Urung Jihad ke Pakistan, Hacker Muda Bantu Lawan Radikalisme
2015.10.29
Yogyakarta
Diperbaharui pada 11:32 a.m. ET, 2-11-2015
Ahmad Rosid, 21 tahun, mensyukuri keputusannya tiga tahun lalu untuk membatalkan kepergiannya ke Pakistan untuk bergabung bersama kelompok militan melawan koalisi pimpinan Amerika Serikat.
Pada saat itu Ahmad, yang kini bermukim di Yogyakarta, baru menyelesaikan sekolah tingkat atas di sebuah SMK Teknik Komputer dan Jaringan di Bandar Lampung. Ia yang memiliki hobi membuat program, mendapat beasiswa untuk melanjutkan ke sebuah PTN di Lampung terpaksa menganggur karena orang tuanya tidak mampu membiayai kelebihan biaya yang harus ditanggung.
Pada masa tanpa kesibukan itu Ahmad, yang mengaku tidak memiliki dasar agama yang kuat, mulai bergabung dengan sebuah kelompok pengajian karena ajakan seorang teman.
“Awalnya saya ikut untuk belajar mengaji, dan lama kelamaan saya mulai mendalami ajaran kelompok tersebut, semakin serius, saya diajari apa itu jihad dan mulai menonton video-video tentang jihad itu dari Youtube,” ujar Ahmad kepada BeritaBenar.
Semakin lama bergaul dengan kelompok pengajian ini, ia semakin bersemangat untuk berjihad melawan “kaum kafir” dan berencana berangkat ke Pakistan.
Dilarang orangtua
“Sekitar akhir tahun 2011 itu, pada saat saya sedang mengurus dokumen untuk keberangkatan ke Pakistan, orang tua saya yang tidak menyetujui rencana ini, tiba-tiba memboyong kami sekeluarga untuk pindah ke Sumatera Barat karena ayah mendapat kerja menggarap ladang orang,” ujarnya.
Pada tahun 2014 Ahmad kembali ke Bandar Lampung, bertemu kembali dengan beberapa teman pengajian lamanya. Mereka membujuk Ahmad untuk kembali bergabung, awalnya mengajak bisnis bersama, lalu diajak kembali ke pengajian.
Ahmad (gambar, kiri) masih menyanggupi untuk bergabung ke pengajian tersebut tetapi saat ada ajakan berjihad, ia akhirnya memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengan kelompok itu.
Ahmad memutuskan untuk pergi dari Bandar Lampung, untuk memutus hubungan dengan mereka. Tahun lalu ia bergabung dengan Pondok Programmer, sebuah wadah untuk anak-anak muda yang tertarik dengan bidang IT.
“Saya beruntung menemukan pondok ini, di sini saya belajar bagaimana membuat program, android, teknologi komputer dan lain-lain serta belajar tentang Islam yang Rahmatan lil ‘Alamin,” ujar Ahmad.
‘Belajar’ agama lewat internet
Ahmad adalah satu dari 300 peserta workshop “Damai di Dunia Maya” yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Yogyakarta pada tanggal 29 Oktober.
Nukman Luthfie, ahli media sosial, mengatakan YouTube adalah salah satu media yang paling sering digunakan oleh kelompok-kelompok radikal untuk menarik perhatian publik dan merekrut anggota baru karena sifatnya yang audio visual.
“Penyebaran paham ISIS juga paling banyak dilakukan lewat YouTube. Penyebaran sebuah paham, lewat mata, atau visual adalah yang paling optimal,” ujar Nukman.
Deputy I BNPT bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi, Agus Surya Bakti, mengatakan kecenderungan para kaum muda saat ini untuk mempelajari agama melalui internet daripada belajar dari guru yang benar-benar menguasai agama membantu meluasnya penyebaran paham radikal.
“Kasihan ustad-ustad kita di kampung banyak yang mengganggur sekarang, karena murid-muridnya beralih berguru ke internet,” ujar Agus.
Padahal, kata Agus, tidak semua informasi dari internet bisa dipertanggungjawabkan dan siapa saja bisa memasang informasi di internet.
Menggunakan anak muda
Untuk itulah BNPT bekerja sama dengan sekelompok anak muda yang punya ketertarikan di bidang teknologi informasi membantu memerangi propaganda dari kelompok-kelompok radikal dengan “memerangi” mereka.
Pakar Informasi dan Teknologi, Onno Purbo mengatakan ada jutaan serangan yang datang ke Indonesia dan kita membutuhkan anak-anak muda untuk memperkuat diri dari serangan hacker.
Dia merujuk pada kasus Maman Kurniawan dan Rizki Gunawan, dua hacker yang ditangkap pada tahun 2012 karena membobol sebuah situs MLM untuk membiayai latihan perang di Poso.
“Kita harus belajar teknik menyerang akan kita bisa bertahan. Jadi buat saya anak-anak muda ini belajar ilmu-ilmu seperti itu ibaratnya sebagai ilmu pertahanan diri lah, bukan untuk perang,” ujar Onno kepada BeritaBenar saat ditanya apakah keahlian hacker itu tidak berkonotasi negatif.
Khoirul Anam, Redaktur Pusat Media Damai BNPT (PMD-BNPT) mengatakan institusinya mempunyai prinsip tidak akan pernah menyerang situs-situs bermuatan radikal. Namun BNPT akan melakukan kontra propaganda, jadi setiap kali mereka mendeteksi ada situs yang memuat konten radikal, mereka akan membuat tulisan yang atau konten yang bersifat positif.
Dia juga menambahkan bahwa institusi BNPT tidak pernah menggunakan istilah hacker, tetapi penggiat sosial media.
“Tim yang bekerjasama dengan BNPT ini tugasnya lebih banyak kepada menjaga situs-situs kami agar tidak ‘diganggu’ dan misi kami dalam menyampaikan pesan-pesan damai bisa terus berjalan,” ujar Khoirul.
Ketika ditanya apakah ada anggota tim ini yang juga melakukan pekerjaan yang sama untuk situs-situs yang radikal?
“Semoga tidak,” jawabnya.