Freedom House: Menurun, Kebebasan Berinternet di Indonesia

Pemerintah beralasan pemblokiran internet selama ini demi keamanan dan dilakukan sesuai aturan.
Arie Firdaus
2019.11.13
Jakarta
191113_ID_Internet_1000.jpg Para aktivis dengan membawa poster berunjuk rasa di depan Kementerian Komunikasi dan Informasi di Jakarta pada 23 Agustus 2019, menentang diblokirnya akses internet di Papua saat terjadi kerusuhan di wilayah paling timur Indonesia itu.
AFP

Lembaga pemantau demokrasi Freedom House mengklasifikasikan Indonesia sebagai negara dengan "kebebasan sebagian" terkait kebebasan berinternet.

Indonesia mendapat skor 51 poin -- dari total 100, atau turun tiga poin dari tahun sebelumnya, dalam riset yang dilakukan sepanjang 1 Juni 2018 hingga 31 Mei 2019.

Menurut Freedom House, penurunan kebebasan berinternet di Indonesia karena melorotnya skor dalam tiga aspek penilaian, yaitu hambatan mengakses internet (14 poin dari 25), pembatasan konten (19/35), dan pelanggaran hak pengguna (18/40).

"Pada Oktober 2018, otoritas mendirikan war room berisi 70 orang untuk memonitor sosial media dalam waktu ya ng sebenarnya dan mengancam mereka yang kedapatan melanggar hukum," demikian Freedom House memaparkan hasil penelitiannya.

"Disinformasi dan manipulasi konten juga menjadi masalah dalam pemilihan umum April, saat kedua kandidat dilaporkan memobilisasi buzzer untuk menyebarluaskan propaganda."

Selain itu, lanjut Freedom House, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juga masih sering dipakai untuk menjerat para pengguna internet.

Freedom House mencontohkan kasus aktivis pembebasan Papua Augustinus Yolemal pada Januari 2019 yang divonis setahun penjara dengan tuduhan menyebarluaskan permusuhan terhadap ideologi negara.

Kasus ini sendiri bermula dari video Augustinus Yolemal bersama anaknya yang menyanyikan slogan kemerdekaan Papua yang diunggah di laman Facebook.

Selain itu, ada juga kasus kematian wartawan media daring Kemajuan Rakyat, Muhammad Yusuf, saat berada di Lembaga Pemasyarakatan Kotabaru, Kalimantan Selatan, pada Juni 2018. Yusuf didakwa pasal ujaran kebencian karena mengkritik secara keras sengketa lahan antara petani dan perusahaan sawit setempat.

Pemerintah juga terus menekan kelompok minoritas, termasuk komunitas LGBT, sebagai respons atas aktivitas online mereka, demikian laporan dari Freedom House.

Tidak akan berubah

Menanggapi penurutan tingkat kebebasan berinternet di Indonesia, Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto mengaku tak begitu terkejut.

Pasalnya, kata Damar, pemerintah lewat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) hampir selalu mengambil kebijakan pemblokiran akses internet saat kondisi dianggap tidak kondusif seperti dilakukan di Papua pada September lalu.

Tak hanya itu, jeratan UU ITE masih kerap dialamatkan kepada sejumlah aktivis prodemokrasi dan jurnalis dalam beberapa bulan terakhir.

Mereka yang ditetapkan sebagai tersangka menyebarluaskan propaganda dan ujaran kebencian di sosial media, antara lain, Dandhy Laksono dan Veronica Koman, keduanya aktivis yang vocal dalam menyuarakan keberadaan masyarakat yang terpinggirkan melalui laman sosial media mereka.

"Saya sudah memperkirakan akan seperti itu (penurunan kebebasan)," kata Damar kepada BeritaBenar, Rabu, 13 November 2019.

Merujuk data SAFEnet, setidaknya terdapat 29 kasus pelanggaran UU ITE sepanjang Juli 2018 hingga Juli 2019.

Adapun dalam lima tahun terakhir, kasus terkait UU ITE yang tercatat di laman Mahkamah Agung sebanyak 508, dengan pidana terbanyak berkaitan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik seperti termaktub di Pasal 27 ayat 3 UU ITE.

"Maka dengan kondisi kebebasan berekspresi yang pernah ada, saya memproyeksikan kemerdekaan berekspresi Indonesia lima tahun mendatang tidak akan berubah, tetap siaga satu," lanjut Damar.

Pengamat media sosial dari Drone Imprit, Ismail Fahmi menambahkan, pemerintah Indonesia semestinya dapat meniru langkah negara maju dalam mengadang penyebarluasan kabar bohong, alih-alih memblokir akses internet, seperti kasus di Papua.

"Sebetulnya, pemblokiran internet membuat masyarakat sulit mendapatkan informasi yang benar," kata Ismail, dikutip dari laman CNN Indonesia.

"Kalau negara maju, mereka berupaya menyampaikan informasi yang benar. Secara langsung, mereka juga mengajak publik untuk membantu pemerintah."

Sesuai aturan

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo, Semuel Pangarepan, saat dihubungi berdalih pembatasan dan pemblokiran internet bertujuan untuk menjaga keamanan nasional dan sudah sesuai aturan hukum yang berlaku. Ia pun menyebut opsi serupa masih akan mungkin dilakukan pada masa mendatang.

"Pemerintah melakukan itu untuk memerangi penyebaran hoaks. Lagipula itu kami memberitahunya kepada masyarakat, tidak diam-diam," katanya.

Terkait pertimbangan pemerintah memblokir internet, ia mengatakan ihwal itu dilakukan lantaran informasi yang beredar kerap tidak mengandung kebenaran dan jauh dari kaidah jurnalistik.

"Kami kan tidak menutup media. Saat ada kejadian, semua televisi bisa menyiarkannya," kata Samuel lagi.

Merujuk data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di awal kepemimpinan Presiden Joko "Jokowi" Widodo tercatat mencapai 88 juta orang.

Jumlah ini lalu meningkat menjadi 132,7 juta pada akhir 2016, seiring ekspansi operator selular ke sejumlah wilayah di Indonesia.

Hingga akhir 2018, APJII mencatat 171,17 juta mengakses internet atau setara 64,8 persen warga negara Indonesia.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.