Sekitar 10.000 Massa Tolak Perppu Ormas dan Kebangkitan Komunis
2017.09.29
Jakarta
Sekitar 10.000 massa berunjuk rasa di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Jakarta pada Jumat, 29 September 2017, menyerukan anti komunisme dan penolakan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) yang membubarkan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Peserta Aksi 299, demikian aksi tersebut dinamakan berdasarkan tanggal aksi tersebut, lebih sedikit dari apa yang diprediksikan sebelumnya oleh penggagasnya, Slamet Maarif. Juru bicara Front Pembela Islam (FPI) yang juga ketua demonstrasi Aksi Bela Islam 212 tahun lalu yang memprotes Gubernur DKI Jakarta saat itu Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama atas tuduhan penistaan Islam itu, sempat mengklaim setidaknya 50.000 orang bakal berdemonstrasi.
Namun, juru bicara Kepolisian Daerah Metro Jaya, Kombes. Pol. Argo Yuwono, memperkirakan jumlah massa sekitar 10.000 orang.
”Tidak sampai 50.000," katanya, seraya menambahkan bahwa aksi kali ini dijaga sekitar 20 ribu anggota gabungan polisi dan tentara.
Aksi itu diselenggarakan tepat sehari sebelum peringatan 52 tahun peristiwa G30S/PKI yang menjadi tonggak berdirinya Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto, dilarangnya paham komunis dan Partai Komunis Indonesia (PKI), serta justifikasi pembantaian terhadap sekitar 500,000 orang yang dianggap berkaitan dengan partai berlambang palu arit tersebut.
Mantan Ketua MPR Amien Rais, tampak di tengah para peserta aksi. Dalam orasinya, Amien menilai pemerintahan Jokowi telah membiarkan kebangkitan PKI, dengan salah satu indikasi, menurutnya, tercermin dari mudahnya pelaksanaan diskusi yang membahas insiden 1965.
"Saya mengapresiasi Polri yang sudah membubarkan seminar PKI di LBH Jakarta,” kata Amin, yang disambut takbir pengunjuk rasa.
Seperti diketahui polisi membubarkan seminar bertajuk “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66” yang digelar di Lembaga Bantuan Hukum (LBH/YLBHI), Jakarta, pada Sabtu, 16 September lalu. Pembubaran tersebut menuai kritik dari aktivis dan masyarakat.
Dalam aksi yang berlangsung dari pukul 10:00 hingga 17:00 WIB itu, para demonstran, membawa bendera al-Liwa dan ar-Rayah - yang oleh mantan juru bicara HTI Ismail Yusanto disebut sebagai bendera umat Islam, juga berorasi mengecam pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo.
"Perppu Ormas adalah kebijakan pimpinan yang antikritik," kata seorang orator dari atas mobil komando yang terparkir di depan pagar Gedung DPR.
Menghadap DPR
Selepas salat Jumat berjamaah di depan Gedung DPR, perwakilan pendemo diterima beberapa anggota DPR, seperti Fadli Zon dari Partai Gerindra; politikus Partai Demokrat Agus Hermanto; dan politikus Partai Keadilan Sejahtera Jazuli Juwaini.
Dalam pertemuan itu, perwakilan pendemo meminta DPR tidak mengesahkan Perppu Ormas menjadi undang-undang. Sesuatu aturan, Perppu yang ditolak DPR akan gugur dan tak lagi berlaku.
Seusai pertemuan dengan perwakilan pengunjuk rasa, Fadli yang berorasi di hadapan massa, berjanji akan menghadang pengesahan Perppu Ormas di DPR.
"Saya sependapat bahwa Perppu ini bermasalah," katanya, "maka harus disampaikan juga kepada fraksi lain (yang mendukung Perppu Ormas) agar menolak. Mudah-mudahan ada keajaiban Perppu ini ditolak."
Sementara itu Jazuli mengatakan partainya siap menangkal ideologi PKI.
"PKS dalam momentum ini turut menginstruksikan menonton film ini (G30S)," terang Jazuli.
Teriak ‘khilafah’
Para pengunjuk rasa juga meneriakkan seruan "khilafah …khilafah” terutama ketika bendera al-Liwa dan ar-Rayah raksasa diarak dari satu ujung jalan ke ujung lain jalanan depan Gedung DPR.
Pemerintah memang merujuk ideologi khilafah yang diusung HTI, sebagai pertimbangan pembubaran organisasi itu pada 19 Juli lalu —sembilan hari usai terbit Perppu Ormas.
Tujuan menangkal paham semacam khilafah juga yang kemudian membuat pemerintah memperluas definisi paham yang bertentangan dengan Pancasila dalam Perppu Ormas.
Jika beleid sebelumnya UU Nomor 17/2013 tentang Ormas menyatakan bahwa ajaran bertentangan sebatas ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, Perppu menambahkan paham lain yang bertujuan mengganti Pancasila dan UUD 45.
Penerbitan Perppu Ormas juga memancing kritikan sejumlah aktivis, salah satunya Kontras yang menyebut pemerintah telah kembali ke era Orde Baru di bawah Soeharto.
FPI yang terancam Perppu Ormas menilai aturan tersebut sebagai langkah mengebiri hak warga negara dan menyudutkan kelompok agama tertentu.
Adapun HTI, telah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi dan tengah menunggu keputusan mahkamah.