Desakan Pengusutan Kebakaran Lahan Terus Digaungkan di Riau
2016.09.12
Pekanbaru
Desakan pengusutan terhadap kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Provinsi Riau terus digaungkan dengan melibatkan massa yang lebih besar.
Bila sebelumnya hanya organisasi masyarakat sipil yang peduli isu lingkungan melalui media massa dan sosial, kini massa mulai turun ke jalan untuk menuntut aparat penegak hukum mengusutnya.
Sepanjang pekan kemarin, hampir setiap hari terjadi unjuk rasa di depan Markas Kepolisian Daerah Riau, yang mendesak polisi serius memproses hukum kasus Karhutla. Mereka terdiri dari mahasiswa beberapa universitas dan aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau.
Presiden Mahasiswa Universitas Riau, Abdul Khair, menjelaskan penegakan hukum Karhutla tidak transparan dan cenderung ditutupi.
Apalagi, Polda Riau pernah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap 15 perusahaan yang diduga membakar lahan, tahun 2015. Alasan polisi karena lahan masih berkonflik dengan masyarakat.
“Ketika mahasiswa minta kejelasan terkait masalah itu, yang kita dapatkan hanya normatif. Maka, aksi turun ke jalan jadi pilihan terakhir,” katanya saat memimpin unjuk rasa, Kamis, 8 September 2016.
Ia menambahkan, aksi unjuk rasa tersebut dilakukan untuk memperjuangkan keadilan bagi masyarakat Riau yang tiap tahun mengalami bencana akibat kerusakan ekologi.
“Rakyat kecewa karena hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” ujarnya.
Dalam setiap aksi, massa menuntut pemerintah segera membentuk tim independen untuk mengusut alasan penerbitan SP3 terhadap ke-15 perusahaan.
Mereka juga mendesak Kepala Kepolisian Indonesia (Kapolri) untuk mencopot Kapolda Riau dan mengusut kasus sejumlah aparat polisi setempat yang kongkow bersama bos PT Andika Permata Sawit Lestari (APSL).
Wakil Kepala Kepolisian Daerah Riau Kombes Pol Suharsono, menyatakan tersebarnya foto-foto pejabat Polda dan pimpinan PT APSL sangat disesalkan, karena menyakiti hati mahasiswa dan masyarakat Riau.
“Kami sendiri tidak suka dengan itu. Ada langkah-langkah yang dilakukan pimpinan, baik itu Polri maupun Polda Riau. Proses saat ini sedang berjalan. Itu semua membutuhkan waktu,” katanya.
Terkait SP3 15 perusahaan, kata Suharsono, proses penghentian itu juga tidak terjadi begitu saja.
“Bila ada novum (bukti baru) Polri mempersilakan, termasuk bila ada yang mau mengajukan praperadilan. Sekarang, kita tunggu proses yang sedang berjalan. Kita hormati. Yakinlah ada tindakan dari Polri,” jelasnya.
Publik marah
Direktur Eksekutif Walhi Riau, Riko Kurniawan, menyatakan publik sudah marah dan kecewa dengan lemahnya penegakan hukum bagi pelaku pembakaran lahan.
“Sangat tepat kalau ada pressure penegakan hukum bagi pembakar lahan. Karena itu akan memberi efek jera agar tak lagi mengulangi pembakaran lahan,” kata Riko.
Pakar lingkungan dari Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Elviriadi, juga setuju dengan aksi unjuk rasa karena keterlibatan masyarakat untuk mendesak penuntasan proses hukum dalam masalah ekologi di Riau penting.
“Itu pressure nyata dan terukur,” ujarnya kepada BeritaBenar, Sabtu, 10 September 2016.
Menurut Elviriadi, kondisi ekologi Riau sudah sangat buruk dan membahayakan yang mulai dari deforestasi dan berlanjut ke Karhutla. Sehingga, katanya, wajar bila ada gerakan sosial untuk mengubahnya.
“Tidak bisa tidak, rehabilitasi harus dilakukan saat ini. Namun, itu tidak gampang. Setidaknya dalam hal waktu. Itu butuh 20 tahun atau lebih,” ujarnya.
“Sangat diperlukan kebijakan penguasa, agar daya dukung lingkungan dan bisa disegerakan perbaikan ekologis di Riau.”
Foto udara yang diabadikan tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2 September 2016, memperlihatkan bangunan rumah pekerja PT APSL turut terbakar akibat kebakaran kebun di Desa Bonai, Kabupaten Rokan Hulu. (Dok. KLHK)
Penyidik KLHK disandera
Sebelumnya, Jumat malam, 2 September 2016, empat penyidik pegawai negeri sipil dan tiga polisi hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sempat dihadang dan disandera kelompok massa di lahan PT APSL di Desa Bonai, Kabupaten Rokan Hulu.
Mereka disandera usai melakukan penyelidikan di lahan PT APSL yang terbakar, mengambil foto-foto, dan video serta memasang plang penyegelan.
Pelaku penyanderaan mengaku masyarakat setempat yang memiliki lahan terbakar itu atau lahan yang dikelola bersama PT APSL dalam pola plasma.
Tim baru diperbolehkan meninggalkan lokasi setelah polisi bernegosiasi dengan lebih 100 massa yang menghadang dan menyandera hingga Sabtu dinihari, 3 September 2016.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyatakan tim turun ke areal lahan perusahaan itu karena terjadi kebakaran di perkebunan sawit tersebut, Agustus lalu.
“Ditemukan bukti lapangan, dua ribuan hektar sawit terbakar di hutan produksi yang belum ada pelepasan dari menteri, atau dengan kata lain, kebun sawit di area tersebut ilegal,” katanya kepada wartawan sehari setelah tim KLHK dilepas.
“Diduga kuat aktivitas ilegal ini difasilitasi perusahaan, yang mengatasnamakan masyarakat melalui kelompok tani. Modus seperti ini biasa digunakan perusahaan nakal,'' tambah Siti.
Tetapi pihak legal PT APSL, Novalina, membantah kebakaran terjadi di lahan perusahaannya. Ia mengatakan, lahan yang terbakar milik masyarakat yang bekerja sama dengan perusahaan.
Ia juga membantah perusahaan mengerahkan masyarakat untuk menyandera tim KLHK.
“Yang terjadi, masyarakat mempertanyakan penyegelan terhadap lahan mereka dan merasa dipersalahkan atas terjadinya kebakaran di sana,” kata Novalina.