Indonesia kembali wajibkan produsen sawit pasok kebutuhan domestik

Pengamat menyangsikan penerapan kewajiban penjualan dalam negeri akan efektif karena melawan mekanisme pasar.
Dandy Koswaraputra
2022.05.20
Jakarta
Indonesia kembali wajibkan produsen sawit pasok kebutuhan domestik Membawa tandan buah sawit segar, masyarakat yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia melakukan aksi unjuk rasa mengecam kebijakan pelarangan ekspor sawit oleh pemerintah, di Jakarta, 17 Mei 2022.
AFP

Pemerintah Indonesia akan menerapkan kembali kebijakan kewajiban memasok kebutuhan domestik minyak sawit setelah Presiden Joko “Jokowi” Widodo membatalkan larangan ekspor komoditas tersebut, kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Jumat (20/5).

Sementara itu, Malaysia sedang mempertimbangkan untuk memangkas sementara pajak ekspor minyak sawit untuk memanfaatkan permintaan yang tinggi di tengah kekurangan global minyak nabati.

Airlangga mengatakan bahwa pemerintah akan memberlakukan domestic market obligation (DMO) dan harga tertinggi penjualan dalam negeri untuk produk sawit kepada produsen untuk memastikan 10 juta ton minyak goreng tersedia untuk kebutuhan rumah tangga.

Menurut Airlangga, Kementerian Perdagangan akan menetapkan jumlah besaran DMO yang harus dipenuhi oleh masing-masing produsen serta mekanisme untuk memproduksi dan mendistribusikan minyak goreng ke masyarakat secara merata.

“Sekali lagi saya tegaskan bahwa ini untuk menjamin ketersediaan bahan baku minyak goreng dan menjaga harga TBS (tandan buah segar) di petani kelapa sawit dengan harga yang wajar,” kata Menko Airlangga dalam keterangan tertulis yang diterima BenarNews, Jumat.

Produsen, tambah dia, yang tidak memenuhi kewajiban DMO ataupun tidak mendistribusikan kepada masyarakat yang ditetapkan oleh pemerintah dikenakan sanksi sesuai dengan aturan yang ditentukan.

“Ketersediaan pasokan dan penyaluran minyak goreng terus menerus dimonitor...” kata dia, menambahkan bahwa pemerintah juga akan menerbitkan kembali pengaturan pasokan dan pengendalian harga yang secara teknis akan diatur lebih lanjut oleh Kementerian Perdagangan.

Presiden Jokowi melarang ekspor sawit dan beragam produk turunannya sejak 28 April lalu menyusul kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri.

Kebijakan pelarangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) tersebut akhirnya dicabut mulai Senin (23/5) setelah tiga pekan diterapkan menyusul unjuk rasa ratusan petani sawit di Jakarta dan beberapa kota lainnya di Indonesia. 

Menurut Airlangga, sejak kebijakan pelarangan ekspor sementara seluruh produk CPO dan turunannya diterapkan pada April lalu, pasokan minyak goreng curah pada periode tersebut telah mencapai 211.638 ton per bulan atau melebihi kebutuhan bulanan nasional yaitu sebesar 194.634 ton.

Untuk akselerasi percepatan distribusi minyak goreng dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp14.000 per liter, pemerintah memberikan penugasan kepada Perum BULOG sebagai pengelola cadangan minyak goreng sebesar 10% dari total kebutuhan minyak goreng dalam bentuk kemasan sederhana, kata Airlangga.

Airlangga juga menjelaskan bahwa untuk pelaksanaan teknis pencabutan pelarangan dan pembukaan kembali ekspor akan diatur dan dikoordinasikan secara teknis oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan serta penyesuaian Peraturan Menteri Perindustrian agar pelaksanaan pembukaan ekspor sudah dapat mulai berjalan pada Senin mendatang.

“Tak realistis

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Fadhil Hasan mengatakan kebijakan penerapan kembali DMO dan DPO (domestic price obligation) ini dalam industri tidak akan efektif dan berjalan sesuai harapan pemerintah karena melawan mekanisme pasar.

“Kebijakan ini banyak tidak jelasnya soal mekanisme apa lagi yang akan dilakukan (pemerintah),” kata Fadhil, yang juga ketua bidang luar negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), kepada BenarNews.

Kebijakan yang tidak jelas tersebut, kata Fadhil, menyangkut sasaran dari regulasi ini apakah untuk semua jenis produk komoditas minyak goreng atau hanya terbatas pada produk curah mengingat penerapan aturan kewajiban memasok kebutuhan domestik 20% sebelumnya juga tidak efektif.

“Yang saya dengar nanti perusahaan wajib pasok dalam negeri 10% khusus untuk minyak goreng curah,” kata dia seraya menambahkan bahwa “memaksa” produsen sawit untuk memastikan 10 juta ton minyak goreng tersedia juga terlalu ambisius.

Menurut Fadhil, kebijakan yang melawan pasar seperti ini bukan hal yang baru dilakukan pemerintah dan hasilnya tidak pernah efektif bahkan justru kontra produktif karena memunculkan penyelundupan komoditas tersebut.

Dia juga mempertanyakan pemerintah apakah kebijakan bantuan langsung tunai 100.000 rupiah sebagai kompensasi dari kenaikan harga minyak goreng masih akan diberlakukan atau tidak.

“Masih banyak yang belum dilengkapi,” kata Fadhil, menyarankan bantuan langsung tunai (BLT) justru seharusnya ditambah karena harga minyak goreng akan jauh di atas level yang ditentukan pemerintah.

Fadhil menganggap kebijakan yang diambil oleh Jokowi semata dilatari oleh kepentingan politik agar terkesan mengakomodasi suara rakyat ketika pemerintah tidak mampu mengendalikan harga dan kecukupan pasokan minyak goreng dalam negeri.

“Inı kebijakan diambil karena panik karena mungkin pemerintah tidak mau dianggap diatur oleh oligarki,” kata dia seraya sudah memprediksi bahwa pemerintah hanya mampu bertahan beberapa pekan dalam menjalankan larangan ekspor CPO.

Fadhil menyarankan agar pemerintah realistis dengan membiarkan perdagangan CPO ini diserahkan kepada mekanisme pasar lalu pemerintah mengendalikannya dengan memberi BLT bagi masyarakat tidak mampu dan melakukan operasi pasar oleh Perum BULOG. 

Malaysia pertimbangkan potong pajak ekspor

Sementara dari negara produsen sawit terbesar kedua, Kementerian Perkebunan, Industri dan Komoditas Malaysia (MPIC) mengatakan mereka sedang membahas dengan Kementerian Keuangan untuk kemungkinan memangkas pajak ekspor minyak sawit Malaysia menjadi 4-6% dari 8%.

Pada saat yang sama pemerintah juga mempertimbangkan memperlambat implementasi mandat biodiesel Malaysia untuk membantu memenuhi permintaan global di tengah kelangkaan minyak nabati, kata MPIC.

“Pengurangan sementara yang diusulkan ini sedang menunggu keputusan dan kami percaya bahwa eksportir Malaysia akan sangat diuntungkan dalam jangka pendek karena pembeli global akan membeli minyak sawit Malaysia,” kata MPIC dalam pernyataan tertulis.

Sementara itu, MPIC juga melaporkan bahwa stok CPO meningkat untuk pertama kalinya sejak Oktober 2021 sebesar 11,5% secara bulanan menjadi 1,64 juta ton pada April.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.