Jokowi Lantik Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK

ICW: publik pesimis akan nasib KPK dengan adanya dewan pengawas yang dikhawatirkan membatasi independensi lembaga antirasuah itu
Rina Chadijah
2019.12.20
Jakarta
191220_ID_kpk_1000.jpg Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru (kiri-kanan) Firli Bahuri, Nawawi Pomolango, Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron, dan Alexander Marwata melakukan foto bersama usai dilantik Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, 20 Desember 2019.
Dok. Biro Pers Istana

Presiden Joko “Jokowi” Widodo melantik pimpinan dan dewan pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masa jabatan 2019-2023, di Istana Negara, Jakarta, Jumat, 20 Desember 2019, yang diangkat berdasarkan Undang-Undang KPK yang baru yang menurut pegiat antirasuah akan melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Pejabat Polri, Firli Bahuri, dilantik sebagai pimpinan KPK. Firli yang pernah mendapatkan sanksi etik saat menjabat Deputi Penindakan KPK (2018-2019), lolos dalam uji kelayakan dan kepatutan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pimpinan merangkap anggota lembaga antirasuah itu.

Mendampingi Firli, dilantik empat wakil pimpinan merangkap anggota KPK yaitu Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango, dan Nurul Ghufron.

Selain melantik komisioner KPK, Presiden juga melantik lima dewan pengawas KPK yang dipilihnya, sesuai UU KPK hasil revisi – yang disahkan DPR di tengah penolakan berbagai pihak pada 17 September lalu,

Lima pengisi kursi Dewan Pengawas KPK itu adalah mantan jaksa dan sempat menjadi pelaksana tugas  pimpinan KPK pada 6 Oktober 2009, Tumpak Hatorangan Panggabean sebagai Ketua, dan mantan Hakim Mahkamah Agung, Artidjo Alkostar.

Selain itu ada mantan hakim Tipikor dan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang, NTT, Albertina Ho, peneliti politik senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris, dan mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Harjono, sebagai anggota.

“Beliau adalah orang-orang baik, memiliki kapabilitas, memiliki integritas, memiliki kapasitas dalam hal-hal yang berkaitan dengan wilayah itu,” kata Jokowi usai pelantikan.

Pembentukan Dewan Pengawas KPK - didasarkan pada revisi UU KPK yang disahkan pertengahan September tersebut, dinilai sebagian masyarakat memperlemah lembaga antirasuah itu sehingga memicu protes besar-besaran di berbagai kota di Indonesia. Dimotori para mahasiswa, ribuan pengunjuk rasa berdemonstrasi menuntut dikeluarkannya Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK.

Lima pengunjuk rasa tewas dan ratusan luka-luka, sementara Perppu KPK tidak pernah terwujud.

Pesimis

Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebut publik pesimis akan nasib KPK ke depan.

“Lima pimpinan KPK baru tersebut sarat persoalan masa lalu dan konsep dewan pengawas yang diprediksi menganggu independensi KPK," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam keterangan tertulis yang diterima BeritaBenar.

Menurut Kurnia, sejak awal proses pemilihan pimpinan KPK menimbulkan kontroversi di tengah publik, mulai dari pembentukan panitia seleksi yang diduga dekat dengan Polri, tidak mengakomodir suara publik, hingga mengabaikan aspek integritas saat penjaringan pimpinan KPK.

“Salah satu di antara pimpinan KPK tersebut diduga pernah melanggar kode etik. Selain itu juga tidak patuh dalam melaporkan harta kekayaan pada KPK,” katanya.

Terkait dewan pengawas, ICW menolak keseluruhan konsep sebagaimana tertera dalam UU KPK baru sebab sebagai lembaga independen, KPK sebenarnya sudah punya deputi pengawas internal dan pengaduan masyarakat KPK.

Bahkan, kedeputian itu pernah menjatuhkan sanksi etik pada dua pimpinan KPK, yakni Abraham Samad dan Saut Situmorang.

"Lagi pula dalam UU KPK yang lama sudah ditegaskan bahwa KPK diawasi oleh beberapa lembaga, misalnya BPK, DPR, dan presiden. Lalu pengawasan apa lagi yang diinginkan?" ujarnya, menambahkan kehadiran dewan pengawas dikhawatirkan sebagai bentuk intervensi pemerintah karena dewan pengawas dipilih presiden.

“Bagaimana mungkin tindakan pro-justicia yang dilakukan KPK harus meminta izin dari Dewan Pengawas KPK, sementara di saat yang sama justru kewenangan pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut justru dicabut,” sebutnya.

Laode Muhammad Syarif, pimpinan KPK demisioner, mendukung orang-orang yang dipilih Jokowi sebagai dewan pengawas meski tetap mengkritik keberadaannya.

"Yang jadi polemik dari awal bukan soal orangnya tapi tugasnya. Dewas (Dewan Pengawas) itu nggak mengawasi yang sekarang tapi menyetujui. Ini agak beda dengan fungsi Dewas lain. Harusnya kan, mengawasi," katanya kepada wartawan.

Seorang polisi mengawal unjuk rasa mendukung pimpinan KPK yang baru di halaman gedung KPK, Jakarta, 20 Desember 2019. (Rina Chadijah/BeritaBenar)
Seorang polisi mengawal unjuk rasa mendukung pimpinan KPK yang baru di halaman gedung KPK, Jakarta, 20 Desember 2019. (Rina Chadijah/BeritaBenar)

Karangan bunga

Sebelum pelantikan para komisioner dan serah terima jabatan KPK dilaksanakan, gedung Merah Putih KPK di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, dipenuhi karangan bunga ucapan selamat yang mengular sepanjang sekitar 500 meter.

Sejak pagi, aksi unjuk rasa massa silih berganti. Para aktivis ICW melakukan aksi teatrikal menolak pimpinan KPK yang dilantik.

Mereka membawa “dukun” dalam aksi teatrikal itu, sebagai simbol untuk memanggil kembali ruh KPK yang telah mati setelah revisi UU KPK.

Pada sore hari, puluhan orang yang mengatasnamakan mahasiswa dan masyarakat pendukung KPK menggelar aksi menolak kelompok yang menentang pelantikan Firli Bahuri.

“Kami mendukung Firli Bahuri dan Komisoner KPK lain untuk memperbaiki KPK dari orang-orang yang ingin mengacaukan negara. Internal KPK harus bersih dari orang-orang yang munafik,” ujar seorang demonstran.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.