Jokowi bahas Laut China Selatan selama kunjungan di Hanoi
2024.01.12
Presiden Indonesia Joko Widodo dan Presiden Vietnam Vo Van Thuong sepakat pada hari Jumat untuk mendorong penyelesaian Kode Etik yang "substansial dan efektif" untuk Laut China Selatan, di tengah meningkatnya ketegangan di wilayah tersebut.
Jokowi berada di Hanoi sebagai bagian dari kunjungannya ke tiga negara Asia Tenggara - Filipina, Vietnam, dan Brunei. Kantor berita Vietnam melaporkan bahwa Jokowi dan Presiden Thuong mengadakan pertemuan untuk membahas kemitraan strategis antara kedua negara.
“Mereka menegaskan kembali pentingnya perdamaian, stabilitas, keselamatan, keamanan, dan kebebasan navigasi dan penerbangan di Laut Timur,” kata media pemerintah Voice of Vietnam (VOV), merujuk pada Laut China Selatan dengan nama Vietnamnya.
“Mereka berjanji untuk melaksanakan Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut Timur (DOC) secara penuh dan efektif, dan mendorong negosiasi untuk mencapai Kode Etik di Laut Timur (COC) yang substantif dan efektif sejalan dengan hukum internasional," demikian VOV.
VOV juga menambahkan bahwa Vietnam dan Indonesia akan bekerjasama untuk menjaga kesatuan dan solidaritas ASEAN, serta pendekatan bersama blok Asia Tenggara dalam menangani isu maritim.
China dan ASEAN menyetujui DOC pada tahun 2002, tetapi tidak banyak kemajuan pada COC yang mengikat secara hukum karena risiko konflik dapat meningkat.
Sebelum tiba di Hanoi, saat mengunjungi Manila (9-11 Januari), Jokowi juga membahas Laut China Selatan dengan Presiden Ferdinand Marcos Jr. dan "menegaskan keteguhan kami pada universalitas UNCLOS, yang menetapkan kerangka hukum yang mengatur semua aktivitas di lautan dan di laut," menurut pernyataan resmi dari Istana Malacanang.
Manila menuduh Beijing telah meningkatkan agresi di perairan yang merupakan bagian yurisdiksi Filipina, atau Laut Filipina Barat. China membantah tuduhan tersebut dan menyalahkan Filipina melakukan "provokasi."
Kerjasama maritim
Menyikapi perkembangan terbaru di Laut China Selatan, "pada 30 Desember 2023, menteri luar negeri ASEAN mengeluarkan pernyataan bersama tentang menjaga dan mempromosikan stabilitas di ranah maritim Asia Tenggara," kata Ristian Atriandi Supriyanto, dosen hubungan internasional di Universitas Indonesia.
"Sesuai dengan pernyataan bersama ini, (selama kunjungan Jokowi) kedua belah pihak - Indonesia dan Vietnam - akan setuju untuk menghindari tindakan yang dapat lebih mempersulit situasi," kata Supriyanto, yang juga anggota lembaga riset Forum Sinologi Indonesia.
Tetapi menurut Supriyanto, banyak dari hal tersebut yang tergantung pada China yang "tidak ingin negara-negara ASEAN yang mengklaim wilayah di Laut China Selatan hanya berdasarkan UNCLOS."
"Menurut pandangan Beijing, satu-satunya cara untuk mengelola dan menyelesaikan sengketa adalah dengan bernegosiasi langsung dengan China. Selain dari itu, China melihatnya sebagai kontraproduktif, bahkan provokatif," katanya.
Enam pihak - Brunei, Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan, dan China - mengklaim sebagian dari Laut China Selatan. Klaim Beijing, yang disebut sebagai sembilan garis putus-putus, mengelilingi hampir 90% laut tersebut.
Indonesia bukanlah negara pengklaim di wilayah laut yang lebih luas, tetapi klaim zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia tumpang tindih dengan Malaysia dan Vietnam, serta dengan “sembilan garis putus-putus” China.
"Indonesia juga agak berhati-hati dalam pendekatannya terhadap seluruh sengketa di Laut China Selatan," kata Nguyen The Phuong, seorang analis keamanan Vietnam.
"Mereka memiliki kemampuan material yang kuat, serta dianggap sebagai pemimpin de facto ASEAN, tetapi sebagai negara bukan pengklaim membuat mereka ragu-ragu untuk mendesak keras pada masalah ini," kata Phuong, yang saat ini sedang belajar untuk meraih gelar PhD di UNSW Canberra di Akademi Angkatan Pertahanan Australia.
Ini tidak berarti Vietnam dan Indonesia tidak dapat "melanjutkan kerjasama dalam penegakan hukum maritim baik secara bilateral maupun multilateral," menurut Phoung.
Angkatan Laut Vietnam dan Indonesia mencapai kesepakatan tentang prosedur pelatihan bersama pada tahun 2021, dan kepolisian perairan kedua negara pada akhir 2022 juga menandatangani nota kesepahaman tentang kerjasama keamanan.
"Mungkin akan ada perjanjian lain tentang kerjasama pertahanan, terutama industri pertahanan," kata Phuong.
Kesepakatan mengenai batas-batas
Pada tahun 2023, dimana Indonesia mendapat giliran sebagai ketua ASEAN, mengorganisir Latihan Solidaritas ASEAN (ASEX 23) selama lima hari - latihan bersama angkatan laut ASEAN yang berfokus pada tanggapan bencana kemanusiaan.
Ristian Atriandi Supriyanto dari Universitas Indonesia, yang mengusulkan “patroli terkoordinasi” ASEAN di Laut China Selatan, mengatakan blok tersebut membutuhkan "inisiatif baru" ketika berhadapan dengan klaim berlebihan China. "Faktanya adalah negara-negara telah mencoba bernegosiasi dengan China selama beberapa dekade tanpa hasil," katanya, "China tidak mundur dari sembilan garis putus-putusnya, yang tidak diakui oleh negara lain termasuk Vietnam dan Indonesia."
Patroli terkoordinasi bisa menjadi salah satu dari inisiatif tersebut, yang bisa dimulai dengan dua negara ASEAN, seperti Indonesia dan Vietnam, sebelum diperluas ke negara lain," kata Supriyanto kepada RFA.
Namun, analis Vietnam Nguyen The Phuong meragukan ide tersebut. "Vietnam sampai sekarang sangat enggan untuk bergabung dalam patroli bersama dengan negara-negara lain, jadi saya pikir pendekatan itu tidak akan berubah dalam waktu dekat," katanya, menambahkan bahwa kedua negara masih bisa berkerjasama dalam isu penting lainnya seperti melawan penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU).
Pada hari Jumat, Jokowi dan Thuong menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman tentang kerjasama perikanan.
>>> Ingin mengikuti berita Pemilu 2024? Silakan klik di sini.
Jakarta telah lama mengeluhkan aktivitas ilegal oleh kapal penangkap ikan Vietnam di perairan sekitar Kepulauan Natuna di Laut China Selatan di mana klaim kedua negara tumpang tindih.
Pada Desember 2022, setelah 12 tahun negosiasi, Indonesia dan Vietnam akhirnya mencapai kesepakatan mengenai batas zona ekonomi eksklusif mereka. Namun hingga sekarang kedua negara masih dalam proses finalisasi pengaturan pelaksanaan dan batas demarkasi yang disepakati belum diumumkan.
"Jika kesepakatan itu benar-benar final, maka kedua belah pihak seharusnya mempublikasikan peta tersebut," kata Supriyanto.
"Saya kira mereka belum mempublikasikannya karena khawatir memprovokasi China seperti yang terjadi saat pengajuan bersama Malaysia-Vietnam atas landas kontinen pada Mei 2009."
Hanya satu hari setelah pengajuan bersama Malaysia dan Vietnam ke PBB, China mengajukan komunikasi resmi yang menyatakan bahwa pengajuan bersama itu secara serius melanggar kedaulatan, hak kedaulatan, dan yurisdiksi China di Laut China Selatan.
"Dalam hal ini, tidak mempublikasikan peta adalah salah satu cara untuk menghindari tindakan yang dapat lebih mempersulit situasi," kata Supriyanto.
"Namun, menurut pandangan saya, hal ini langsung masuk ke pola pikir China untuk tetap merendah dan bermain halus sementara Beijing membujuk dan menekan negara pengklaim dan bukan pengklaim lainnya untuk menyesuaikan diri dengan sembilan garis putus-putusnya," tambahnya.
Disunting oleh Mike Firn dan Elaine Chan.