Aktivis: Maraknya Penolakan atas LGBT, Tanda Bahaya bagi HAM

Sejumlah daerah berencana membuat peraturan untuk melarang keberadaan kelompok yang semakin terdiskriminasi ini.
Arie Firdaus & M. Sulthan Azzam
2018.11.09
Jakarta & Padang
181109_ID_LGBT_1000.jpg Ribuan warga, termasuk anak sekolah, ikut serta saat digelar deklarasi anti-LGBT di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat, 5 November 2018.
M. Sulthan Azzam/BeritaBenar

Penolakan terhadap lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia makin meluas yang ditandai dengan maraknya aksi unjuk rasa mengecam kelompok ini, tapi para aktivis menilainya sebagai tanda bahaya bagi hak asasi manusia (HAM).

"Pemerintah pusat harus mengambil sikap dan memerintahkan pemerintah lokal untuk menganulir aturan-aturan yang diskriminatif. Kepolisian seharusnya diinstruksikan untuk melindungi kelompok LGBT,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam keterangan tertulisnya, menanggapi maraknya demonstrasi menentang kelompok yang semakin terpinggirkan ini.

Pada Jumat siang, 9 November 2018, ribuan orang yang bernaung dalam Forum Masyarakat Kota Bogor Anti-LGBT menggelar unjuk rasa di Balai Kota Bogor, Jawa Barat, mendesak pemerintah membuat aturan untuk menjerat kelompok LGBT.

"Komunitas LGBT sudah secara terbuka melakukan aksinya di ruang publik," kata Ketua Forum Masyarakat Kota Bogor Anti-LGBT, Abdul Halim kepada BeritaBenar.

Dalam aksi yang dimulai selepas salat Jumat, massa mengibarkan poster berisi kecaman kepada LGBT, bersalawat, serta mengembangkan bendera bertuliskan kalimat tauhid.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bogor, Jajat Sudrajat, mengatakan pihaknya akan mengakomodir permintaan pendemo dengan mempercepat pembahasan peraturan daerah (Perda).

"Kami berharap bisa selesai pada masa sidang pertama (Agustus 2019)," katanya kepada wartawan.

Unjuk rasa menolak LGBT juga digelar ribuan orang berbagai elemen masyarakat di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat, Senin, 5 November 2018.

“Seluruh elemen sepakat bahwa perilaku LGBT tidak boleh tumbuh dan berkembang di sini (Payakumbuh),” ujar Walikota Payakumbuh, Riza Falevi.

Aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Naia Rizqi Zakiah, menilai fenomena yang terjadi di beragam daerah sebagai wujud ketidakpahaman akan masalah LGBT yang sudah dikategorikan Perserikatan Bangsa-Bangsa bukan sebagai gangguan kesehatan dan kejiwaan.

"Jadi, pembinaan seperti apa? Sekarang terlihat sekadar menegakkan moral versi tertentu saja," katanya.

Penangkapan

Awal minggu ini Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemerintah Kota Padang — ibu kota Sumatera Barat, menangkap 10 perempuan berusia 20-an tahun yang diduga lesbian.

Dugaan itu bermusabab dari foto-foto pelukan dan ciuman yang diunggah ke Facebook dan pengakuan para perempuan tersebut saat diperiksa.

"Kita lakukan pengembangan dan pengintaian, sehingga berhasil menemukan identitas dan keberadaan pengunggah foto yang tidak senonoh tersebut," kata Kepala Satpol PP Padang, Yadrison.

Mereka yang disebut lesbian, ujarnya, kini diinapkan di Panti Sosial untuk menjalani konsultasi psikologis dan keagamaan.

Dua hari kemudian, 21 orang lainnya ditangkap. Selain diduga LGBT, yang tertangkap kali ini ada juga diduga pasangan mesum atau pelaku maksiat.

"Hampir setiap hari kita mendapat laporan dari masyarakat terkait LGBT. Itu sebabnya, kita intensifkan razia,” kata Yadrison kepada BeritaBenar.

Masih di provinsi Sumatra Barat, penolakan terhadap LGBT juga muncul di Pariaman, Bukittinggi, hingga Pasaman.

Selain di Sumatera Barat dua lelaki ditangkap oleh Kepolisian Daerah Jawa Barat, pertengahan Oktober lalu, atas dugaan mengelola grup Facebook Gay Bandung Indonesia yang beranggotakan 4.093 orang.

Mereka dijerat dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar.

Sanksi adat

Sejumlah pemerintah daerah-berencana menerbitkan Perda untuk menjerat LGBT.

"Bisa membayar denda, berupa semen hingga kerbau," kata Wakil Wali Kota Pariaman Mardison Mahyuddin kepada BeritaBenar, sehubungan dengan bentuk peraturan yang akan dikenakan pada kelompok yang sejatinya sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia sejak dulu.

"Untuk detailnya (peraturan daerah), harus dikoordinasikan dulu dengan stakeholder lain."

Stakeholder yang dimaksud adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), Majelis Ulama Indonesia, dan kepolisian.

Pemerintah Kota Bukittinggi yang berjarak 60 kilometer dari Pariaman juga berniat akan menjatuhkan sanksi adat untuk LGBT.

Tapi, Ketua LKAAM Bukittinggi, Syahrizal Datuak Palang Gagah belum dapat memastikan sanksi yang disiapkan.

Sejumlah daerah seperti Pemerintah Kabupaten Cianjur di Jawa Barat dan Pemerintah Provinsi Bangka Belitung mengeluarkan edaran agar tokoh agama menyampaikan bahaya LGBT dalam khutbah Jumat.

Sementara itu, Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Abit ketika ditanya BeritaBenar mengakui upaya pemerintah daerah terhalang, karena belum ada aturan secara khusus membahas LGBT dalam Undang-undang di Indonesia.

“Karena payung hukum belum ada, kita akan maksimalkan Peraturan Nagari sesuai hukum adat di nagari masing-masing. Hukuman adat bisa macam-macam,’’ jelasnya.

Hukum Indonesia tidak memidanakan homoseksualitas walaupun dua tahun belakangan ini ada usaha gencar dari sejumlah kalangan untuk membuatnya sebagai tindak kriminal.

Saat ini, hanya Aceh, satu-satunya propinsi yang menerapkan syariat Islam, yang memiliki aturan untuk menjerat pelaku LGBT. Bila ditemukan perbuatan homoseksual, pelakunya terancam hukuman cambuk maksimal 100 kali di depan umum.

Petugas Satpol PP memeriksa sejumlah perempuan yang diduga lesbian setelah dirazia di Padang, Sumatera Barat, 4 November 2018. (Dok. Humas Satpol PP Padang)
Petugas Satpol PP memeriksa sejumlah perempuan yang diduga lesbian setelah dirazia di Padang, Sumatera Barat, 4 November 2018. (Dok. Humas Satpol PP Padang)

Kepanikan moral

Usman Hamid mengecam diskriminasi yang semakin marak atas LGBT. "Perlakuan sewenang-wenang oleh penegak hukum dipandang normal oleh beberapa orang," ujarnya.

Sementara itu, Human Rights Watch (HRW) menyebut rangkaian insiden itu sebagai kepanikan moral otoritas di Indonesia.

"Terlihat absurd dan perlakuan sewenang-wenang untuk negara yang menggaungkan moto 'berbeda-beda tapi satu'," tulis peneliti HRW, Kyle Knight.

Naia Rizqi Zakiah mengecam para pejabat yang seharusnya menjadi pelindung warga, justru menjadi pemicu ketidakadilan atas LGBT.

"Seharusnya petugas menghargai hak semua warga negara,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.