Kearifan Lokal, Akar Toleransi Masyarakat Dieng
2017.04.21
Banjarnegara
Aroma menyengat dari dupa yang dibakar di ruang tengah merebak ke segala penjuru rumah Mujiyadi (32). Di dapur, beberapa lelaki paruh baya berpeci tengah bercengkerama dengan para perempuan berkerudung. Di depan mereka, terhidang piring gorengan dan gelas-gelas berisi teh manis hangat.
“Di sini makin malam makin ramai. Ada saja yang dibicarakan,” ujar sang pemilik rumah, yang juga merupakan dalang wayang di kawasan Dataran Tinggi Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah, ketika ditemui BeritaBenar, awal bulan ini.
Muji, begitu sapaannya, tengah menunggu tamu istimewa, yakni dua bupati asal Jawa Barat.
“Sekedar berkonsultasi,” begitu jelasnya.
Muji mengaku sering dimintai petunjuk spiritual mulai dari masyarakat biasa hingga tokoh-tokoh terkenal. Meski dirinya menganut ajaran Islam, Muji juga mengamalkan kepercayaan Kejawen, yaitu tradisi lokal masyarakat Jawa sebelum masuknya Islam, yang banyak dipengaruhi oleh perpaduan antara animisme, Hindu, Buddha, dan kepercayaan lainnya.
Upaya menjaga kearifan lokal inilah yang menurutnya sesuai demi menjaga tradisi masyarakat Dieng.
“Di sini memang mayoritas Muslim, tapi masih banyak yang menganut Kejawen. Kami saling menghormati kepercayaan masing-masing,” ujar Muji.
Hasil dari saling pengertian dan menghormati sesama adalah toleransi beragama terus terjaga di daerah tersebut.
“Semua keyakinan, agama itu bagus. Kalau orang sudah ingat dengan tujuan beragama, tidak perlu dirembuk lagi. Tidak perlu diperdebatkan. Saling hormat menghormati lah sesama umat beragama atau kepercayaan orang lain,” tuturnya.
Muji mengatakan mudahnya Islam diterima di tengah masyarakat Dieng yang dulu merupakan penganut Hindu, tak lepas dari peran para murid Wali Songo – sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.
Tradisi Hindu
Hal itu terlihat dalam tradisi masyarakat lokal dimana acara selamatan pasti tersedia hidangan nasi tumpeng, yang merupakan tradisi Hindu. Tumpeng sendiri melambangkan semakin tinggi derajat dan ilmu seseorang, godaan pun makin besar.
“Para wali menyebarkan Islam dengan arif dan bijaksana, mampu mendekatkan diri dengan masyarakat. Mereka menyebarkan ajaran Islam dengan menyentuh hati dan perasaan masyarakat, tidak dengan cara kekerasan,” jelas Muji.
Kerukunan di keluarganya sendiri terlihat dari banyak anggota keluarga yang menjadi tokoh Muslim bahkan menjadi pengurus Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama cabang setempat.
“Kebetulan saya sendiri yang meneruskan ajaran Kejawen dari kakek, karena beliau dulu adalah pendiri Seni Tari Rodat di Dieng,” ujarnya.
“Nggak ada yang protes. Mereka malah mendukung. Yang penting tidak merugikan orang lain. Justru kalau bisa berbuat kebaikan untuk orang lain.”
Beberapa ajaran Kejawen lain yang masih tetap hidup di kalangan masyarakat setempat adalah ritual membawa sesaji ke komplek candi, gua-gua, dan Telaga Warna, yang merupakan tujuan wisata favorit di kawasan 2.200 meter di atas permukaan laut tersebut.
“Itu bukan berarti memberi makan setan atau jin. Sesaji adalah simbol rasa terima kasih kepada para leluhur dan alam sekitar,” ujarnya.
“Membakar dupa atau kemenyan juga ada artinya. Asapnya yang menuju ke atas menunjukkan bahwa kita harus yakin kepada yang di atas (Tuhan).”
Dua turis lokal melintas di depan Candi Arjuna, kawasan Dataran Tinggi Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah, 9 April 2017. (Zahara Tiba/BeritaBenar)
Kearifan lokal
Tokoh budayawan lokal, Dedi Waliyadi, mengatakan toleransi beragama di Dieng tidak terlepas dari pengamalan prinsip dalam Islam secara turun-temurun.
“Hablumminannas (hubungan antar-manusia) dan HablumminAllah (hubungan antara manusia dan Tuhan),” ujar Dedi yang juga menekuni kemampuannya menjadi dalang.
Meski demikan, upaya melestarikan tradisi dan kearifan lokal juga menjadi kunci kerukunan masyarakat di sana.
“Tiap bulan Suro, di sini ada tradisi mendem atau mengubur kaki dan kepala kambing,” katanya.
Menanam kaki kambing artinya agar masyarakat tidak saling menendang, hantam-hantaman. Kalau kepala, artinya biar tidak sombong.
“Itu makna sebenarnya dari semua kegiatan simbolis ini,” terang Dedi, “ini harus dilestarikan. Kalau bukan kita, siapa lagi?”
Seorang tetua masyarakat Dieng, Rusmanto (67), menjelaskan pentingnya menjaga tradisi lokal yang otomatis menjaga kerukunan masyarakat sekitar.
Salah satunya adalah melestarikan ruwatan anak rambut gimbal, yang kini jadi festival tahunan di kawasan itu. Beberapa anak berambut gimbal dari usia balita hingga 11 tahun ditemukan di Dieng.
Menurut legenda, rambut gimbal ini adalah titipan Ratu Laut Selatan yang harus dikembalikan. Melalui ritual, rambut anak-anak dipotong dan dilarung ke Telaga Warna untuk dikembalikan.
Sebagai gantinya, anak-anak ini berhak mendapatkan hadiah yang mereka inginkan, mulai dari sekadar makanan hingga mainan.
“Itu sudah menjadi kewajiban saya, kewajiban kita untuk melestarikan tradisi,” ujar pria berusia 67 tahun itu.
Karena itu, Rusmanto mengaku heran dengan perselisihan bernuansa agama dan kepercayaan di daerah lain.
“Saya yakin Nabi Muhammad saat ini kecewa. Ajarannya baik-baik tapi disalahgunakan. Islam itu agama yang santun,” ujar Rusmanto.
“Agama itu ibarat baju, bisa berbeda-beda pada setiap orang. Yang penting, budi pekerti dan akhlak mulia.”