Dewan Masjid Sangsikan Hasil Survei 41% Masjid Terindikasi Radikalisme

Seorang pimpinan PBNU berharap pemerintah melakukan pengawasan di masjid-masjid lingkungannya.
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2018.07.09
Jakarta
180709_ID_FridaySermon_1000.jpg Jemaah masjid mendengarkan khotbah seorang khatib dalam sebuah salat Jumat di Jakarta, 4 Juni 2010.
AFP

Dewan Masjid Indonesia (DMI) menyangsikan hasil survei baru-baru ini yang mendapati bahwa 41 dari 100 masjid di lingkungan kementerian, lembaga negara dan badan usaha milik negara (BUMN), terpapar radikalisme.

“Radikal bisa juga kritis (terhadap pemerintah). Mereka berpandangan radikal bisa juga untuk dirinya sendiri saja dalam menjalankan ajaran agama, tapi tidak berarti ada niat untuk merusak atau mengancam negara,” ujar Sekretaris Jenderal DMI, Imam Addaruquthni kepada BeritaBenar, Senin, 9 Juli 2018.

“Radikalisme mungkin ada dalam mengkritik pemerintah terhadap pelaksanaan pemerintahan, karena memang ada ketidakadilan yang harus dikritisi,” tambahnya.

Survei oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan itu dilakukan dengan menganalisa khotbah salat Jumat di 35 masjid kementerian, 28 masjid lembaga dan 37 masjid BUMN antara 29 September hingga 21 Oktober 2017.

Ketua Dewan Pengawas P3M, Agus Muhammad, mengatakan mereka menganalisa 400 hasil rekaman khotbah Jumat yang direkam oleh surveyor yang hadir dalam kegiatan tersebut.

Peneliti juga mengambil gambar, brosur, dan buletin di masjid-masjid tersebut, yang dijadikan referensi untuk menilai apakah masjid tersebut terpapar radikalisme.

Tiga kategori

P3M dan Rumah Kebangsaan merilis hasil survei mereka, Minggu, 8 Juli 2018, di kantor pusat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta.

Hasil survei memperlihatkan dari 35 masjid kementerian, 12 di antaranya terindikasi radikal. Hal yang sama juga didapatkan pada delapan dari 28 masjid lembaga dan 21 dari 37 masjid BUMN.

Mereka membagi indikasi radikal dalam tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi.

Dari 41 yang terindikasi radikal, 17 masjid terindikasi radikal tinggi, yang artinya khatib salat Jumat bukan sekadar setuju tindakan intoleran tapi juga memprovokasi umat agar melakukan tindakan intoleran.

Sementara itu, 17 lainnya terindikasi radikal sedang atau memiliki tingkat radikalisme cenderung tinggi dengan contoh khatib setuju tindakan intoleransi tapi tidak memprovokasi jemaah untuk melakukannya.

Sisanya tujuh masjid terindikasi radikal rendah atau secara umum tergolong moderat tapi memiliki kecenderungan radikal.

Salah seorang ketua PBNU, Abdul Manan Ghani, mengatakan pihaknya prihatin terhadap hasil temuan survei tersebut dan berharap pemerintah melakukan pengawasan di masjid-masjid di lingkungannya.

“Masjid-masjid yang kemungkinan besar dibiayai oleh anggaran negara tapi dipakai untuk mempromosikan intoleransi,” ujar Abdul Manan dalam jumpa pers di kantor PBNU.

Agus mengatakan angka tertinggi masjid yang terindikasi radikal sedang dan tinggi ada di masjid lingkungan BUMN dengan hanya 1 dari 21 yang terindikasi radikal rendah, begitu juga dengan masjid di lingkungan lembaga dengan hanya 1 dari 8 masjid yang terindikasi radikal rendah.

“Ini sudah masuk kategori lampu merah untuk masjid-masjid BUMN. Seharusnya pemerintah punya prosedur standar mengenai bagaimana mengelola masjid-masjid di lembaga negara,” ujar Agus.

“Kami mengharap DMI melakukan pendalaman lebih jauh terhadap temuan ini untuk bisa diambil tindakan dan langkah-langkah seperlunya,” tambahnya.

Namun, Agus mengatakan bahwa hasil survei ini baru sebatas indikasi dan belum sepenuhnya mencerminkan realitas yang sebenarnya karena yang dianalisis baru sebatas materi khotbah Jumat selama empat kali.

Imam mengatakan DMI sudah membuat silabus khotbah sebagai referensi khatib saat merancang khotbahnya dan ada kumpulan khotbah tematik seperti mitigasi bencana alam yang bisa dipakai khatib setiap saat.

“Kami menjadikan hasil studi ini sebagai bahan verifikasi, kajian dan konsolidasi untuk pemberdayaan umat yang lebih baik di berbagai bidang sosial ekonomi,” ujar Imam.

Langkah antisipatif

Juru bicara Kementerian Agama, Mastuki, mengatakan pihaknya sudah melakukan berbagai langkah antisipatif sejak awal 2017 menyusul adanya laporan-laporan dari masyarakat mengenai konten ceramah keagamaan yang dianggap meresahkan.

“Mungkin 41 masjid itu masih yang tersisa (radikal) pada saat itu karena belum bisa hilang sama sekali. Sebaiknya dilakukan lagi survei serupa di 2018 ini. Mungkin sudah ada perubahan,” ujarnya kepada BeritaBenar.

Mastuki juga mengatakan survei seperti ini menjadi sangat membantu untuk pemetaan dan antisipasi melalui pendekatan persuasif kepada pengelola-pengelola masjid.

“Untuk ke depannya, kami sedang pertimbangkan mengeluarkan kode etik berceramah di rumah ibadah dan ruang publik untuk semua agama. Kami sedang konsultasikan ini dengan berbagai organisasi masyarakat dan sedang kami diskusikan secara internal,” ujar Mastuki.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.