Transparency International: Masyarakat Nilai DPR Sebagai Lembaga Terkorup
2017.03.08
Jakarta
Dewan Perwakilan rakyat (DPR) dianggap masyarakat Indonesia sebagai lembaga paling korup, demikian hasil survei persepsi publik tahun 2017 yang dilakukan Transparency International (TI).
Dalam penelitian menggunakan metode wawancara langsung maupun melalui telepon kepada 1.000 responden di 31 dari 34 provinsi di Indonesia dalam kurun pertengahan 2015 hingga awal 2017, sebanyak 54 persen responden sepakat menyebut DPR sebagai lembaga terkorup di tanah air.
"Persepsi itu karena banyaknya kasus korupsi yang melibatkan anggota legislatif," kata peneliti TI Indonesia, Wawan Suyatmiko kepada BeritaBenar, Rabu, 8 Maret 2017.
Secara besaran, persepsi negatif tersebut turun cukup signifikan dari survei serupa yang digelar TI pada 2013.
Saat itu, masyarakat menilai DPR sebagai lembaga terkorup kedua di Indonesia dengan 89 persen suara negatif, di bawah kepolisian yang mencapai 91 persen.
Hanya saja secara peringkat, DPR kali ini meyalip kepolisian di puncak survey sesuai persepsi publik.
Sedangkan kepolisian yang dalam survei sebelumnya dinilai sebagai lembaga paling korup berangsur membaik, setelah turun ke peringkat kelima dengan 40 persen responden.
Setelah DPR, Birokrasi berada di posisi kedua terkorup dengan 50 persen responden. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang mendapat 47 persen berada di peringkat ketiga, disusul oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan 45 persen responden sebagai institusi terkorup keempat, di atas kepolisian.
"Dengan hasil ini, lembaga politik seharusnya merumuskan strategi antikorupsi dan perbaikan kinerja yang lebih akuntabel," tambah Wawan.
‘Menjadi petunjuk’
Aktivis antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan bisa memahami tingginya persepsi negatif masyarakat terhadap DPR. Pasalnya, beberapa anggota DPR memang terseret kasus korupsi.
Sepanjang 2016 saja, terang Ade, beberapa politikus di Senayan telah ditangkap aparat hukum, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Awal tahun lalu, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Damayanti Wisnu Putranti tertangkap tangan menerima suap Rp 8,1 miliar untuk meloloskan rencana pembangunan jalan di Provinsi Maluku dan Maluku Utara.
Dalam kasus serupa, Budi Suproyanto dari Partai Golkar ditetapkan sebagai tersangka suap dari pengusaha Abdul Khoir untuk memuluskan proyek jalan di Maluku, Maret 2016.
Sebulan setelahnya, giliran politikus Andi Taufan Tiro dari Partai Amanat Nasional yang ditetapkan KPK sebagai tersangka penerima suap Rp 7,4 miliar dalam kasus yang sama.
Lalu pada Juni, politikus Partai Demokrat, I Putu Sudiartana, dicokok KPK dalam operasi tangkap tangan. Anggota Komisi III itu kedapatan menerima uang suap sebesar S$ 40 ribu dan Rp 500 juta untuk menggolkan proyek 12 ruas jalan di Sumatera Barat dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016.
"Maka seharusnya ini bisa menjadi petunjuk KPK agar lebih fokus memberantas korupsi politik," kata Ade.
Jumlah politikus DPR yang tersangkut korupsi diperkirakan berpotensi bertambah usai terungkapnya dugaan korupsi dalam pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) tahun anggaran 2011-2012.
Sejauh ini, KPK baru menetapkan dua tersangka dalam kasus yang disebut merugikan negara hingga Rp2 triliun, yakni mantan Direktur Pengelolaan Informasi Adiministrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Sugiharto dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman.
Tidak berbeda penilaian pengamat politik CSIS, J. Kristiadi, yang mengatakan tak heran DPR bisa memperoleh persepsi negatif terkait korupsi dari masyarakat.
Ia pun berharap DPR bisa berbenah diri menanggapi survei tersebut. "Jika ingin kembali mendapatkan kepercayaan dari masyarakat," katanya.
‘Momentum Introspeksi’
Sejalan dengan pengamat dan aktivis, politikus PDIP Hendrawan Supratikno berharap persepsi negatif dalam survei TI bisa menjadi momentum perbaikan internal institusi legislatif.
"Itu akan menjadi tantangan kami," kata Hendrawan kepada BeritaBenar.
Pendapat yang sama juga dikatakan politikus Partai Demokrat, Syarief Hasan.
"Survei itu bisa menjadi momentum introspeksi DPR lebih transparan," katanya.
Sikap dua politikus itu berbanding dengan terbalik dengan sikap Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Politikus Partai Gerindra itu justru memandang sinis hasil survei yang menunjukkan persepsi negatif kepada lembaganya.
"Itu kan survei," katanya, dikutip dari laman detik.com.
Adapun juru bicara Markas Besar Kepolisian Indonesia, Brigjen Rikwanto bersyukur dengan membaiknya persepsi publik terhadap kepolisian.
Tak hanya itu, ia menyebut kepolisian bakal terus memperbaiki agar persepsi baik terus muncul di tengah masyarakat.
Caranya?
“Kami akan meningkatkan kesejahteraan anggota, reward dan punishment, serta kesempatan sekolah,” pungkas Rikwanto.