Fatwa Mati MUI Terhadap Homoseksual Tidak Punya Dasar Hukum, Pejabat
2015.03.24
Pembuat kebijakan mengatakan fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) awal bulan Maret yang mencancam mati homoseksual tidak memiliki dasar hukum, sementara para aktivis bersikeras bahwa fatwa tersebut melanggar hak asasi manusia.
“Dasar pemikiran fatwa ini adalah karena semakin banyaknya kasus-kasus kejahatan seksual yang menyimpang dari ajaran agama Islam. MUI sebagai organisasi Islam memperhatikan semakin banyaknya kasus serupa di dalam masyarakat,” kata Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh kepada BenarNews tanggal 23 Maret.
Niam mengatakan bahwa fatwa ini resmi ditandatangani tanggal 31 Desember, 2014.
“Komisi Fatwa dengan seluruh anggotanya yang kurang lebih 50 ulama dari berbagai organisasi masyarakat (ormas) Islam berkumpul dan menyepakati fatwa ini," ujar Niam.
Ia juga berkata bahwa ini adalah tanggungjawab MUI sebagai lembaga ulama.
“Fatwa ini adalah respon MUI terhadap isu-isu faktual dan sosial. Kami ingin masyarakat muslim Indonesia untuk hidup berlandaskan ajaran Islam,” katanya.
MUI mengumumkan fatwa ini ke publik tanggal 3 Maret, 2015.
"Sodomi, homoseksual, gay dan lesbi dalam hukum Islam adalah haram dan merupakan perbuatan yang keji yang bisa dikenakan hukuman hingga hukuman mati," kata Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin A.F. dalam konferensi pers di kantor MUI, Jakarta tanggal 3 Maret.
"Tidak peduli bahwa mereka (gay dan lesbian) saling mencintai, dalam hukum Islam, itu adalah tindakan seksual yang harus dihukum berat. Ini akan buruk jika pemerintah mengizinkan pernikahan sesama jenis," katanya.
Fatwa MUI untuk siapa?
Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Saleh P. Daulay, berkata bahwa fatwa MUI tidak akan maksimal diterapkan dalam masyarakat.
"Fatwa ini menyangkut masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya umat Islam. Walaupun agama menolak homoseksualitas, tetapi apakah fatwa MUI ini juga bisa diterima bagi mereka yang beragama lain?” Kata Saleh kepada BenarNews tanggal 23 Maret.
“Kalau tidak, fatwa ini tidak akan efektif untuk diterapkan dalam masyarakat. Kita tahu bahwa prinsip diberlakukannya suatu aturan hukum tidak boleh berlaku parsial dan hanya mengikat sebagian kelompok masyarakat saja," Saleh menerangkan.
Fatwa MUI menurut Saleh adalah bersifat “imbauan” jadi hanya mengikat secara moral, karena itu hukuman mati tidak mungkin bisa diterapkan.
Saleh juga berkata bahwa tujuan fatwa ini adalah untuk memberikan aturan moral. Homoseksual dinilai oleh MUI membahayakan kehidupan sosial dan bertentangan dengan ajaran Islam. Tetapi aturan ini tidak bisa diterapkan sebagai aturan hukum negara.
“Hanya negara yang berhak melakukan tindakan hukum,” Saleh menerangkan.
Fatwa MUI bertentangan dengan PBB
PBB menyarankan untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap kaum homoseksual. Mereka mempunyai hak dan tanggungjawab yang sama seperti warga negara lainnya,” katanya Dede Oetomo, aktivis LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, Queer).
Menurut Dede isu tentang homoseksualitas dapat diatasi dengan memberikan pemahaman soal gender sejak dan seksualitas sejak dini.
“Ini perlu dikembangkan secara menyeluruh. Pendekatan dengan hukuman mati tidak akan membantu menyelesaikan masalah ini,” katanya lanjut.
Dede menambahkan Indonesia seharusnya mengikuti perkembangan seperti negara-negara lain yang sudah berhasil mengatasi hal ini.
“Pemahaman internasional (tentang homoseksualitas) itu bukan lagi sesuatu yang melanggar hukum,” katanya.
Aktivis dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) juga menyesalkan pernyataan MUI.
"MUI seharusnya tidak membuat pernyataan ini. Karena homoseksualitas bukanlah tindakan pidana juga bukan tindakan yang menyimpang. Jika ada yang mengatakan homoseksualitas sebagai tindakan menyimpang ini adalah preferensi pribadi,” kata Haris Azhar kepada BenarNews.
“Apalagi menerapkan hukuman mati, ini sangat tidak tepat,” tambahnya.
Hidup dalam bayang-bayang
Cecilia (29) (bukan nama sebenarnya) mengakui telah mulai tertarik kepada sesama jenis sejak berusia 13 tahun.
Ia mengatakan bahwa tidak mudah untuk hidup sebagai homoseksual di Indonesia.
“Dari usia akil balik saya tidak pernah mempunyai rasa tertarik dengan lawan jenis. Jadi saya tidak begitu mengerti apa yang disebut normal. Tetapi karena anggapan masyarakat bahwa normal adalah mereka yang tertarik kepada lawan jenis, jadi saya mulai menutup diri,” kata Cecilia
Cecelia takut dikucilkan jika dia mengatakan secara terbuka orientasi seksualnya.
“Meskipun saya tinggal di Jakarta lebih dari separuh hidup saya, stigma masyarakat terhadap homeseksual sangat terasa. Saya kadang merasa seperti dihukum karenanya. Stigma ini juga merupakan salah satu sebab saya tidak meneruskan kuliah,” tambah Cecilia.
Ia berharap MUI untuk meninjau kembali fatwa ini dengan mempertimbangkan nasib orang-orang yang sama dengan dirinya.
“Kami tidak menjual obat terlarang, membunuh orang, atau melakukan aksi terror. Kenapa kami harus dihukum,” tambahnya.
Di Palembang, Sumatra Utara, kasus LGBTIQ mendapat perlakuan hukum yang sama dibawah aturan tentang “prostitusi,” termasuk juga didalamnya kasus sodomi, kekerasan seksual dan pornografi. Berdasarkan peraturan ini, seseorang terlibat aktivitas tersebut bisa dikenakan hukuman sampai dengan enam bulan penjara dan denda Rp. 5 juta, The Jakarta Post melaporkan.
Sementara itu di Aceh, satu-satunya propinsi yang menerapkan Syaria Islam, pemerintah daerah telah mengadopsi hukum syariah untuk kesalahan pidana. Aturan ini ditetapkan tahun lalu. Bagi mereka yang melanggar aturan tentang seks diluar nikah, akan menerima hukuman hingga 100 cambukan rotan dan 100 bulan penjara.
Saleh berkata, fatwa MUI itu tidak perlu dipermasalahkan. Ia setuju bahwa semangat dari fatwa itu baik, yaitu memberikan panduan kepada umat Islam.
"MUI bukan lembaga peradilan yang berhak mengambil keputusan untuk melakukan eksekusi mati," katanya.
Beberapa wilayah di propinsi Indonesia menerapkan hukuman keras terhadap gay, lesbian, sodomi, dan percabulan.