain.

“Kalau satu produk tidak melalui tiga proses itu, bukan batik namanya. Yang dihargai UNESCO sebagai warisan budaya itu bukan hasilnya, tetapi prosesnya,” tutur Wiwid.

Sayangnya, lanjut dia, orang Indonesia masih awam dengan batik lokal, karena minimnya pengetahuan.

“Awalnya saya juga tak mengerti sama sekali tentang batik. Baru fokus pada batik dalam tiga tahun terakhir ini. Batik asli beda dengan batik massal. Dari produksi juga masih kecil karena proses pembuatannya masih tradisional. Sementara batik pabrik bisa memproduksi massal,” ujarnya.

Gempuran batik luar sangat berpengaruh bagi industi batik dalam negeri. Tahun lalu, antara 40 hingga 60 persen batik yang beredar di Indonesia berasal dari luar negeri.

“Konsumsi batik dalam negeri sendiri disuplai dari luar, sementara produsen dalam negeri ngos-ngosan. Kalau mau bersaing harga juga belum bisa karena prosesnya, dan bahan bakunya juga sulit,” ujar Wiwid.

Batik produksi pabrik bisa massal dengan harga bahan baku dapat ditekan, sementara pembatik lokal harus mengikuti harga pasar. “Kalau mau perang harga sangat sulit. Dolar naik juga berpengaruh terhadap harga kain dan pewarna. Kalau mau menurunkan harga, berarti kualitas turun,” jelasnya.

Wiwid menambahkan seiring gencarnya masuk batik impor membuat produsen batik di Banyuwangi harus memproduksi massal.

“Mereka tak punya pilihan. Jika tidak seperti itu, kalah dengan gempuran batik luar. Dilematis memang, karena yang dihargai dari sehelai batik adalah nilai seninya,” katanya.

“Orang dulu buat batik pasti ada sejarahnya. Tiap motif punya nilai filosofis sendiri, seperti Mega Mendung dari Cirebon dan parang rusak dari Solo. Belum lagi motif-motif dari luar Jawa. Tiap daerah punya motif sendiri.”

Menurut dia, Pemerintah Daerah Banyuwangi sangat peduli terhadap perkembangan batik lokal. Pemerintah setempat mendorong melalui festival dan pelatihan untuk warga, karena jumlah pembatik masih minim untuk mendorong geliat batik.

Saat ini, Pemerintah Daerah Banyuwangi sedang memperjuangkan hak paten bagi 43 motif batik lokal. Namun, sejauh ini baru tiga motif yang sudah mendapatkan hak paten.

“Ini harus menjadi perhatian semua pihak untuk memperjuangkan paten batik lokal. Jangan sampai negara lain mengklaim motif milik kita. Ini kekayaan lokal kita. Apalagi awal tahun depan Indonesia mulai masuk Masyarakat Ekonomi Asean,” ujar Wiwid, yang memasarkan produknya melalui internet agar bisa bersaing dengan produsen lain.

Pekerjaan rumah bersama

Presiden Komisaris Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI), Romi Oktobirawa mengatakan Indonesia punya pekerjaan rumah besar untuk tetap mempertahankan gelar warisan budaya dari UNESCO hingga 2 Oktober 2019, dimana gelar itu akan kadaluwarsa dan akan dikaji ulang oleh badan PBB tersebut.

“Ini pekerjaan rumah kita bersama bagaimana ke depan mempertahankan warisan budaya batik untuk tumbuh berkembang. Tentunya harus ada edukasi ke generasi muda, agar tetap eksis di dunia,” ujar Romi kepada BeritaBenar di Jakarta, Jumat.

GKBI optimistis batik tetap eksis di jajaran tekstil lain karena merupakan salah satu keunikan yang dimiliki Indonesia.

“Kita kembali kepada filosofi batik. UNESCO memberi gelar warisan budaya kepada batik karena prosesnya, bukan desain. Proses perentang warna dengan menggunakan canting adalah batik, selain itu bukan batik. Ini pekerjaan rumah kita bagaimana mengedukasi masyarakat agar bisa membedakan batik,” katanya.

Romi menilai langkah pemerintahan di bawah Presiden SBY dengan menetapkan Hari Batik Nasional setiap tanggal 2 Oktober sebagai langkah strategis untuk memberikan atmosfer baru kepada seluruh pembatik.

“Tugas pemerintah Jokowi adalah penegasan kebijakan yang sudah ada. Pemerintah perlu mengedukasi masyarakat bagaimana membedakan batik. Di sebuah mall setiap Jumat, dari sekian orang yang mengenakan busana batik, saya yakin lebih banyak batik printing,” tutur Romi, yang juga pengurus Yayasan Batik Indonesia.

Untuk itu, pemerintah perlu menekankan kalau hari Jumat mengenakan batik, harus batik melalui proses. “Yang lain, tak boleh dipakai supaya tidak rancu,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.