WPFD 2017 Lahirkan Deklarasi Jakarta
2017.05.04
Jakarta
Perhelatan Hari Kebebasan Pers Dunia (WPFD) 2017 di Jakarta, Kamis, 4 Mei 2017, berakhir dengan diadopsinya Deklarasi Jakarta yang menekankan pentingnya menjaga keselamatan jurnalis dalam menjalankan profesinya.
Dalam deklarasi juga diserukan kepada seluruh negara anggota UNESCO bahwa media independen dan bebas sangat relevan untuk pembangunan masyarakat yang adil, damai dan inklusif.
“Pers yang bebas tidak hanya berguna untuk jurnalis, tapi juga seluruh masyarakat,” ujar Asisten Direktur Jenderal UNESCO untuk Komunikasi dan Informasi UNESCO, Frank La Rue, dalam sesi penutupan WPFD 2017 di Jakarta Convention Center.
WPFD yang diperingati setiap 3 Mei, tahun ini dilaksanakan selama empat hari, 1-4 Mei di Jakarta dengan tema “Pemikiran Kritis untuk Waktu Kritis”.
Deklarasi Jakarta menyerukan kepada wartawan, organisasi media, praktisi media sosial dan penyedia jasa internet agar mengedepankan jurnalisme berbasis kepentingan publik yang dapat diandalkan.
Selain itu, memberi suara bagi kelompok rentan dan mereka yang kurang terwakilkan, menghindari keterwakilan elit secara berlebihan dalam pemberitaan, dan menghindari melaporkan berita berdasarkan prasangka dan diskriminasi.
Deklarasi Jakarta juga menyerukan media dan wartawan untuk memastikan laporan berita harus berdasarkan informasi yang dapat diverifikasi untuk melawan maraknya berita palsu.
“Solusi yang sebenarnya terhadap berita palsu adalah dengan membangun pemikiran kritis terutama di masa yang kritis,” ujar La Rue.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara dalam sambutan penutupnya menyatakan bahwa kemajuan teknologi informasi, yang membawa perubahan dalam lanskap industri media, juga mempunyai sisi tidak baik karena dapat digunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian dan berita palsu yang dapat membuat kekacauan di masyarakat.
“Kita menyadari perlunya untuk mengembalikan kembali komunikasi publik yang sehat, dan mendukung jurnalisme berkualitas sebagai lampu panduan di tengah ramainya gelombang informasi,” ujar Rudiantara.
Deklarasi Jakarta juga menyerukan wartawan dan organisasi media untuk menerapkan tindakan pengamanan jurnalis dan pekerja media yang menghadapi resiko bahaya dalam pekerjaannya.
“Kita harus memperbarui upaya kita untuk membentuk mekanisme keamanan (bagi) jurnalis,” ujar La Rue.
Keselamatan jurnalis
Sesuai pasal 16 dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang mengatakan setiap negara harus memastikan akses informasi kepada publik, La Rue menyebutkan hal ini berarti setiap negara perlu mempunyai mekanisme untuk menjamin keselamatan jurnalis.
“Untuk kawasan Asia Tenggara, ini bisa dimulai dengan membentuk sebuah mekanisme di bawah komisi hak asasi manusia ASEAN yang sudah ada,” ujar La Rue kepada BeritaBenar usai acara penutupan WPFD 2017.
Isu keselamatan jurnalis menjadi perhatian dalam perhelatan WPFD tahun ini mengingat ada peningkatan kasus kekerasan terhadap jurnalis yang berujung kematian di seluruh dunia yang mencapai 16 orang pada 2016, berdasarkan data Internasional Federation of Journalist (IFJ).
Sementara di Indonesia, kasus kekerasan terhadap jurnalis juga mengalami peningkatan yang mencapai 80 kasus selama 2016.
“Meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya,” kata Iman D. Nugroho, Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Berdasarkan data AJI Indonesia, terjadi 72 kasus kekerasan yang dialami para jurnalis yang menjalankan profesinya sepanjang Mei 2016 hingga April 2017.
Kasus itu malah didominasi bentuk kekerasan fisik, yang mencapai 38 kasus. Pengusiran atau pelarangan liputan juga masih marak, dengan temuan sebanyak 14 kasus.
Data yang dihimpun AJI Indonesia juga menunjukkan dari 72 kasus tersebut, terdapat sembilan kekerasan yang sengaja dilakukan untuk merampas atau merusak data, foto, rekaman video yang diperoleh jurnalis di lapangan.
Selain itu terdapat 21 kasus kekerasan dilakukan warga, sementara sisanya dilakukan politisi, aparat pemerintah daerah, pejabat pemerintah pengambil kebijakan dan profesi hukum seperti advokat serta hakim.
Musuh kebebasan pers
AJI menyatakan musuh utama kebebasan pers Indonesia tahun 2017 adalah polisi karena mereka yang terus terlibat berbagai kasus kekerasan.
Polisi juga disebut terus menjalankan praktik impunitas yang membuat para pelaku kekerasan terhadap jurnalis bebas dari pertanggungjawaban hukum.
Ketua AJI Suwarjono mengatakan setiap aparat penegak hukum baik Polri maupun Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia (POM TNI) harus menghentikan praktik-praktik impunitas, termasuk dengan menjalankan seluruh proses hukum atas kasus kekerasan terhadap jurnalis.
“AJI mengajak setiap warga negara untuk bersama-sama mengawal kemerdekaan pers, kemerdekaan berekspresi, dan melindungi profesi jurnalis, demi menjamin kehidupan berbangsa yang demokratis dan menjunjung tinggi penghormatan kepada kemanusiaan serta hak asasi setiap warga,” ujar Sekretaris Jenderal AJI, Arfi Bambani.