Sembilan Puluh Persen Penduduk Indonesia Tak Suka Baca Buku

Zahara Tiba
2015.11.04
Jakarta
151104-ID-reading-620.jpg Pengunjung di Perpustakaan Mini “Nemu Buku” di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu, 4 November 2015. Perpustakaan mini tersebut didirikan secara swadaya oleh Forum Taman Bacaan Masyarakat Palu.
BeritaBenar

Sebuah fakta yang cukup mengejutkan diungkapkan oleh Kantor Perpustakaan Nasional baru-baru ini, yang menyebutkan 90 persen penduduk Indonesia berusia di atas 10 tahun tidak gemar membaca buku dan lebih memilih menonton televisi.

Sementara sisanya, yang gemar membaca adalah anak-anak berusia sampai 10 tahun.

“Artinya minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah," tutur Kepala Kantor Perpustakaan Nasional, Sri Sularsih, dalam acara Safari Gerakan Nasional Gemar Membaca di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, seperti dilansir kantor berita Antara, minggu lalu.

Sementara di negara maju, ujar Sri, umumnya warga gemar membaca. Setiap orang tercatat membaca 20 hingga 30 judul buku setiap tahunnya. Di Indonesia, tiap orang membaca paling banyak tiga judul buku, dan mayoritas anak-anak.

Mantan Kepala Kantor Perpustakaan Nasional, Dady Rachmananta, membenarkan fakta ini. Menurutnya, budaya membaca sampai sekarang belum menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia.

“Masyarakat kita terbiasa dengan budaya tutur, suka ngobrol. Beda dengan negara-negara maju yang memiliki budaya baca. Mereka lebih senang membaca daripada ngobrol. Kita seharusnya bisa memanfaatkan budaya tutur untuk menggiring masyarakat menuju budaya baca,” ujar Dady kepada BeritaBenar.

Namun Dady menambahkan bahwa mengubah kebiasaan masyarakat tidak mudah dan butuh beberapa generasi. Kenyataan ini dinilai Dady menyedihkan, karena ketika negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia tengah giat-giatnya mengampanyekan gerakan budaya membaca, Indonesia malah terpuruk.

Belajar dari “murid”

Padahal, jelas Dady, di tahun 1970-an calon-calon pustakawan Malaysia banyak berguru dari Indonesia, kala minat baca di kalangan masyarakat dan perpustakaan mereka masih belum berkembang saat itu.

Bahkan hingga tahun 1980-an, toko-toko buku Malaysia masih banyak mengimpor buku terbitan Indonesia.

“Sekarang kebalikannya. Pustakawan Indonesia saat ini banyak yang belajar di Malaysia. Murid pun menjadi guru,” imbuhnya.

“Perpustakaan di Singapura tidak pernah kosong. Saat akhir pekan, perpustakaan penuh dengan anak-anak karena orang tuanya mengajak mereka ke sana, selain museum. Di Indonesia, anak-anak dibawa ke pusat-pusat perbelanjaan,” jelasnya.

Dady menjelaskan ada empat tingkat minat baca di kalangan masyarakat, mulai dari sekedar minat membaca, kegemaran, kebiasaan, hingga budaya membaca.

Sayangnya, kata Dady, masyarakat Indonesia masih berada di tingkatan minat membaca.

“Bahkan ada beberapa segmen penduduk kita masih di tingkat buta huruf. Kebanyakan (adalah) mereka yang jauh dari kota besar. Sebagian malah lebih bisa baca tulisan berbahasa Arab daripada bahasa Indonesia,” ungkapnya.

Gerakan membaca tak sampai ke bawah

Hal ini bukan berarti tidak ada upaya untuk menggalakkan minat baca dari pemerintah. Dady mengatakan gerakan untuk mendorong minat baca di kalangan masyarakat sudah dilakukan tiga presiden sebelumnya.

Tahun 1995, Presiden Soeharto mencanangkan Hari Kunjung Perpustakaan, yang jatuh setiap September. Lalu pada 2003, Presiden Megawati mencanangkan Gerakan Membaca Nasional. Tahun 2006, Presiden SBY mencanangkan Pembudayaan Perpustakaan di Masyarakat.

Pada tahun 2001, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat yang saat itu dijabat Jusuf Kalla membentuk Gerakan Pengembangan Minat Baca bersama Perpustakaan Nasional.

“Pemerintah sebetulnya tidak kurang langkah. Cuma memang tidak sampai ke bawah,” ujar Dady.

Generasi teknologi

Pengamat pendidikan Darmaningtyas mengatakan perkembangan teknologi menjadi faktor menurunnya minat baca di kalangan masyarakat.

“Generasi yang sekarang kuliah, sejak lahir sudah ada televisi, internet, dan handphone. Jadi mereka sejak kecil tidak belajar membaca buku, namun dengan menonton televisi, berselancar di internet atau bermain handphone. Apalagi harga buku di Indonesia relatif mahal dan hanya ada di kota-kota besar,” kata Darmaningtyas kepada BeritaBenar.

Dengan minat membaca yang rendah, pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat pun minim dan kualitas hidup rendah. Pendidikan, lanjutnya, tentu saja berkontribusi dalam upaya mengajak masyarakat agar gemar membaca, tapi tidak sepenuhnya.

“Kebiasaan membaca lebih terkait dengan budaya masyarakat, bukan dengan sistem pendidikan. Pengetahuan dari tahun ke tahun diturunkan melalui budaya tutur, bukan budaya tulis dan baca. Orang-orang yg suka baca merupakan bentukan keluarga, bukan bentukan sistem pendidikan,” ujarnya.

Sarana membaca

Sementara itu, Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat Palu, Sulawesi Tengah, Neni Muhidin sepakat kurangnya minat membaca buku karena adanya loncatan dari kebudayaan lisan ke terknologi informasi.

Pendiri Perpustakaan Mini “Nemu Buku”, perpustakaan yang meminjamkan buku secara gratis bagi masyarakat Palu itu beranggapan, solusi ampuh untuk meningkatkan minat baca adalah melalui sentuhan secara langsung oleh pemerintah sampai ke bawah.

Pemerintah, menurutnya, mesti menyediakan sarana dan prasarana yang lengkap di lingkungan tinggal masyarakat, seperti perpustakaan maupun taman bacaan.

"Setelah buat taman bacaan, jangan bukunya tidak kontekstual dengan lingkungan masyarakat tersebut. Contohnya, kalau bangun taman bacaan di pedesaan yang lingkungannya banyak pertanian, ya harus menyediakan buku tentang pertanian. Itu agar masyarakat benar-benar membacanya," tutupnya.

Keisyah Aprilia ikut memberikan kontribusi dalam artikel ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.