BNPT Sebut 5 Provinsi Ini Rawan Radikalisme
2017.11.29
Jakarta
Hasil survei yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan Gorontalo, Kalimantan Timur, Bengkulu, Lampung, dan Sulawesi Selatan sebagai wilayah rawan radikalisme.
Survei ini dilaksanakan oleh BNPT dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) dengan menggandeng tiga lembaga yakni lembaga survei The Nusa Institute, Daulat Bangsa, dan Puslitbang Kementerian Agama RI, sebagai mitra dalam penelitian tersebut.
"Survei ini dilaksanakan untuk mengetahui kondisi riil radikalisme di lingkungan masyarakat dan kemampuan apa saja yang sudah dimiliki untuk menangkalnya,” kata Deputi I BNPT Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi Mayjen. TNI Abdul Rahman Kadir, dalam keterangan tertulisnya yang diterima BeritaBenar, Rabu 29 November 2017.
Survei bertajuk “Daya Tangkal Masyarakat terhadap Radikalisme” ini merangkum pendapat dari 9.605 responden berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah yang tersebar di 32 provinsi di Indonesia. Di setiap provinsi diambil sampling dari lima kabupaten/kota, dan dari kabupaten atau kota diambil lima desa atau kelurahan dan di setiap desa atau kelurahan terdapat 12 responden.
Survei ini menggunakan metode "multi stage clustered random sampling" dengan tingkat kesalahan 0,7 persen dan tingkat kepercayaan 91,5 persen.
Ada pun urutan pertama dipegang oleh Bengkulu dengan angka 58,58 persen, lalu Gorontalo 58,48 persen, Sulawesi Selatan 58,42 persen, Lampung 58,38 persen, dan Kalimantan Utara 58,30 persen.
Survei ini menguji beberapa variabel yang bisa dijadikan sebagai daya tangkal masyarakat terhadap radikalisme. Variabel-variabel itu diantaranya adalah kepercayaan terhadap hukum, kesejahteraan, pertahanan dan keamanan, keadilan, kebebasan, profil keagamaan, serta kearifan lokal.
Survei juga untuk memotret secara lebih dekat tentang kemampuan masyarakat untuk menangkal perkembangan radikalisme.
Abdul Rahman mengatakan, dari dari hasil survei itu pihaknya akan mengkaji kebijakan seperti apa yang tepat yang akan diambil, dalam penanggulangan radikalisme dan terorisme.
Diragukan
Peneliti Terorisme dari Universitas Malikul Saleh, Lhokseumawe, Al Chaidir, mengaku heran dengan hasil survei yang dikeluarkan BNPT tersebut. Bahkan ia menilai survei tersebut salah.
"Survei itu mungkin salah metodologinya sehingga hasilnya harusnya tidak seperti itu. Karena selama ini Kalimantan Utara, Bengkulu dan Gorontalo itu tidak pernah masuk radar sebagai wilayah rawan radikalisme,” kata dia saat dihubungi BeritaBenar.
Menurut dia, wilayah yang masih rawan radikalisme adalah Bima di Nusa Tenggara Barat, Poso di Sulawesi Tengah, Solo di Jawa Tengah, Makassar, Sulawesi Selatan, Ciamis, Jawa Barat, serta Sumatera Utara dan Batam.
Al Chaidir menjelaskan, yang bisa dijadikan tolak ukur wilayah tersebut rawan radikalisme adalah, pertama jumlah orang yang setuju dengan gerakan ISIS, terorisme serta banyaknya pengajian yang mengarah kepada ajakan untuk melakukan kekerasan dengan dalih agama.
Kedua, sambungnya, terkait sejarah pergerakannya, apakah pernah ada pemberontakan gerakan darul Islam di wilayah itu atau tidak. Ketiga, mengenai bukti aksi radikalisme, apakah pengikut kelompok radikal di daerah itu sudah melakukan serangan tertentu atau tidak.
“Memang di Bengkulu, ada tokoh Asmar Latin Sani yang pernah melakukan bom Marriot, tapi itu belum bisa menjadi tolok ukur,” ujarnya.
Sementara Direktur Monitoring The Indonesia Intelligence Institute Ridlwan Habib menilai, hasil survei sangat didasari dengan pertanyaan yang ada di lembar pertanyaan yang diajukan kepada para responden. Ia juga mempertanyakan metode penentuan suatu daerah pro radikalisme atau tidak.
"Dari data kami wilayah itu tidak semuanya masuk penilitian kami, tapi malah yang rawan adalah daerah di Jawa, dan kalau rawan itu dari adanya pernah ada penangkapan," katanya kepada BeritaBenar.
Ridlwan menjelaskan, peneliti biasanya didasarkan melalui data pidana yang terjadi di daerah tersebut, seperti penangkapan polisi. “Hal itu bisa terpidana bisa penyelidikan yang penting ada fakta hukum dan tidak berdasarkan persepsi orang saja,”katanya.
Lakukan antisipasi
Menanggapai hasil survei tersebut, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Inspektur Jenderal Setyo Wasisto, mengatakan Polri akan melakukan antisipasi penyebaran radikalisme di wilayah-wilayah tersebut.
"Jadi kita mengantisipasi saja. Sebetulnya radikalisme banyak menyebar, apalagi melalui media sosial. Yang kemarin di Kalimantan Barat saja dia teradikalisasi dengan media sosial. Justru yang lebih rawan yang ada di media sosial," kata Setyo kepada wartawan di Mabes Polri.
Setyo mengatakan, di Polri juga punya data terkait hal ini. Terutama di Detasemen Khusus (Densus) 88 anti teror dan Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Polri. Tapi Setyo belum bisa menyebut datanya secara pasti karena harus koordinasi terlebih dahulu dengan Densus 88 dan Puslitbang Polri.
Terkait hasil survei tersebut, Setyo mengatakan akan berkoordinasi dengan BNPT untuk mengetahui hasil survei dan metodologi yang digunakan. "Nanti perlu dicek metodologi penelitiannya. Researchnya seperti apa. Kita belum tahu ini," ujarnya.
"Makanya kriterianya apakah rawan karena banyaknya kejadian atau karena ada kelompok-kelompok tertentu yang memang sudah di-declare menjadi kelompok radikal saya belum tahu," ujar Setyo.