Festival Film Toleransi Ajak Warga Hormati Perbedaan

Pengamat mengatakan intoleransi di Indonesia dipicu oleh kecenderungan menguatnya gejala konservatisme di tanah air.
Zahara Tiba
2016.11.14
Jakarta
161114_ID_ToleranceFilmFestival_1000.jpg Dua pengunjung memegang poster bertemakan toleransi dan anti-kekerasan dalam acara Tolerance Film Festival di Jakarta, 13 November 2016.
Zahara Tiba/BeritaBenar

Pierre Dulaine (30), juara dunia dansa itu menjejakkan kaki kembali di kota kelahirannya, Jaffa, di selatan Tel Aviv, Israel, tiga dekade setelah ia beserta kedua orang tuanya terusir dari kampung halamannya tersebut ketika konflik Israel-Palestina pecah, tahun 1948.

Lewat keahliannya, Dulaine membawa misi mengajak anak-anak Israel dan Palestina, Yahudi dan Muslim, menari bersama untuk menjembatani perbedaan di antara mereka.

Awalnya, memang ada resistensi para orang tua siswa. Namun dengan jerih payah yang tiada henti, kebekuan anak-anak itu mulai cair sehingga mereka berlatih menari bersama dan mampu untuk berkompetisi mewakili sekolah mereka.

Kompetisi dihadiri para orang tua murid yang duduk berdampingan, menikmati aksi anak-anak mereka. Misi ini berkembang hingga beberapa tahun berikutnya, yang diikuti ribuan pasang siswa. Begitulah rangkaian adegan dalam film Dancing In Jaffa.

Film karya sutradara Israel, Hilla Medalia, yang dirilis tahun 2013 dan membuat Hilla meraih penghargaan Honorable Mention di ajang Munich Film Festival 2013 ini menjadi pembuka dalam kegiatan Tolerance Film Festival yang digelar di Institut Perancis Indonesia (IFI) di Jakarta, 13-15 November 2016. Festival ini juga bekerja sama dengan organisasi Hadassah yang berjejaring dengan GusDurian, kelompok yang meneruskan idealisme almarhum Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, dan komunitas Republik Ngapak.

Ada enam film lain juga bertema toleransi yang ditampilkan pada acara yang digelar dalam merayakan Hari Toleransi Sedunia, pada 16 November.

Pesan toleransi

Panitia acara, Monique Rijkers, mengharapkan film-film itu dapat menyampaikan pesan toleransi dengan tepat dan cepat kepada masyarakat.

“Hari ini ada bom di gereja di Kalimantan, sementara di Israel-Palestina ada usaha-usaha berinteraksi, untuk toleran. Kenapa tidak bisa di Indonesia? Kita satu tanah, satu bangsa,” ujar mantan wartawati televisi swasta ini kepada BeritaBenar, Minggu, 13 November 2016.

Monique menceritakan kisahnya ketika dipaksa menggelar ibadah dalam bioskop.

“Kami menggunakan studio sebelum bioskop dibuka. Itu karena dulu susah bangun gereja. Padahal saya bukan tinggal di pelosok, masih di sekitar Jakarta,” kenangnya.

Dengan kasus intoleransi belakangan ini, Monique melihat semangat toleransi di Indonesia sudah terpuruk dalam.

Beberapa kasus interoleran dialami kaum minoritas seperti pengikut Ahmadiyah, Gafatar, dan kelompok LGBT marak terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

“Di satu pihak, banyak teman-teman saya Islam moderat, tapi sikapnya tidak ditunjukkan dalam kebijakan,” keluhnya.

Dari kiri ke kanan: Pengajar UIN Syarif Hidayatullah, Ismatu Ropi, moderator Monique Rijkers dan pakar Timur Tengah dari Kajian Studi Islam Universitas Indonesia, Nur Munir tampil sebagai pembicara pada diskusi dalam rangka Tolerance Film Festival di Jakarta, 13 November 2016. (Zahara Tiba/BeritaBenar)

Kembali ke ajaran agama

Nur Munir, pakar Timur Tengah dari Kajian Studi Islam Universitas Indonesia, menegaskan toleransi merupakan bagian dari sejarah agama di Indonesia, terutama dalam penyebaran Islam.

“Islam di negeri ini punya identitas yang merupakan akulturasi antara kebudayaan Islam dari Timur Tengah, China dan lokal, karena Islam disebarkan lewat perdagangan, bukan perang,” ujarnya dalam diskusi pada acara tersebut.

Menurut Nur, toleransi sudah ditunjukkan pemimpin Yahudi dan Islam.

“Hukum Yahudi menyebutkan agar umat mencintai tetangga seperti mencintai diri mereka sendiri. Begitu pula dalam Islam. Jadi jelas, untuk mempertahankan toleransi di republik ini adalah dengan mengejawantahkan nilai-nilai agama dan budaya bangsa,” paparnya.

Ismatu Ropi, staf pengajar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan muncul fenomena intoleransi karena kecenderungan konservatisme yang menampakkan gejala di Indonesia.

“Di Indonesia, konservatisme tidak akan lebih dari tiga persen total populasi, karena Islam sebagai agama mayoritas masih punya dua organisasi besar berpengaruh. Konservatisme sulit mendapat tempat di Indonesia. Tapi tiga persen itu tidak sedikit,” ujarnya.

Karena itu, lanjut dia, sekolah dan media menjadi tempat yang tepat untuk menyebarkan toleransi.

“Selama ini kurikulum sekolah hanya mengajarkan ilmu satu agama yang sangat monolitik dan membosankan. Kita tidak diajarkan untuk tahu. Padahal pendidikan multikulturalisme penting untuk memudahkan kita menyebarkan semangat toleransi,” tutur Ismatu.

Ajakan toleran

Seorang pengunjung Sulistiyani berharap acara ini dapat menyebarkan semangat toleransi.

“Saya pikir, ini acara keren karena temanya soal toleransi. Melalui Hari Toleransi, saya pikir toleransi adalah sebuah hal yang tidak perlu diperdebatkan. Walau kita berbeda, kita bisa tetap bersatu dan tetap berkolaborasi,” ujar siswi Pondok Pesantren Al-Zaytun, Indramayu, Jawa Barat.

“Di luar orang membahas toleransi. Tapi di pesantren kami sudah dipraktikkan. Kami datang ke sini sebagai bentuk praktik. Saya pikir acara ini sebagai salah satu corong buat kami. Ayo kita toleran dan damai, apapun agama kita.”

Pengunjung lain, Deden Sukendar, pengurus pesantren Al Masthuriyah di Sukabumi, Jawa Barat juga mengapresiasi festival film bertemakan toleransi itu.

“Di sini, saya menjadi orang berbahagia. Saya merasakan Indonesia yang sesungguhnya. Indonesia yang majemuk,” tuturnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.