Pemerintah Dinilai Tidak Serius Tangani Kebakaran Lahan
2015.10.26
Jakarta
Seiring semakin meluasnya kebakaran lahan – terutama lahan gambut – dan hutan serta semakin banyaknya wilayah yang terpapar kabut asap, kalangan pegiat lingkungan meragukan kesungguhan aparat dan pemerintah memburu pelaku kejahatan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terutama dari unsur korporasi.
Kabut asap akibat kebakaran hutan telah mencapai Jakarta sejak akhir minggu lalu, sementara sejak awal minggu lalu kebakaran hutan dan lahan meluas di Sulawesi, Papua dan Maluku.
Organisasi lingkungan World Resources Institute yang bermarkas di Washington, Amerika Serikat mencatat bahwa sejak bulan September, emisi gas per hari yang dihasilkan oleh kebakaran lahan dan hutan Indonesia ini saja per sudah melampaui emisi per hari yang dihasilkan oleh perekonomian Amerika. Padahal, aktivitas perekonomian Amerika 26 kali lebih besar daripada Indonesia.
Sementara itu Presiden Joko Widodo pada Senin malam WIB memutuskan untuk segera mempercepat kunjungan ke AS ditengah kritikan public dan kabut asap yang semakin parah.
“Saya putuskan mempersingkat kunjungan saya ke Amerika dan segera kembali ke tanah-air-JKW,’ tulis Presiden Jokowi di akun Twitternya.
‘Jalan terus’
Terjadinya kebakaran baru, ditengah upaya pemerintah yang dibantu negara-negara tetangga untuk memadamkan yang sudah ada, menunjukkan pengawasan yang lemah dan tindakan hukum yang tidak membuat efek jera bagi pembakar hutan.
Menurut organisasi Sawit Watch, luasan lahan kelapa sawit berkembang cepat menjadi sedikitnya 13,5 juta hektar pada 2013. Perluasan kebun sawit dengan berbagai cara, terutama dengan sistem tebang-bakar, diperkirakan akan terus berlanjut seiring target pemerintah menjadikan 28 juta hektar lahan sebagai ladang sawit pada 2020.
"Karena itu proses pembakaran jalan terus. Seperti yang kita lihat tahun ini saat krisis asap benar-benar parah, tindakan hukum yang ditempuh Kemenhut-LH sangat mengecewakan," kritik Musri Nauli, Direktur Eksekutif Walhi Jambi.
Tahun ini Jambi masuk daerah yang paling parah akibat karhutla, dengan jumlah korban penderita ISPA mencapai lebih dari 100 ribu jiwa menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Dari 33 ribu hutan sawit setempat, menurut Musri 80% titik api berada di wilayah konsesi yang dikuasai perusahaan besar.
"Cuma wilayah Kerinci yang bergunung-gunung dan Kota Jambi yang selamat, sisanya penuh titik api. Pelakunya kan harus dimintai pertanggungjawaban," tukasnya kesal.
Merasa kinerja pemerintah dan aparat lamban, Walhi Jambi dan Persatuan Advokat Indonesia berencana mengajukan gugatan kelas (class action) pekan depan.
"Kami sudah kecewa sekali. Memang kita dengar Polda (Jambi) mengumumkan daftar tersangkanya tempo hari, tapi anehnya nama-nama perusahaan itu asing buat kita," kata Musri.
Dia mempertanyakan lolosnya korporasi-korporasi besar yang selama ini justru diduga menjadi dalang utama pembakaran.
"Ada perusahaan yang masuk daftar tersangka, tapi itu perusahaan kecil. Kemenhut-LH ancam mau cabut izinnya. Lha buat apa, itu perusahaan meski membakar juga tidak banyak, bahkan sudah empat tahun tak aktif," tambahnya tanpa merinci nama perusahaan yang dimaksud.
Berkas mentah kembali
Upaya hukum juga dianggap lamban di Riau. Wilayah ini juga merupakan salah satu yang terparah akibat kabut asap dengan penderita ISPA mencapai hampir 130 ribu jiwa, tertinggi untuk provinsi di Indonesia saat ini menurut data terbaru BNPB.
Namun Direktur Eksekutif Walhi Riau, Riko Kurniawan memuji kinerja polisi dan pejabat Kemenhut-LH yang menurutnya 'mulai berani' memperkarakan korporasi besar.
"Sekarang ini ada 11 kasus sidang di pengadilan, 2 sudah vonis. Nah masalahnya sekarang ada di pengadilan,"kata Riko pada BeritaBenar.
Riko menilai aparat baik di kementrian maupun Polda Riau sudah memberi bukti-bukti meyakinkan terkait sangkaan pembakaran lahan gambut.
Kasus-kasus yang diajukan ke pengadilan setahun terakhir menurutnya menunjukkan pembakaran ' yang masif dan meluas' yang mengindikasikan kesengajaan dan kelalaian.
Namun sangkaan selalu mentah di pengadilan karena dakwaan yang lemah dan vonis ringan.
"Jaksa serta hakim nampak tidak punya kesadaran hukum lingkungan. Entah sengaja atau tidak, pemahaman lemah pada ujungnya adalah vonis rendah dan bahkan bebas dari hukuman," tambah Riko.
Ia mencontohkan dalam kasus terakhir di Riau, jaksa justru menghadirkan saksi ahli yang menyatakan kebakaran akibat faktor alam.
Hal ini dinilainya merugikan semangat aparat yang sudah bekerja keras mengumpulkan bukti dan menyusun berkas kasus, karena perkara 'dimentahkan kembali' di pengadilan.
Lex-specialis kehutanan
Kalangan pegiat mempertanyakan sertifikat lex-specialis yang mestinya dimiliki hakim dan jaksa dalam perkara-perkara khusus termasuk kasus lingkungan.
"Kan Mahkamah Agung sendiri sudah bikin edaran tentang perlunya pemahaman khusus untuk kasus khusus. Kemana hakim dengan sertifikat ini? " gugat Riko.
Murid-murid di Palembang, Sumatera Selatan, belajar di kelas dengan menggunakan masker October 8, 2015. (AFP)
Surat edaran itu diakui juru bicara MA Ahmad Suhadi. Kepada BeritaBenar ia menyatakan pelatihan untuk mendapatkan sertifikasi sudah digelar beberapa tahun terakhir, namun dengan jumlah peserta sangat terbatas.
"Kita harus perhitungkan anggaran dan ketersediaan hakim, karena itu seleksinya ketat sekali. Akhirnya memang tidak banyak yang punya keahlian khusus lingkungan ini," kata Suhadi.
Dalam surat edaran itu dijelaskan untuk kasus yang memerlukan pemahaman lex-specialis sedikitnya satu orang dalam panel hakim seharusnya telah bersertifikat.
Dalam kondisi hakim tesebut tak tersedia, maka ia bisa didatangkan dari PN lain.
"Kita pernah kirim hakim bersertifikat ini ke PN Meulaboh meskipun dia dari (PN) jauh. Hasilnya bagus, vonisnya dipuji dan baik sebagai preseden kasus kehutanan," tambah Suhadi.
Dalam kasus-kasus di Sumatera dan Kalimantan akibat karhutla tahun ini, Suhadi mengatakan tak tertutup kemungkinan menggunakan skema yang sama untuk pengadilan kasus kehutanan.
Perang terhadap korporasi
Namun menurut pegiat, tanggung jawab MA dan kejaksaan bukan sekadar pada persoalan sertifikasi hakim dan jaksa.
"Perang terhadap korporasi ini rumit, mereka sangat kuat modalnya dan itu bisa sangat berpengaruh," kata Musri Nauli dari Walhi Jambi.
Musri mencontohkan bagaimana perusahan besar termasuk Sinar Mas dan APP nyaris selalu lolos dari sangkaan karhutla.
"Kita bisa lihat bagaimana besarnya dukungan mereka pada pejabat tinggi yang berkunjung ke daerah terdampak asap. Pejabat korporasi selalu menyambut pejabat penting pemerintah. Bahkan ada logo korporasi di Posko Pemadaman," tambahnya sengit.
Dalam rencana gugatan kelasnya, Walhi Jambi memasukkan lima perusahaan besar yang merupakan pemain industri sawit, kayu dan kertas dunia yakni Sinarmas, APP, Golden Agri Resources, Barito Pacific, serta SimeDerby.
Sementara Riko Kurniawan dari Walhi Jambi menyoal sikap hakim yang dianggap menurunkan kredibilitas pengadilan.
Ia mencontohkan ketika memimpin sidang kasus kehutanan di PN Bengkalis, seorang hakim diperiksa Komisi Yudisial karena kedapatan kerap menghabiskan waktu santai bersama pihak berperkara.
"Kita bisa menduga yang begini-begini ini akan merusak pertimbangan hakim. MA gagal melakukan pengawasan," tuding Riko.
Juru bicara MA Suhadi menanggapi dengan mempersilakan laporan serupa dilayangkan pada pihak berwenang.
"Mekanismenya jelas, laporkan Bawas (Badan pengawas) biar diproses."
Dalam sebuah kasus hakim di Bali yang kedapatan gemar berkaraoke dengan kuasa hukum terdakwa, menurut Suhadi sang hakim yang dinyatakan bersalah ini telah dipecat.
Laporan BNPB hingga akhir pekan lalu menyebut kebakaran hutan dan lahan telah mengakibatkan sedikitnya 10 orang tewas dan lebih dari setengah juta orang di enam provinsi menderita ISPA.
Sejauh ini asap telah menganggu kehidupan 43 juta orang di Indonesia, sementara gangguan jarak pandang dan udara kotor meluas hingga Malaysia, Singapura, Filipina dan Thailand.