Ayah Korban Penembakan Paniai Tuntut Keadilan

Kepala Staf Presiden, Moeldoko, bantah pernyataan Komnas HAM yang menetapkan kasus Paniai sebagai pelanggaran HAM berat.
Victor Mambor
2020.02.18
Jayapura
200218_ID_Papua_paniai_1000.JPG Dalam foto tertanggal 17 Oktober 2008 ini tampak sekelompok warga di Paniai, Papua, berkumpul sambil membawa bendera Bintang Kejora, lambang gerakan Papua Merdeka.
Reuters

Obet Gobai, ayah dari salah satu korban meninggal dunia dalam insiden penembakan enam tahun lalu di Paniai, Provinsi Papua, menuntut keadilan untuk anaknya setelah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memutuskan peristiwa tersebut sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat.

Alpius Gobai (17), anak dari Obet, adalah satu dari empat siswa yang tewas tertembak dalam kejadian pada tanggal 8 Desember 2014 yang kini disebut sebagai peristiwa “Paniai Berdarah.”

“Kami mau pelakunya diadili dan dihukum sesuai hukum HAM yang berlaku. Anak saya sudah meninggal, tidak bisa kembali lagi. Jadi pelakunya harus diadili. Putusan Komnas HAM itu harus ditindaklanjuti,” kata Obet, seperti yang disampaikan oleh Yones Douw, keluarga korban lainnya, kepada BenarNews, Selasa (18/2/2020) dari Paniai.

Obet yang tak bisa berbahasa Indonesia ini menegaskan, insiden Paniai itu terjadi pada siang hari dan banyak orang yang melihat kejadian yang dipicu oleh keadaan pada malam sebelumnya di Enarotali, Paniai, dimana dua tentara yang mengendarai motor tanpa lampu sein ditegur oleh sekelompok remaja lokal.

Tentara tersebut tidak terima dan kemudian datang dengan sejumlah rekannya dan dilaporkan memukul para remaja itu yang menyebabkan seorang anak terluka serius. Penduduk yang tidak terima hal tersebut keesokan harinya melakukan protes di depan kantor polisi dan pusat komando militer setempat dengan membawa senjata tradisional yang berakhir rusuh dan tewasnya empat warga sipil.

Penyelidikan tim ad hoc Komnas HAM menyimpulkan bahwa anggota TNI yang bertugas selama 7-8 Desember 2014, baik dalam struktur komando Kodam XVII/Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, bertanggung jawab dalam peristiwa tersebut.

Komnas HAM dalam rilis yang diterima BenarNews menyebutkan empat remaja; Yulian Yeimo (17), Alpius Youw (17), Simon Degei (18) dan Alpius Gobai (17) meninggal dunia akibat luka tembak. Selain itu, sebanyak 21 orang lainnya mengalami luka penganiayaan.

“Secara aklamasi kami putuskan sebagai peristiwa pelanggaran berat HAM,” kata Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, dalam dokumen tersebut.

Keputusan Komnas HAM diambil berdasarkan hasil penyelidikan tim ad hoc yang merujuk pada Undang-Undang Pengadilan HAM. Tim bekerja selama lima tahun, sejak 2015-2020.

Tim memeriksa 26 orang saksi, meninjau lokasi kejadian, dan memeriksa dokumen disertai dengan diskusi bersama ahli.

Ketua tim, M. Choirul Anam menyebut peristiwa Paniai memenuhi segala unsur kejahatan kemanusiaan, dengan unsur-unsurnya seperti tindakan pembunuhan dan penganiayaan.

“Sistematis atau meluas, dan ditujukan pada penduduk sipil dalam kerangka kejahatan kemanusiaan sebagai prasyarat utama terpenuhi,” kata Choirul.

Tim turut menemukan adanya indikasi obstruction of justice dalam proses penanganan pasca-peristiwa sehingga mengakibatkan kaburnya fakta peristiwa dan memperlambat proses penegakan hukum.

Pada tragedi berdarah tersebut, tim penyelidik juga menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian, namun bukan dalam kerangka pelanggaran HAM berat.

“Oleh karenanya, direkomendasikan untuk menindaklanjuti pelanggaran tersebut dan memperbaiki kepatuhan terhadap hukum yang berlaku, khususnya terkait perbantuan TNI-Polri,” sebut dokumen.

Berkas penyelidikan telah dikirim kepada Jaksa Agung pada tanggul 11 Februari 2020 sesuai dengan ketentuan dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Dibantah

Kepala Staf Presiden Moeldoko membantah pernyataan Komnas HAM yang menetapkan kasus Paniai sebagai pelanggaran HAM berat.

Moeldoko, yang pada saat kejadian menjabat sebagai Panglima TNI, memastikan bahwa tidak ada perintah dari atasan dalam kejadian penembakan tersebut.

“Paniai itu sebuah kejadian yang tiba-tiba. Harus dilihat dengan baik itu, karena tidak ada kejadian terstruktur, sistematis. Nggak ada. Tidak ada perintah dari atas, tidak ada,” kata Moeldoko di kantornya, Senin.

Dalam argumennya, tindakan yang dilakukan bekas anak-anak buahnya itu adalah respons terhadap serangan massa, bukan direncanakan sebelumnya.

“Jadi supaya dilihatnya dengan cermat, jangan sampai nanti membuat kesimpulan yang tidak tepat,” tukas Moeldoko.

Pernyataan Moeldoko ini menurut Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menunjukan sikap anti HAM, anti kritik, bahkan bisa dianggap sebagai sikap pemerintah, termasuk Presiden, yang mendelegitimasi kerja-kerja Komnas HAM yang independen dan dijamin dalam UU Pengadilan HAM.

“Dalam laporan Amnesty 2018, kasus Paniai hanyalah 1 dari total 69 kasus pembunuhan tidak sah sejak 2008 hingga awal 2018,” kata Usman.

Lanjut Usman, laporan Komnas HAM itu bersifat projustisia yang hanya ditujukan kepada Jaksa Agung. Karenanya Jaksa Agung-lah yang paling wajib menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM. Pejabat lain di luar itu sebaiknya tidak berkomentar, ujarnya.

Sementara itu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud MD mengatakan dia belum menerima dokumen resmi dari Komnas HAM sehingga tidak bisa menanggapinya lebih jauh.

“Sampaikan dulu suratnya, masa saya nanggapin di media?” kata Mahfud di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa.

Mendesak Jaksa Agung

Aktivis HAM meminta Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM serta memerintahkan Jaksa Agung menggelar penyidikan.

“Segera lakukan langkah konkret terhadap hasil penyelidikan Komnas HAM terkait peristiwa Paniai dan menggunakan otoritasnya untuk menginstruksikan kepada Jaksa Agung agar segera melakukan penyelidikan,” kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriani.

Yati menambahkan, hasil penyelidikan Komnas HAM dalam kasus Paniai bisa menjadi langkah awal untuk menyembuhkan luka yang terjadi di Papua.

“Kejaksaan Agung juga harus segera mulai proses penyidikan. Tidak adanya komunikasi dan persamaan perspektif antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung akan memperlambat proses keadilan bagi para korban dan keluarganya,” kata Yati.

John Gobay, Sekretaris Dewan Adat Papua mendesak Mahkamah Agung dan Presiden Republik Indonesia membentuk pengadilan HAM di Papua agar kasus Paniai ini bisa diadili di Papua bukan di Makassar.

Pengadilan di Papua ini dinilai penting agar masyarakat luas dan publik Papua bisa mengikuti proses peradilan terhadap kasus yang terjadi di Paniai.

“Masyarakat harus terlibat melihat langsung proses peradilan dengan mata kepala sendiri,” kata Gobay.

Perkara sepele

Laporan IndoProgress menyebut kekerasan oleh aparat yang terjadi di Paniai berawal dari kejadian sepele. Kejadian bermula pada 7 Desember 2014 malam, ketika sekitar 11 anak sedang berkumpul menyanyikan lagu Natal di depan api unggun di Enarotali.

Dalam kegelapan, muncul dua orang oknum TNI mengendarai sepeda motor tanpa menyalakan lampu sein. Anak-anak kaget dan menegur dua oknum TNI. Dua oknum tidak menerima teguran tersebut. Mereka lantas mengancam akan kembali dan membawa teman-temannya sesama prajurit.

Tak lama sekelompok prajurit datang mengejar dan memukul anak-anak tersebut dengan ujung senapan. Seorang anak, Yulianus Yeimo, terluka parah akibat dipukuli hingga koma. Yulianus dilaporkan meninggal dunia pada 1 April 2018.

Pemukulan anak-anak itu memicu ribuan warga Paniai berunjuk rasa di depan kantor polisi dan pusat komando. Mereka menggelar upacara dengan membawa panah untuk berburu, wujud protes atas tindakan brutal tentara terhadap anak-anak Paniai.

Unjuk rasa memanas. Pengunjuk rasa mulai melempar pos polisi dan pangkalan militer dengan batu. Dari kejadian itu, merujuk dokumen resmi investigasi kasus tersebut yang diterbitkan oleh Majalah Time, perintah melakukan penembakan di tempat, pun dikeluarkan komando pasukan gabungan TNI.

Sampai saat ini, tidak diketahui siapa yang mengeluarkan perintah penembakan tersebut.

Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) menyebut Paniai adalah salah satu wilayah basis militer Organisasi Papua Merdeka (OPM) terbesar, setelah Puncak Jaya dan Mimika.

Ronna Nirmala di Jakarta turut berkontribusi pada artikel ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.