Indonesia, Australia Tuan Rumah Pertemuan Bahas Marawi

Bersama Malaysia, Filipina, Brunei, dan Selandia Baru, pertemuan akan membahas usaha penanggulangan ISIS.
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2017.07.27
Jakarta
170727-ID-manado-620.jpg Polisi berjaga-jaga di markas besar Kepolisian Sumatera Utara di Medan setelah dua orang yang diduga terafiliasi ISIS menikam mati seorang polisi pada 25 Juni 2017.
AFP

Indonesia dan Australia akan menjadi tuan rumah bagi perwakilan empat negara lainnya, Malaysia, Filipina, Brunei dan Selandia Baru dalam konferensi tingkat menteri, Sabtu 29 Juli 2017 di Manado, yang akan membahas masalah penanggulangan terorisme menyusul berlangsungnya konflik di Marawi.

Pertemuan ini ditargetkan untuk memfokuskan pada dampak situasi di Marawi setelah kelompok militan yang terafiliasi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) semakin berkembang di wilayah Filipina selatan itu, sejak kota tersebut menjadi ajang pertumpahan darah pada 23 Mei 2017.

“Semua negara di Asia Tenggara sepakat untuk tidak mau wilayahnya dijadikan sebagai basis baru dari ISIS,” ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto dalam pernyataannya di kantor Kemenko Polhukam, Rabu, 26 Juli 2017.

Menurut Wiranto, pertemuan Sub-Regional Meeting on Foreign Terrorist Fighters and Cross Border Terrorism itu juga akan membahas pencegahan penggunaan teknologi informasi oleh teroris dan militan.

Selain itu, dibicarakan juga cara memantau pergerakan militan melintasi batas-batas negara di sub kawasan melalui patroli maritim bersama dan mempelajari bagaimana militan asing yang ikut berperang di Marawi kembali ke negaranya masing-masing dan jalur logistik mereka.

Menurutnya, Indonesia cukup dikenal sebagai negara yang berhasil melakukan langkah-langkah efektif melawan terorisme dengan pendekatan lunak lewat pembinaan dan deradikalisasi dan pendekatan keras dengan penindakan hukum.

Draf pertemuan

Berdasarkan draft program pertemuan yang diperlihatkan kepada BeritaBenar oleh seorang sumber di pemerintahan, pertemuan akan dibuka dengan sambutan dari Wiranto dan Jaksa Agung Australia George Brandis.

Kemudian, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi akan memberikan paparan mengenai perkembangan pasca pertemuan trilateral Indonesia, Filipina dan Malaysia di Manila, 22 Juni lalu, mengenai keamanan sub kawasan.

Topik yang akan dibahas antara lain pencegahan aliran dana terorisme, penguatan kerangka hukum untuk memidanakan ekstremis dan militan yang kembali ke negara asalnya setelah ikut berperang di negara lain, dan mereka yang memberikan bantuan serta dukungan kepada militan.

Hasil penelitian yang dikeluarkan lembaga kajian Institut Analisis Kebijakan Konflik (Institute for Policy Analysis of Conflict/IPAC) pada 21 Juli lalu menyebutkan konflik di Marawi bisa menimbulkan risiko baru di Asia Tenggara.

Hal itu karena akan ada ancaman baru di Indonesia dan Malaysia dengan kembalinya militan dari kedua negara yang ikut bertempur di Mindanao, sementara Filipina akan menjadi lokasi sel- sel teroris yang terurai lebih kecil dengan kapasitas untuk melakukan kekerasan dan indoktrinasi.

Laporan itu juga memperkirakan ada sekitar 20 warga negara Indonesia yang bergabung dengan kombatan asing lain di Marawi.

Keterlibatan mereka dalam konflik di Marawi membuat kelompok militan Filipina, Malaysia, dan Indonesia mempunyai kesamaan semangat untuk mengadakan operasi bersama di Indonesia.

Menurut IPAC, mereka juga dianggap berpotensi untuk terlibat dalam aksi-aksi kekerasan di negara-negara tetangga, menyatukan serta memimpin sel-sel pro-ISIS yang ada.

Pada bulan lalu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan pengamatan TNI menunjukkan sel-sel ISIS yang tidur ada di semua provinsi di Indonesia, kecuali Papua. Kembalinya mereka dan infiltrasi kombatan asing ke wilayah Indonesia berisiko membangunkan sel-sel tersebut.

Mayjen Ganip Warsito, Panglima Kodam XIII Merdeka yang komando teritorialnya mencakup Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah, mengatakan TNI sudah meningkatkan pengawasan di pulau-pulau di Laut Sulawesi yang rawan digunakan sebagai jalur masuk ke Indonesia seperti Pulau-pulau Marore, Kaiwo, Matatuang di perairan Sulawesi Utara dan Pulau Morotai di wilayah Maluku Utara.

Harus konkrit

Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, mengatakan bahwa pertemuan Manado harus menghasilkan kesepakatan konkrit terutama terkait soal pendanaan terorisme dan kemudahan akses bagi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mendapatkan data lembaga mitranya di negara-negara lain.

Selain itu, katanya, negara-negara peserta juga perlu lebih memperjelas mekanisme pertukaran informasi terkait pergerakan teroris dari satu negara ke negara lain.

“Misalnya bila ada informasi mengenai warga negara Indonesia yang masuk Marawi atau sebaliknya, apakah ini bisa langsung dibagi antar lembaga-lembaga yang berwenang menangani terorisme di tiap negara, atau baru akan dibagi bila ada permintaan,” ujar Ridlwan kepada BeritaBenar, Kamis.

Selain itu, tambahnya, perlu ada kerja sama teknis antar lembaga yang menangani terorisme seperti pelatihan bersama.

"Masing-masing negara mempunyai pengalaman yang berbeda, di sini kesempatan untuk saling mengisi,” ujar Ridlwan.

Terkait keterlibatan Selandia Baru dan Australia, Ridlwan memandang kedua negara itu mempunyai kepentingan untuk menjaga masuknya teroris dari Asia Tenggara ke wilayah mereka.

“Ini soal sterilisasi wilayah mereka dari masuknya teroris,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.