Pengamat: Ba’asyir ikut upacara bendera bagus untuk deradikalisasi

Anggapan Ba’asyir berubah pendirian membuat para pendukung kelompok militan kecewa.
Kusumasari Ayuningtyas
2022.08.18
Klaten, Jawa Tengah
Pengamat: Ba’asyir ikut upacara bendera bagus untuk deradikalisasi Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-77 di Ponpes Islam Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah untuk pertama kalinya sejak didirikan tahun 1972 oleh Abu Bakar Baasyir dan 5 orang rekannya.
(Kusumasari Ayuningtyas/BenarNews)

Kehadiran Abu Bakar Ba’asyir yang merupakan salah satu tokoh penting dalam dunia militansi di Indonesia dalam upacara peringatan Hari Kemerdekaan di pesantrennya diyakini memberikan dampak positif untuk deradikalisasi di Indonesia, kata pengamat Kamis (18/8).

 Keikutsertaan Ba’asyir, 84, dalam upacara ini cukup mengejutkan banyak pihak yang tidak menyangka dia akan sampai mengijinkan upacara bendera dilaksanakan di pondok pesantren Al Mukmin di Ngruki, Sukoharjo, yang merupakan milik keluarganya.

Dyah Ayu Kartika, analis dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), mengatakan partisipasi Ba’asyir dalam upacara bendera 17 Agustus membuat pendukung kelompok radikal merasa kecewa.

“Tentu kehadiran ABB dalam upacara bisa dianggap sebagai kemajuan, tetapi perlu diperhatikan juga narasi yang digaungkan dan implikasi ke depannya. Memang dengan hadirnya beliau di upacara kemarin, banyak dari kelompok pro-ISIS yang menyayangkan,” kata Dyah kepada BenarNews.

Pengaruh ideolog cukup besar dalam mengubah pendirian anggota kelompok militan, kata Dyah.

“Kalau bisa mendapat ideolog biasanya pengikutnya akan menyusul. Ideolog juga bisa berperan jadi teman diskusi, bahkan teman debat yang sepadan dengan napiter lain,” ujarnya.

Ba’asyir mengatakan Rabu bahwa upacara bendera merupakan bentuk “syukur” kepada Allah.

“Harapan saya kalau ada upacara setelah ini, bersyukurnya kepada Allah itu harus ditingkatkan oleh Pemerintah. Mengatur negara ini hanya dengan hukum dari Tuhan sehingga negara itu menjadi negara yang baik penuh ampunan,” ujar Ba’asyir usai upacara.

Ba’asyir mengatakan demokrasi adalah buatan orang “kafir”.

Dyah mengatakan bahwa Ba’asyir tampaknya masih konsisten dengan pernyataan dia yang beredar pada awal Agustus ini yaitu dia menerima Pancasila, tetapi yang berlandaskan syariat Islam, bukan demokrasi.

“Kalau dilihat secara historis, ini cara pandang yang sama yang selama ini diperjuangkan oleh kelompok NII [Negara Islam Indonesia] dan banyak kelompok Islam radikal lainnya,” ujar Dyah.

Meski begitu, Dyah berpendapat bahwa kehadiran Ba’asyir dalam upacara bisa dianggap sebagai kemajuan, tetapi tetap perlu diperhatikan narasi yang digaungkan.

“Bisa jadi ini digunakan kelompok lain untuk memperjuangkan Indonesia yang berlandaskan hukum Islam, bukan demokrasi,” ujarnya.

Ba’asyir, salah seorang pendiri Jemaah Islamiyah (JI), jaringan al-Qaeda untuk Asia Tenggara yang disinyalir berada dibalik sejumlah serangan terorisme di Indonesia pada dekade 2000-an.

JI disebut melakukan serangan bom Bali pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang - kebanyakan orang asing, termasuk 88 warga Australia.

Ba’asyir dibebaskan pada 8 Januari 2021 setelah menjalani hukuman lebih dari 10 tahun karena dinyatakan bersalah terlibat dalam pendaan dan pelatihan terorisme di Aceh.

Pada hari pembebasannya, anak-anak Ba’asyir mengatakan mereka berkomitmen untuk memberikan pengertian kepada Baasyir untuk tidak terlibat dalam ekstremisme.

Mantan narapidana terorisme dan anggota kelompok Mujahidin Indonesia Timur yang aktif di Sulawesi Tengah, Hendro Fernando, mengatakan melihat tokoh ideolog seperti Ba’asyir mengikuti upacara bendera merupakan hal luar biasa.

“Hal ini menjadi pendorong bagi narapidana terorisme yang sebelumnya masih ragu untuk keluar dari jaringan dan mengakui NKRI [Negara Kesatuan Republik Indonesia] untuk mengambil keputusan [mengakui],” ujarnya.

Tetapi menurut Hendro, tindakan Ba’asyir memunculkan reaksi berbeda di media sosial dan aplikasi pesan dari para pendukung kelompok radikal yang menyebutnya sebagai “lelucon para kafir” dan mengatakan “sejarah perjuangan tauhidnya sudah tidak bersisa.”

Sofyan Tsauri, mantan napi terorisme yang juga pengamat militansi, mengatakan bahwa apa yang dilakukan Ba’asyir yang ikut menghadiri upacara memberikan pengaruh terhadap kelangan militan di Indonesia.

"Bagaimanapun dia adalah tokoh besar, tentunya ada pengaruhnya ada yang mengikuti ada juga yang menentang. Seperti pengikut JAD yang kemudian mengkafirkan Ustadz Abu," kata Sofyan, mengacu pada Jamaah Ansharut Daulah, kelompok yang terafiliasi dengan ISIS.

Tahun lalu, Ba’asyir, membantah bahwa ia terlibat serangan bom Bali tahun 2002 atau mendukung kekerasan atas nama Islam, dalam pertemuannya dengan pejabat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), menurut pengacaranya, Achmad Michdan.

Meskipun jaksa tidak dapat mengaitkannya dengan aksi teror pemboman di Bali, pengadilan di Jakarta memutuskan dia bersalah memalsukan dokumen identitas dirinya dan menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara. Hukuman itu dibatalkan setelah banding.

Pada tahun 2010 dia ditangkap karena keterlibatannya dalam pendanaan kamp pelatihan militan di Aceh serta menghasut para ekstremis untuk melakukan serangan teroris dan dijatuhi 15 tahun penjara pada tahun 2011.

Ba’asyir menolak untuk mengikuti program deradikalisasi selama berada di dalam penjara atau menandatangani surat pernyataan setia kepada Pancasila dan negara.

220818-ID-Baasyir.jpg

Abu Bakar Ba’asyir saat diwawancarai wartawan usai pelaksanaan Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-77 di Ponpes Islam Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (17/8) (Kusumasari Ayuningtyas/BenarNews)

Umar Patek akan bebas

Sementara itu Umar Patek, narapidana yang didakwa dengan enam kasus tindak pidana terorisme termasuk menjadi koordinator lapangan bom Bali 2002, mendapatkan remisi umum Hari Kemerdekaan dengan pengurangan hukuman 5 bulan, sehingga dia diperkirakan bebas bulan ini.

“Bebasnya Umar Patek kita harapkan bisa dilibatkan lebih masif lagi dalam program deradikalisasi,” ujar Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Akhmad Nurwahid kepada BenarNews.

Menurut Nurwahid, Umar sudah moderat dan tidak anti pemerintah setelah berikrar setia kepada di Lapas Kelas I Surabaya di Porong, Sidoharjo, Jawa Timur.

Dyah dari IPAC melihat bahwa Umar memang sudah sejak lama menjadi mitra Pemerintah dari dalam penjara untuk program deradikalisasi.

“Dia banyak dibantu oleh Pemerintah, termasuk menjadikan istrinya WNI (Warga Negara Indonesia). Ini juga faktor penting dalam proses deradikalisasinya,” ujar Dyah.

Menurut data yang dirilis oleh IPAC pada September 2020, sejak Mei tahun 2002-Mei 2020 tercatat ada 94 orang mantan napi terorisme yang kembali menjadi residivis dari total 825 narapidana terorisme yang dibebaskan dalam kurun waktu tersebut.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.