Kecam Pelanggaran HAM Uighur, Seribuan Massa Demo Kedubes China

Selain mendesak Beijing menghentikan sikap represif terhadap etnis Uighur, para demonstran juga mengkritik sikap Jakarta yang dianggap terkesan hanya berpangku tangan.
Arie Firdaus
2019.12.27
Jakarta
191227-ID-MY-Uyghur1000.jpg Para demonstran membawa poster dan bendera saat menggelar unjuk rasa di depan Kedutaan Besar China di Jakarta, 27 Desember 2019.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Meski diguyur hujan deras, seribuan massa yang tergabung dalam Persaudaraan Alumni (PA) 212 berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar (Kedubes) China di Jakarta, Jumat, 27 Desember 2019.

Demonstrasi mengecam dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap etnis Uighur oleh Pemerintah China dimulai usai salat Jumat, sekitar pukul 13.00 WIB, dan tetap berlangsung saat hujan turun dua jam kemudian.

"Perampasan hak asasi manusia umat Islam Uighur sudah sangat keterlaluan. Dengan dalih melawan radikalisme, hak asasi Muslim Uighur dicabik dan dirampas hak beribadah, hak ekonomi, hak sosial dan politik, hingga budaya dan kemanusiannya," ujar Ketua Umum PA 212, Slamet Maarif.

Demo ini merupakan yang terbaru dengan massa terbanyak yang pernah berlangsung di depan kantor Kedubes China di Jakarta, mengusul kembali menghangatnya masalah etnis Uighur dalam beberapa pekan terakhir.

Unjuk rasa serupa sebelumnya sempat digelar Kamis dan Jumat pekan lalu – diinisiasi PA 212 dan Laskar Mujahidin Syuhada Indonesia, tapi hanya dihadiri belasan orang.

Dalam orasi di hadapan pendemo, Slamet turut membacakan tujuh tuntutan PA 212 terkait masalah Uighur.

Ia, antara lain, menuntut Pemerintah China menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM dan mendesak Beijing untuk membuka akses kepada penyidik independen internasional.

Selain itu, para demonstran mengecam Pemerintah Indonesia yang dinilai hanya berpangku tangan dalam persoalan Uighur.

"Kami menyerukan kepada rakyat Indonesia dan umat Islam khususnya untuk memboikot produk China, menarik seluruh simpanan dari perbankan China, dan menghentikan seluruh proyek kerja sama dengan China dalam bentuk apapun," lanjut Slamet.

Selain orasi, aksi di depan Kedubes China di Jakarta juga dihiasi bentangan spanduk dan poster yang mayoritas berisi kecaman kepada otoritas China, semisal, 'China, Stop Genocide Ethnic of Uyghurs', 'Shame on You China for Snatching Freedom of Uyghurs'.

Namun adapula yang turut menyasar pemerintah Indonesia karena dianggap lalai dan berdiam diri terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Uighur, seperti 'Over One Millions Uyghurs Arbitralrily Detained in China, Indonesia Must Speak Up'.

Komentar pendemo


Seorang pendemo, Djoko Satrio (43) mengatakan, kehadirannya dalam unjuk rasa sebagai wujud solidaritas kepada umat Islam Uighur yang dipersekusi pemerintah Komunis China.

"Sebagai sesama Muslim, kami di sini juga merasa sakit saat saudara kami ditindas di Xinjiang," ujarnya.

Sementara pendemo lain, Teti Irawati (48), meminta pemerintah Indonesia tak menutup mata atas kejadian yang menimpa etnis Uighur dan berani mengkritik pemerintah China dengan tegas.

"Pemerintah Indonesia tidak boleh diam saja atas penderitaan di sana. Karena sesuai dengan undang-undang, penjajahan dan penindasan harus dihapuskan," katanya.

Tak hanya di Jakarta, unjuk rasa mengecam dugaan pelanggaran hak asasi manusia terkait etnis Uighur juga berlangsung di depan Konsulat Jenderal China di Surabaya, Jawa Timur. Demonstrasi dihadiri ratusan orang yang mengatasnamakan diri sebagai Aliansi Umat Islam Surabaya.

"Ini menjadi kewajiban kami, bentuk kepedulian terhadap apa yang menimpa saudara Muslim Uighur," kata Syaifuddin Budiharjo, Ketua LBH Pelita Umat Jawa Timur di dalam orasinya seperti dikutip dari laman Tagar.id.

"Saudara Muslim kami yang ada di sana mengalami penindasan, pembunuhan, penyiksaan. Bagi kami, itu adalah beban dan tanggung jawab untuk membela mereka."

Polemik Uighur di Indonesia


Mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia etnis Uighur, pemerintah Indonesia telah berulang kali menyatakan tak akan mencampuri hal tersebut dengan menyebutnya sebagai perkara dalam negeri China.

Hal ini disampaikan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, Kamis pekan lalu dan ditegaskan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko empat hari setelahnya.

Kedua pernyataan itu disampaikan setelah mereka bertemu dengan Duta Besar China untuk Indonesia, Xian Qian.

"Dia (Xian Qian) menjelaskan di China itu banyak sekali orang Islam, di berbagai penjuru, tapi ndak apa-apa. Kecuali Uighur, katanya. Kenapa Uighur? Itu mempunya agenda sendiri di luar kerangka negara, seperti separatislah kalau istilahnya," ujar Mahfud.

Kendati tak diketahui pasti, Pemerintah China diyakini telah menahan sekitar 1,8 juta etnis Uighur di kamp-kamp pengungsian sejak April 2017, ketika Negara Tirai Bambu itu mulai melakukan penindakan keras terhadap kelompok-kelompok yang dianggap ekstremis di Xinjiang.

Guna menangkal isu represi terhadap etnis Uighur di Indonesia, Beijing telah mengundang sejumlah tokoh muslim dari organisasi Islam besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah ke Xinjiang untuk menunjukkan bahwa kamp yang mereka buat bertujuan baik, yakni melatih dan mendidik keterampilan etnis Uighur.

Tapi belakangan kegiatan itu justru bersalin rupa menjadi "bola panas" usai Wall Street Journal dalam laporan pada 11 Desember lalu menyebut bahwa pemerintah China telah memberikan donasi kepada dua organisasi tersebut agar bersikap lunak kepada China terkait Uighur.

Namun, para pimpinan NU dan Muhammadiyah telah menolak kebenaran laporan media yang berbasis di Amerika Serikat (AS) tersebut.

Para pengunjuk rasa membawa poster dan bendera saat berjalan menuju Kedubes China di Kuala Lumpur, Malaysia, 27 Desember 2019. (S.Mahfuz/BeritaBenar)

Demo di Malaysia


Sementara itu, sekitar 700 orang dari sejumlah organisasi massa Islam di Malaysia menggelar aksi unjuk rasa di depan Kedubes China untuk Malaysia di Kuala Lumpur, Jumat.

Para pendemo yang berasal dari Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), Global Peace Mission (GPM), Persatuan Kebangsaan Penuntut Islam Malaysia (PKPIM), Federasi Penuntut Muslim Asia Tenggara (PEPIAT) dan Hizbut Tahrir, juga menuntut pemerintah Beijing untuk menghormati hak etnis Uighur.

Presiden ABIM, Muhammad Faisal Abdul Aziz, menyebut bahwa warga Muslim Uighur berhak untuk beribadah seperti kelompok masyarakat lain.

"Kami menuntut pemerintah China untuk menghentikan segala bentuk diskriminasi dan meminta mereka menutup kamp-kamp di Xinjiang yang menampung ratusan ribu warga Uighur yang ditindas oleh Beijing," ujar Fasial.

Hadi Azmi & Nisha David di Kuala Lumpur, Malaysia, turut berkontribusi dalam artikel ini.


Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.