BPOM Beri Izin Lima Vaksin untuk Program Dosis Ketiga

Pakar epidemiologi: pemberian booster dilematis di saat 70 persen vaksinasi dari total populasi belum tercapai.
Tria Dianti
2022.01.10
Jakarta
BPOM Beri Izin Lima Vaksin untuk Program Dosis Ketiga Tenaga kesehatan berjalan di tengah pasar untuk melakukan tes COVID-19 massal di Jakarta, 10 Januari 2022.
AP

Pemerintah telah menyetujui penggunaan lima vaksin COVID-19 untuk program vaksinasi penguat (booster) atau dosis lanjutan, kata kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Senin (10/1).

Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan vaksin yang disetujui untuk booster adalah buatan Sinovac, Pfizer, Moderna, AstraZeneca dan Zifivax dan akan diutamakan diberikan kepada kaum lanjut usia dan golongan yang rentan.

“Vaksinasi COVID-19 sudah dimulai dari Januari 2021, dan saat ini kita perlu memberikan vaksin booster untuk menjaga efikasi vaksin sebagai upaya bisa menangani pandemi COVID-19 agar segera berakhir,” ujar Penny dalam konferensi pers secara virtual di Jakarta.

Kelima merk vaksin tersebut telah memperoleh izin penggunaan darurat (emergency use authorization) dari BPOM, ujarnya.

Pemerintah akan memulai vaksinasi COVID-19 dosis ketiga pada Rabu dengan menyasar populasi usia lanjut. Dosis ketiga untuk tenaga medis sudah diberikan mulai Juli 2021 lalu.

Indonesia mulai mengalami peningkatan kasus COVID-19 seiring merebaknya kasus Omicron di dalam negeri.

Per Senin, kasus COVID-19 bertambah 454 orang, menjadikan total kasus menjadi 4.266.649. Jumlah kematian bertambah tujuh dalam 24 jam terakhir, menjadikan angka total korban meninggal berjumlah 144.136.

Penny menjelaskan sejak November 2021, BPOM dan sejumlah pakar dari berbagai asosiasi obat sudah melakukan kajian keamanan mutu dan khasiat kelima vaksin untuk digunakan sebagai vaksin penguat.

Hasilnya, kelima vaksin tersebut dapat digunakan dalam dua metode pemberian yaitu homolog atau vaksin yang sama dengan dua vaksin pertama dan heterolog yang merupakan vaksin berbeda dari jenis vaksin primer (vaksin pertama).

Vaksin yang bisa digunakan dalam kriteria homolog antara lain Sinovac, Pfizer, AstraZeneca dan Moderna. Sementara kriteria heterolog adalah Moderna dan Zifivax.

Penerima AstraZeneca atau Pfizer sebagai vaksin primer bisa menggunakan vaksin penguat Moderna dan pengguna Sinovac dan Sinopharm bisa menggunakan Zivivax sebagai vaksin booster.

Namun, ujar dia, pihaknya hingga saat ini masih menanti hasil uji klinis vaksin penguat yang cocok untuk Sinovac, mengingat vaksin ini merupakan salah satu vaksin dengan pengguna terbanyak di Indonesia.

Selain itu, BPOM juga sedang menunggu hasil uji klinik vaksin penguat untuk vaksin primer AstraZeneca, yang menurut rencana diberikan vaksin Sinovac atau Pfizer.

“Selain itu uji klinik untuk vaksin primer Sinopharm juga masih berlangsung, semoga datanya cepat keluar,” katanya.

Hingga saat ini setidaknya 170 juta dari 270 juta penduduk Indonesia telah mendapatkan vaksinasi, 116 juta atau sekitar 43 persen di antaranya sudah mendapatkan dua kali suntikan.

Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan vaksin booster akan diberikan di daerah yang tingkat vaksinasinya mencapai 70 persen.

Ia mengatakan jumlah kasus Omicron terus merangkak naik, dengan total kasus per Senin mencapai 414, mayoritas di antaranya merupakan pelaku perjalanan luar negeri.

Dari jumlah tersebut, 118 orang atau 26 persen sudah sembuh. Sementara yang mengalami gejala berat hanya 2 orang dengan usia 58 tahun dan 47 tahun.

"Negara-negara yang paling tinggi sekarang bergeser pertama Arab Saudi, kedua Turki, ketiga Amerika Serikat, dan keempat Uni Emirat Arab," katanya.

Lebih banyak dari Delta

Budi juga mengingatkan kasus Omicron akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan varian Delta. Namun demikian tingkat kebutuhan perawatan di rumah sakit akan berkurang karena banyak yang tidak perlu ke dirawat.

“Layanan kesehatan akan digeser ke rumah karena yang kena Omicron tidak perlu ke RS. Meskipun cepat sekali transmisinya tapi dari segi keparahan lebih ringan,” ujarnya.

Indonesia sempat menjadi negara dengan kasus COVID-19 harian terbanyak di Asia Tenggara dengan lebih dari 50.000 kasus per harinya pada Juli lalu karea menyebarnya varian Delta.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan mengimbau masyarakat agar tidak pergi dulu ke luar negeri mengingat kasus Omicron banyak disumbang dari perjalanan luar negeri.

“Pelaku perjalanan ini yang kembali bawa Omicron,” katanya

“Jadi 2-3 minggu ini jangan dulu pergi ke luar negeri supaya pulang tidak bawa Omicron ke sini,” ujarnya.

Apabila terpaksa ke luar negeri, Luhut mengingatkan, agar tetap mematuhi protokol kesehatan dan melakukan karantina tujuh hari setibanya di Indonesia.

Ia juga telah meminta pemerintah daerah untuk menyiapkan diri jika terjadi ledakan kasus Omicron.

“Kami minta daerah siapkan rumah sakit, tempat isolasi terpusat, dan obat-obatan untuk memitigasi hal yang tidak diinginkan,” ujar dia.

Dilematis

Pakar epidemiologi dari Griffith University di Australia, Dicky Budiman, mengatakan pilihan memberikan vaksin booster sangat dilematis di saat target vaksinasi belum tercapai 70 persen dari total populasi.

“Ini memang dilematis tapi pilihan harus bersamaan dan parallel. Kalau ditunggu maka akan meledak kasus Omicron, baik dari sisi pesakitan maupun korban meninggal seperti di AS,” ujar dia kepada BenarNews.

Ia menilai langkah pemerintah untuk melakukan vaksinasi booster sangat penting, namun ia mengingatkan harus diprioritakan untuk menyelesaikan target untuk orang yang beresiko tinggi seperti lansia, guru, dosen, tentara dan pelayan publik.

“Yang berbayar nanti saja belakangan,” kata dia.

Sementara itu, pakar epidemiologi dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane, menilai Indonesia belum membutuhkan booster karena dibutuhkan beberapa faktor untuk bisa dilakukan itu.

“Apakah kita butuh booster? Kalau untuk bersiap saja okelah namun booster itu dibutuhkan jika ada indikasi di mana sudah butuh di antaranya status kasus tinggi, kematian tinggi. Ini vaksin kita saja belum mencapai 70 persen. Sebaiknya capai target dulu baru booster,” kata dia.

Selain itu, ia tidak menyetujui jika ada vaksin booster berbayar karena akan terjadi diskriminasi di mana yang mampu yang bisa mendapatkannya.

“Karena kalau berbayar, yang punya uang saja yang bisa dapat akses, sementara yang miskin tidak mendapatkan akses,” ujarnya.

“Kalau sudah bayar maka orang kaya akan serbu vaksin itu, terutama vaksin yang efikasi tinggi. Orang saja rela kok divaksin ke AS demi dapatkan Moderna, berapapun mereka bayar,” tambahnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.