Analis: Aturan di Laut China Selatan sulit selesai dalam waktu dekat
2023.02.06
Jakarta
Indonesia sebagai ketua ASEAN berupaya untuk mempercepat pembicaraan dengan Beijing tentang aturan untuk menghindari konflik di Laut China Selatan, tetapi peningkatan ketegangan antara China dan sejumlah negara Asia Tenggara di kawasan tersebut dapat menjadi rintangan untuk tercapainya kesepakatan, kata para pengamat.
Menteri Luar Negeri ASEAN menyatakan tekad dalam pertemuan akhir pekan lalu untuk menyelesaikan negosiasi aturan perilaku (code of conduct, atau COC) antara ASEAN dan China di Laut China Selatan. Pertemuan putaran pertama untuk membahas hal itu direncakanan dimulai Maret ini.
“Sikap memaksa dari China belakangan ini di perairan itu terhadap negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, dan Filipina, tidak akan membantu untuk tumbuhnya kepercayaan,” kata Collin Koh, peneliti di S. Rajaratnam School of International Studies di Singapura
“Ini berarti bahwa proposal dan bahkan pendekatan China dalam negosiasi mungkin akan dicurigai oleh negara-negara tersebut,” katanya kepada BenarNews.
Koh memperkirakan negosiasi akan masih panjang dan tidak akan selesai semasa kepemimpinan Indonesia di ASEAN.
Pada 2002 ASEAN dan Beijing menandatangani Deklarasi Perilaku para Pihak (DOC) untuk penyelesaian sengketa damai di Laut China Selatan yang memiliki wilayah tumpang tindih yang diklaim oleh China, Taiwan, dan empat negara ASEAN – Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam, namun permasalahan itu tetap tidak terselesaikan hingga saat ini.
Muhammad Arif, pakar hubungan Indonesia-China dari Universitas Indonesia mengatakan keinginan Indonesia untuk mempercepat negosiasi karena didorong oleh persaingan China-AS yang semakin sengit dan meningkatnya risiko insiden di laut.
“Kemungkinan besar dokumen final tidak akan selesai tahun ini, tetapi setidaknya Indonesia dapat menunjukkan beberapa kemajuan yang nyata,” kata dia kepada BenarNews.
“Kepemimpinan Indonesia selalu menjadi harapan terbaik ASEAN untuk membuat kemajuan dengan COC karena Indonesia satu-satunya negara yang memiliki pengaruh diplomatik yang diperlukan,” katanya.
Dalam pernyataan bersama, para menteri luar negeri ASEAN dalam pertemuan akhir minggu lalu itu sepakat untuk menemukan strategi baru untuk mempercepat proses negosiasi COC di tengah kekhawatiran yang diungkapkan beberapa menteri terkait reklamasi dan beberapa insiden serius di Laut China Selatan yang disebut telah mengikis kepercayaan dan meningkatkan ketegangan di kawasan.
“Komitmen negara anggota untuk menyelesaikan negosiasi COC segera mungkin akan terlihat jelas, mengingat kebutuhan untuk tercapainya COC yang substantif, efektif dan dapat ditindaklanjuti,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Sabtu.
Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN, Sidharto Suryodipuro, tidak menjelaskan lebih lanjut tentang pendekatan baru yang akan dipakai.
“Itu adalah sesuatu yang kita harus jelajahi dengan China, belum tahu seperti apa tapi negosiasi adalah kunci yang akan kita tingkatkan intensitasnya,” ujar dia.
Indonesia secara resmi menyatakan bukan merupakan pihak yang memiliki permasalahan klaim wilayah di Laut China Selatan, namun demikian Jakarta terlibat dalam beberapa konflik dengan China terkait isu itu.
Terakhir, kapal penjaga pantai China terlihat berpatroli di sekitar kawasan energi lepas pantai Blok Tuna yang terletak di Laut Natuna Utara - yang terjadi beberapa pekan setelah pemerintah Indonesia menyetujui pengembangan fase pertama Blok Tuna, yang disebut China sebagai berada dalam wilayah “sembilan garis putus- putus” yang secara historis diklaim sebagai wilayah China.
Juru bicara kedutaan besar China di Jakarta waktu itu mengatakan kepada BenarNews bahwa kapal mereka berlayar "di wilayah laut yang menjadi yurisdiksi China berdasarkan hukum- nasional dan internasional."
Pengadilan arbitrase Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2016 memutuskan bahwa klaim "sembilan garis putus-putus" sebagai tidak sah namun Beijing selama ini selalu menolak putusan tersebut, dan berkeras bahwa China mempunyai yurisdiksi di sana.
Sementara itu, China juga menuai protes saat kapal penjaga lautnya terpantau membuntuti sebuah kapal Angkatan Laut Filipina yang berlayar dalam zona ZEE Filipina saat kunjungan Menteri Pertahanan AS ke Filipina.
ASEAN dalam pernyataan juga menyerukan negara anggota untuk menghindari tindakan yang bisa memperumit masalah dan menahan diri dari perselisihan yang justru mempengaruhi stabilitas dan mengupayakan penyelesaian konflik sesuai hukum internasional termasuk UNCLOS 1982.
“Kami menekankan pentingnya non-militerisasi dan pengendalian diri dalam melakukan semua aktivitas oleh penggugat dan semua negara lain, termasuk yang disebutkan dalam DOC, yang dapat semakin memperumit situasi dan meningkatkan ketegangan di Laut China Selatan,” demikian pernyataan itu.
“Mencoba peruntungan”
Direktur Eksekutif The National Maritime Institute, Siswanto Rusdi, mengatakan Indonesia sedang “mencoba peruntungannya” untuk mendorong penyelesaian pembicaraan COC.
“Masalah Laut China Selatan bukan masalah baru, pembahasan dan upaya untuk menyelesaikan selalu ada namun nggak pernah berhasil. Indonesia sebagai negara besar yang dinilai paling senior mencoba lagi mengangkat isu ini,” kata dia kepada BenarNews.
Menurut dia, selama ini, sikap China tak pernah berubah terhadap isu Laut China Selatan. Selain itu, Beijing selalu mengedepankan diplomasi bilateral untuk menegosiasikan masalah Laut China Selatan.
Sementara, ASEAN menginginkan isu ini diangkat dalam forum resmi.
“Indonesia sebagai negara dengan wilayah laut paling besar, penduduk paling besar akan menggunakan ini untuk menekan China. Ini yang menjadi modal besar Indonesia,” kata dia.
Ketegangan di Myanmar dan Taiwan
Terkait Myanmar, ASEAN juga mendesak tercapainya kemajuan signifikan dalam penerapan konsensus lima poin dan membuka jalan bagi dialog nasional yang inklusif sebagai upaya untuk menciptakan perdamaian di Myanmar.
Konsensus lima poin adalah kesepakatan yang disetujui dalam pertemuan darurat pemimpin ASEAN pada April 2021 yang bertujuan menghentikan konflik di Myanmar pasca kudeta oleh junta militer di negara tersebut.
Kelima poin konsensus itu menyerukan diakhirinya kekerasan, penyediaan bantuan kemanusiaan, penunjukan utusan khusus ASEAN, dialog dengan semua pihak, dan mediasi oleh utusan tersebut.
Siswanto menambahkan gerak ASEAN terbatas karena terganjal prinsip non-interference, sementara ASEAN tidak dalam posisi mengucilkan dan menghukum Myanmar.
“Sehingga sulit ada kemajuan. Ini jadi tantangan ASEAN ke depan, karena ketika ada konflik sesama anggota, ASEAN seperti kehilangan gigi,” kata Siswanto.
Para menteri juga menyatakan keprihatinan tentang ketegangan antara China dan Taiwan, dan memperingatkan konflik terbuka yang dapat mengancam perdamaian dan stabilitas kawasan.
“ASEAN siap untuk memainkan peran konstruktif dalam memfasilitasi dialog damai antara semua pihak, termasuk dengan memanfaatkan mekanisme yang dipimpin ASEAN untuk mengurangi ketegangan, untuk menjaga perdamaian, keamanan, dan pembangunan di wilayah yang berdekatan dengan kawasan tersebut,” kata pertanyaan tersebut,
China bulan lalu kembali mengancam untuk menginvasi Taiwan demikian laporan sejumlah kantor berita. Taiwan telah memerintah secara independen dari China sejak 1949, tetapi Beijing memandang pulau itu sebagai bagian dari wilayahnya