Aceh Tetap Gelar Hukuman Cambuk di Tengah Corona

Untuk mencegah penyebaran COVID-19, pencambukan tidak disaksikan masyarakat luas seperti biasanya.
Rina Chadijah
2020.04.21
Jakarta
200421_ID_Canning_inside.jpg Terdakwa pelanggar syariat Islam di Banda Aceh menjalani hukuman cambuk di sebuah gedung di lingkungan Taman Sari, Kota Banda Aceh, Selasa, 21 April 2020.
Ahyar/BenarNews

Enam orang yang diputuskan bersalah karena melanggar aturan Syariat Islam di Provinsi Aceh menjalani hukuman cambuk, Selasa (21/4), di tengah pandemi virus corona di Indonesia, kata pejabat setempat.

Namun pelaksanaan cambuk yang digelar di sebuah gedung di wilayah Taman Sari, di ibukota Banda Aceh, tidak disaksikan kerumunan warga sebagaimana biasanya demi menghindari penyebaran COVID-19, kata Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh, Muhammad Hidayat.

“Eksekusi tetap menerapkan protokol kesehatan dan tidak kita perbolehkan disaksikan warga sebagaimana biasanya, hanya dihadiri keluarganya saja,” katanya kepada BenarNews.

Dua dari enam orang yang dihukum adalah pasangan kekasih yang divonis bersalah karena bermesraan di tempat umum atau ihktilath. Mereka masing-masing menerima cambuk sebanyak 27 kali, kata Hidayat.

Sementara empat orang lainnya menerima 40 kali cambuk, karena terbukti bersalah meminum minuman keras.

Mereka yang dicambuk ditangkap di beberapa tempat yang berbeda di wilayah hukum Banda Aceh. Pasangan ikhtilath itu ditangkap di sebuah hotel, setelah adanya laporan dari warga. Sementara empat pemuda ditangkap karena berpesta miras di kawasan Peunayong, Banda Aceh.

Hidayat mengatakan ini merupakan prosesi cambuk kedua kalinya yang digelar pihaknya selama pandemi COVID-19, setelah empat orang dihukum sebulan lalu.

Pelaksanaan cambuk dilakukan di dalam gedung tertutup dan tidak ada warga yang dibolehkan menyaksikan, kecuali petugas, termasuk beberapa orang Jaksa, polisi dan eksekutor serta keluarga para pelanggar.

Seluruh orang yang hadir diwajibkan menjaga jarak dan tetap menggunakan masker.

Hukuman cambuk yang sebenarnya disyaratkan dilakukan dimuka umum, sebenarnya adalah bagian dari sanksi sosial agar pelaku pelanggar merasa malu dan tidak lagi mengulangi perbuatannya, kata Hidayat.

“Kalau secara aturan tidak masalah sebenarnya. Saya tidak akan mengurangi sanksi moral dan efek jera bagi pelaku yang bersangkutan, karena cambuk ini kan sudah lama diterapkan di Aceh, jadi ada tidaknya masyarakat yang melihat, itu menjadi pelajaran bagi pelaku,” ujarnya.

Cambuk tertutup akan diterapkan

Menurut Hidayat, pihaknya hingga kini terus mengkaji efektivitas pelaksanaan cambuk di muka umum. Dalam waktu dekat, kata, eksekusi cambuk di Kota Banda Aceh juga akan digelar di ruang tertutup dan tidak perlu lagi disaksikan banyak orang.

“Beberapa wilayah sudah ada yang melakukan itu. Kita di Banda Aceh juga akan menerapkan juga dalam waktu dekat ini,” ujarnya.

Cambuk di muka umum menurutnya juga membutuhkan biaya yang lumayan besar. Untuk menggelar ekseksusi, panitia setidaknya membutuhkan anggaran untuk menyewa pangung dan alat pengeras suara serta pagar pembatas.

“Jadi kalau eksekusi terbatas di dalam ruangan setidaknya akan menghemat biaya. Sekarang kan kalau dibilang efek jera, diberitakan media juga sudah membuat efek jera bagi pelaku,” ujarnya.

Hukuman cambuk yang digelar di depan umum kerap kali mendapatkan protes dari aktivis hak asasi manusia, yang menilai jenis hukuman ini melecehkan martabat kemanusiaan.

Mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf pernah mewacanakan untuk menggelar eksekusi cambuk di dalam ruang terbatas dan tidak perlu lagi disaksikan banyak orang. Sebab menurutnya kala itu, pelaksanaan eksekusi cambuk di depan umum tidak mendidik, dan untuk merespons kecaman internasional atasa penerapan hukuman itu.

Wacana itu tenggelam setelah Irwandi ditangkap Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK), yang menerima suap proyek Dana Otonomi Khusus Aceh tahun 2018. Ia kini sedang menjalani hukuman7 tahun di Lapas Sukamiskin Bandung, Jawa Barat.

Aceh sebagai provinsi yang memiliki kekhususan di Indonesia, telah menerapkan hukum syariat Islam secara parsial sejak tahun 2002 lalu. Pada 2014 Aceh memiliki kodifikasi hukum pidana islam yang tertuang dalam Qanun atau peraturan daerah No 6 tentang hukum jinayah.

Jumlah pelanggar menurun

Satpol PP dan WH Banda Aceh mencatat adanya tren penurunan kasus pelanggaran syariat Islam di ibukota provinsi itu sejak Februari lalu, ketika berita tentang wabah COVID-19 mulai menyebar.

“Karena banyak masyarakat yang tidak berkeliaran di luar rumah dan juga hotel-hotel tutup, jadi tidak ada laporan yang masuk ke kita terkait pelangggaran syariat Islam,” katanya.

Para terhukum cambuk yang dieksekusi hari ini, menurutnya pun, juga merupakan para pelanggar syariat yang ditangkap pada akhir tahun lalu.

“Patroli tetap kita lakukan agar tidak kita temukan lagi masyarakat yang melanggar syariat Islam. Sekaligus kita terus memberikan sosialisasi agar masyarakat tetap mematuhi hukum syariat, apalagi di tengah wabah seperti ini,” ujarnya.

Hidayat mengatakan pihaknya belum mempertimbangkan apakah akan tetap menggelar eksekusi cambuk ke depannya selama pandemi, atau menundanya hingga wabah berakhir.

“Kita belum berfikir untuk menunda jika ada kasus lainnya ke depan. Yang pastinya saat ini jika pun ada pelanggar kita juga mempertimbangkan banyak hal, apalagi banyak penjara yang narapidananya dipotong masa hukuman dan dibebaskan,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.