Pemerintah Libatkan TNI/Polri Untuk Penegakan Hukum Protokol Kesehatan COVID-19

Inpres pelibatan TNI/Polri dalam penerapan protokol kesehatan dikritisi kelompok HAM yang menyebut frasa penegakan hukum rentan disalahartikan.
Ronna Nirmala
2020.08.07
Jakarta
200807-ID-C19-Hukum1000.jpg Anggota Satpol PP menggunakan megafon untuk mengingatkan warga untuk mematuhi protokol kesehatan termasuk memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak di sebuah pasar di Jakarta, Kamis 6 Agustus 2020.
(AP)

Keputusan melibatkan militer dan polisi dalam penerapan protokol kesehatan untuk mempertegas penegakan hukum di lapangan, di samping upaya pembinaan masyarakat dalam mencegah penularan COVID-19, demikian kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Jumat.

Melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2020 yang dikeluarkan Selasa (4/8), Presiden Joko “Jokowi” menugaskan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk memberikan dukungan kepada pemerintah daerah dengan mengerahkan personel dan membantu polisi untuk penerapan protokol kesehatan di masyarakat.

Sementara aparat Kepolisian RI diminta untuk mengefektifkan upaya penegakan hukum terhadap pelanggar protokol tersebut. Instruksi juga diberikan kepada kepala daerah untuk berkoordinasi dengan dua instansi ini dalam hal pelaksanaan protokol kesehatan.

“Dikeluarkannya Inpres itu untuk mengefektifkan selutuh upaya pemerintah untuk menangani COVID-19,” kata Menkopolhukam Mahfud MD dalam telekonferensi, Jumat.

Mahfud mengatakan penularan COVID-19 terus berkembang dan “semakin massif,” tapi masih banyak masyarakat yang belum mematuhi protokol kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah.   

“Kalau penegakan disiplin dan penegakan hukum itu sebenarnya hukum materiilnya sudah ada, aturan materiilnya sudah ada,” kata Mahfud. “Tinggal mendisiplinkannya, bagaimana menegakkan hukumnya,” tambahnya.

Sejumlah protokol kesehatan yang diatur dalam Inpres meliputi penggunaan masker yang menutup hidung hingga dagu, mencuci tangan, pembatasan jarak antarorang, dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.

Inpres turut mengatur sanksi atas pelanggaran prokol berupa teguran lisan dan tertulis, kerja sosial, denda administratif, hingga penghentian sementara penyelenggaraan usaha. Namun tidak dijelaskan lebih detail terkait berapa nilai denda maupun jenis kerja sosial dalam sanksi tersebut.

Mahfud menjelaskan, sanksi yang berlaku dalam Inpres akan menyesuaikan dengan aturan yang sudah ada sebelumnya, termasuk yang termuat dalam Undang-undang (UU) tentang Karantina Kesehatan.

Kendati begitu, Mahfud menyatakan hukum pidana juga bisa diterapkan bagi pelanggar protokol kesehatan semisal masyarakat melawan petugas saat pelaksanaan pendisplinan.

“Kalau sudah diberitahu kok melawan. Misalnya sudah disuruh membubarkan kok diteruskan, juga ada hukum pidananya. Hukum pidananya banyak,” katanya.

Namun keterlibatan TNI/Polri dalam pemberian sanksi yang diatur dalam inpres ini dikritisi sejumlah kalangan aktivis HAM karena menganggap frasa penegakan hukum rentan disalahartikan ketika diterapkan di lapangan.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, menyatakan keputusan untuk melibatkan TNI/Polri dalam penegakan pelaksanaan protokol kesehatan sebagai langkah represif yang tidak bisa diterapkan.

“Dari sisi demokrasi memang betul TNI punya tugas perbantuan, tapi itu ketat sekali. Ini ada kegagalan, sebetulnya situasi kedaruratannya seperti apa?” kata Asfinawati saat dihubungi, Jumat.

Jika tujuan pemerintah untuk melibatkan TNI/Polri adalah untuk menakut-nakuti masyarakat, maka yang seharusnya dioptimalkan adalah sosialisasi melalui komunikasi publik yang baik, tambah Asfinawati.

Pakar Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai kebijakan pelibatan aparat, khususnya TNI, rentan memicu pelanggaran HAM karena perbedaan tafsir penegakan hukum.

“Hati-hati, gaya disiplin militer itu berbeda dengan masyarakat sipil. Ini bisa memicu terjadinya kekerasan,” kata Feri.

Ditolak kepala daerah

Keputusan untuk menerapkan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan juga ditentang kepala daerah.

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengatakan pihaknya tidak akan memberikan sanksi kepada pelanggar protokol kesehatan karena hal tersebut tidak diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

“Selama bisa berdialog, kenapa harus pakai sanksi?” katanya kepada wartawan.

Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono meminta masyarakat untuk tidak resah dengan kehadiran Inpres yang mengatur keterlibatan TNI/Polri dalam pelaksanaan protokol kesehatan.

Dalam keterangan tertulisnya, Jumat, Dini menekankan bahwa sanksi hanya akan diberikan kepada pihak yang sudah diberikan sosialisasi namun masih melakukan pelanggaran protokol kesehatan.

“Masyarakat tidak perlu resah dengan Inpres ini, karena tujuan Inpres ini adalah justru untuk menjaga keselamatan dan keamanan masyarakat,” kata Dini.

Selain itu, Inpres ini juga bisa dijadikan pedoman bagi para pelaku usaha dan pihak pengelola fasilitas umum untuk lebih tertib dan disiplin saat pelonggaran pembatasan sosial mulai diberlakukan secara luas.

“Inpres ini membuktikan keseriusan pemerintah untuk menekan angka penyebaran COVID-19,” tukas Dini.

Kementerian Kesehatan pada Jumat mengumumkan penambahan 2.473 kasus terkonfirmasi COVID-19 sehingga total keseluruhannya menjadi 121.226 orang.

Penambahan harian ini adalah yang kedua tertinggi sejak Indonesia mengonfirmasi kasus pertama pada awal Maret 2020.

Data pemerintah juga mencatat 72 pasien COVID-19 yang meninggal dunia dalam 24 jam terakhir, sehingga total kasus kematian menjadi 5.593, dengan kesembuhan total sebanyak 77.577 atau bertambah 1.912 dalam 24 jam terakhir.

DKI Jakarta kembali melampaui akumulasi kasus positif di Jawa Timur dengan penambahan 665 kasus baru sehingga totalnya menjadi 24.601, sementara Jawa Timur berjumlah 24.493 atau bertambah 378 dari hari sebelumnya.

Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito, menyarankan perkantoran untuk menutup sementara operasionalnya jika ditemukan penularan COVID-19 pada pegawainya.

“Jadi, kalau ditanya tutupnya berapa lama? Ya, jawabannya sampai dengan situasinya bisa dikendalikan lagi,” kata Wiku dalam telekonferensi, Jumat.

Wiku juga menambahkan, ketika sebuah lokasi diindentifikasi sebagai klaster penularan COVID-19, maka masyarakat di lingkungan sekitarnya wajib tahu.

“Yang jelas seluruh masyarakat yang di situ harus tahu bahwa di situ (lokasi/area) ada klaster penularan COVID-19. Ini jadi introspeksi ke depannya, bagaimana orang yang sakit harus dirawat,” tambahnya.

Sekolah tatap muka

Kementerian Pendidikan pada Jumat mengumumkan perluasan sistem pembelajaran tatap muka yang berlaku sampai ke wilayah berstatus zona kuning.

Kementerian Kesehatan mengelompokan zona pada sebuah daerah dengan mengacu pada sejumlah indikator indikator seperti jumlah kasus penularan, pengawasan kesehatan masyarakat hingga pelayanan kesehatannya. Zona kuning diartikan bahwa penyebaran COVID-19 rendah dan zona hijau sebagai daerah tanpa COVID-19.

Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengizinkan pelajar di daerah zona hijau untuk melakukan aktivitas belajar mengajar tatap muka, sementara zona lainnya masih jarak jauh dengan fasilitas internet alias daring.

“Perluasan tatap muka bagi zona kuning, tadinya hanya zona hijau. Artinya ada 43 persen peserta didik kita yang ada di zona hijau dan zona kuning,” kata Menteri Pendidikan Nadiem Makarim dalam telekonferensi, Jumat sore.

Nadiem mengatakan kebijakan ini diambil dengan turut mempertimbangkan kondisi pelajar di daerah pedalaman yang belum bisa memperoleh akses internet sebaiknya di perkotaan.

“Banyak sekali mayoritas daerah tertinggal dan terluar di Indonesia ada zona hijau dan kuning. Untuk itu kita akan merevisi untuk memperbolehkan, bukan memaksakan, pembelajaran tatap muka mengikuti protokol kesehatan yang ketat,” katanya.

Doni Monardo, Ketua Satgas Penanganan COVID-19, mengatakan keputusan untuk menggelar pembelajaran tatap muka di zona kuning tetap akan dikembalikan kepada daerah masing-masing.

“Karena para pejabat itu yang paling tahu situasi di daerah masing-masing,” kata Doni, seraya menambahkan per 2 Agustus 2020, sedikitnya terdapat 163 zona kuning di seluruh Indonesia.


Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.