Rencana investasi kemitraan transisi energi ditunda hingga akhir 2023
2023.08.16
Jakarta
Diperbarui pada Kamis, 16 Agustus 2023, 21:00 WIB
Rencana komprehensif guna mempercepat transisi Indonesia ke energi bersih melalui kemitraan internasional senilai $20 miliar (Rp306 triliun) telah disampaikan kepada pemerintah di Jakarta pada hari Rabu, namun peluncurannya ditunda hingga akhir 2023, kata sekretariat kemitraan tersebut.
Kemitraan Transisi Energi Adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diumumkan tahun lalu pada KTT G20 di Bali dan diklaim sebagai pendanaan iklim terbesar di dunia itu, telah menyerahkan rencana kebijakan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) kepada pemerintah hari ini, namun peluncurannya ditunda dengan alasan Sekretariat masih akan menambahkan data baru.
"Kami menyambut penyerahan dokumen CIPP pada pemerintah Indonesia. Kami memahami bahwa ini merupakan upaya dunia untuk mendukung Indonesia dalam mengatasi tantangan yang kompleks," ujar Deputi Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin melalui keterangan resmi pada Rabu (16/8).
Rachmat mengatakan kementeriannya akan mengkaji dan memastikan bahwa isi dokumen CIPP selaras dengan prioritas Indonesia dalam transisi energi dan sesuai dengan apa yang sudah disepakati dalam pernyataan bersama.
Rachmat beserta pihaknya menghargai kerja keras yang telah dilakukan banyak pihak dalam mendukung upaya penyusunan dokumen CIPP.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana mengatakan tenggat waktu yang baru juga memberikan kesempatan untuk melakukan konsultasi publik yang baik sebelum finalisasi dokumen CIPP.
"Masyarakat Indonesia akan mendapatkan kesempatan untuk mengulas dokumen CIPP secara utuh dan memberikan masukan dan tanggapan untuk dipertimbangkan dalam revisi final dokumen CIPP," ujar Dadan melalui keterangan resmi pada Rabu.
Dia mengatakan, setelah proses publik ini dirampungkan, maka dokumen CIPP dapat diluncurkan secara bersama oleh Pemerintah Indonesia dan negara maju yang tergabung dalam International Partners Group (IPG) jelang akhir 2023.
Negara-negara yang tergabung dalam IPG antara lain Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Jerman, Norwegia, Italia, serta Inggris dan Irlandia. Kemitraan ini juga termasuk Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) Working Group.
Pernyataan bersama JETP disepakati di sela-sela KTT G20 lalu dan dibentuk sebagai upaya menegakkan keadilan global dimana negara maju ikut mendukung akselerasi transisi energi di negara berkembang melalui kolaborasi pemerintah, pelaku usaha, masyarakat sipil, pakar, dan lembaga keuangan, demikian statamen Kemitraan.
Dokumen CIPP juga telah disepakati dalam pernyataan bersama sebagai dokumen teknis yang akan menjadi panduan pelaksanaan Kemitraan ini.
Kepala Sekretariat JETP Edo Mahendra mengatakan draf CIPP merupakan hasil dari proses inklusif yang melibatkan banyak pemangku kepentingan.
Mereka terlibat dalam proses diskusi, pembahasan, pembuatan modeling, serta menganalisis, menulis dan mengedit secara intensif selama lebih dari seratus hari.
"Individu dan organisasi ini juga termasuk mereka yang memimpin atau turut serta dalam kelompok kerja dan juga termasuk mereka yang terlibat dalam berbagai konsultasi yang diadakan dalam proses penyusunan CIPP ini," ujar Edo.
Jangan terlalu berharap
Pengamat energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan Indonesia sebaiknya tidak terlalu berharap pada dana JETP, karena ini komitmen lama yang tidak pernah terwujud.
Dana transisi energi ini, menurut dia, adalah hasil salah satu komitmen Perjanjian Paris yang mewajibkan negara-negara maju membantu dana, teknologi dan kapasitas negara berkembang menuju target emisi nol karbon.
Indonesia sendiri berulang kali menagih dana tersebut termasuk pada saat forum G20 di Bali itu. Dana JETP ini menurut Radhi juga belum jelas bentuknya, apakah hibah, pinjaman atau pinjaman ringan.
"Dana ini malah semakin tidak jelas, jauh panggang dari api. Maka pemerintah harus mencari alternatif pendanaan, misalnya dengan investor untuk mengembangkan energi baru terbarukan," ujar dia kepada BenarNews.
Menurut Radhi, dana ini sebaiknya digunakan untuk mengembangkan energi baru terbarukan.
"Prioritas dana ini seharusnya untuk mengganti pembangkit-pembangkit batubara yang pensiun dini, harus ada gantinya. Ini untuk mengubah kerusakan lingkungan agar jadi lebih baik dengan migrasi menggunakan energi baru terbarukan," ujar dia.
Butuh transparansi
Ekonom dan Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menekankan perlunya transparansi dan keadilan dari skema pendanaan JETP ini.
"Salah satu yang paling penting adalah transparansi. Tanpa transparansi yang intens dari skema pendanaan, maka transisi energi yang adil tidak mungkin terjadi," ujar dia kepada BenarNews.
Menurut dia, Indonesia terbiasa dengan skema pembangunan top-down tanpa pelibatan publik secara bermakna, hingga akhirnya masyarakat selalu jadi korban, kehilangan penghasilan, bahkan kehilangan tempat tinggal.
"Dengan teknologi komunikasi sekarang, idealnya ada keterlibatan publik, dari yang paling sederhana menggunakan website untuk memberikan akses terhadap draf penyusunan CIPP JETP. Satu-satunya alasan tidak membuka akses adalah pemerintah memang tidak punya political will," ujar Bhima.
Menurut dia, tanpa transparansi, proyek-proyek investasi akan berisiko besar mengancam masyarakat lokal dan masyarakat rentan. Transisi yang benar-benar adil harus mempertimbangkan aspek ketenagakerjaan, aspek gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI), dan menangani legacy impact dari segala proyek energi.
Sementara itu, lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan 350 Indonesia, meminta dana JETP lebih diprioritaskan untuk komunitas daripada pebisnis konglomerat di bidang energi.
"Kami tidak mendengar satu informasi pun dari pemerintah bahwa ada porsi pendanaan dari JETP yang akan diberikan ke komunitas untuk mendukung pembangunan listrik berbasis energi terbarukan," ujar juru kampanye 350 Indonesia Suriadi Darmoko dalam diskusi daring "Ke Mana Uang JETP Harus Dialirkan?" Selasa.
Menurut dia, aliran dana untuk masyarakat penting untuk meningkatkan adaptasi terhadap krisis iklim. Selain itu, dana JETP juga dapat memperkuat kemandirian energi untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat
"Ini dapat memicu pengembangan ekonomi lokal," jelas Suriadi yang menambahkan sebanyak 4.400 desa di Indonesia belum teraliri listrik.
Nazarudin Latif berkontribusi dalam laporan ini.