Jokowi Dinilai Terjebak Dilema Perppu UU KPK

Pakar hukum dan sebagian masyarakat inginkan Jokowi keluarkan Perppu pembatalan revisi UU KPK, tapi wapres dan parpol menolak.
Rina Chadijah
2019.10.02
Jakarta
191002_ID_kpk_1000.jpg Pengunjuk rasa membawa simbol nisan bertuliskan RIP KPK sebagai lambang matinya lembaga anti rasuah itu dalam protes atas pengesahan revisi undang-undang yang dinilai melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi itu, di Jakarta, 1 Oktober 2019.
AFP

Presiden Joko “Jokowi” Widodo diminta sejumlah pihak segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah memicu gelombang aksi unjuk rasa di berbagai daerah, tapi partai politik pendukungnya menolak.

Peneliti politik Yayasan Lingkar Madani, Ray Rangkuti mengatakan, Perppu pembatalan revisi UU KPK bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan DPR setelah disahkannya aturan yang dinilai melemahkan lembaga anti-rasuah itu.

Perppu UU KPK, menurutnya, juga akan dapat meredam protes massal yang dilancarkan mahasiswa, aktivis serta masyarakat dan di beberapa daerah berakhir ricuh, pekan lalu.

“Kalau terus berlarut-larut situasi politik semakin tidak stabil dan potensi ditunggangi kepentingan lain makin besar. Lewat Perppu, Jokowi bisa mengembalikan kepercayaan publik bahwa pemerintahnya mendukung pemberantasan korupsi,” kata Ray kepada BeritaBenar, Rabu, 2 Oktober 2019.

Saat menerima sejumlah tokoh nasional dan budayawan di Istana Negara, 26 September lalu, Jokowi menyatakan akan mempertimbangkan untuk mengeluarkan Perppu KPK.

Namun, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebutkan penerbitan Perppu tidak tepat karena revisi UU KPK dibahas bersama DPR dan pemerintah.

Apalagi, ada masyarakat yang mengajukan gugatan pembatalan UU KPK yang baru itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Kalla juga tak begitu yakin kalau Perppu KPK dikeluarkan akan meredam gelojak politik.

“Kan baru saja Presiden teken berlaku, masak langsung presiden sendiri menarik itu. Di mana kita mau tempatkan kewibawaan pemerintah? Baru meneken berlaku, lalu satu minggu kemudian ditarik lagi. Logikanya di mana?,” kata Wapres kepada wartawan, Selasa.

Namun, menurut Ray, syarat untuk mengeluarkan Perppu terpenuhi karena banyaknya penolakan terhadap revisi UU KPK yang disebut akan melemahkan lembaga antirasuah, ditambah lagi dua mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara, tewas tertembak saat aksi unjuk rasa.

“Sekarang bolanya ada di Jokowi apakah mendengarkan permintaan rakyat atau tetap tunduk pada kemauan partai politik yang mungkin saja punya kepentingan besar di KPK,” ujarnya.

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti mengingatkan bahwa Perppu yang dikeluarkan pemerintah nantinya juga harus mendapatkan persetujuan DPR.

“Kalau nanti ditolak DPR, kelihatan jelas bahwa siapa sebenarnya yang tidak mendukung pemberantasan korupsi. Saya kira Presiden sedang mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan itu,” katanya saat dihubungi.

Hingga kini, Presiden Jokowi belum menandatangani Undang-undang KPK yang disahkan DPR, pada 17 September lalu.

Namun menurut ketentuan, sebuah UU akan tetap berlaku meski tidak ditandatangani presiden, setelah 30 hari disahkan DPR.

Menurut Bivitri, jika UU KPK baru berlaku, akan terjadi ketidakpastian hukum dalam upaya pemberantasan korupsi sebab kewenangan Komisioner KPK memberikan izin penyidikan, penyadapan dan lain-lain akan terhambat.

“Karena itu saya katakan Perppu itu penting segera dikeluarkan. Jika tidak KPK akan kehilangan seluruh wewenangnya untuk menindak kasus korupsi,” katanya.

Belum bersikap

Presiden Jokowi masih enggan menanggapi kepastian apakah dia akan mengeluarkan Perppu UU KPK atau tidak.

Ditanya wartawan saat mengikuti perayaan Hari Batik Nasional, dia hanya berujar, "Ini kan kita sedang bicara tentang batik."

Menko Maritim, Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan, Jokowi tidak bisa serta merta menerbitkan Perppu UU KPK karena saat ini sedang diproses MK.

"Enggak bisa lagi terbitkan Perpu (KPK) karena sudah ditangani yudikatif dan diproses judicial review," katanya seperti dikutip dari laman Tempo.co.

Sebelumnya pada Senin, Jokowi telah menerima pimpinan partai politik pengusungnya di Istana Bogor, Jawa Barat, yang salah satu materi dibahas soal rencana penerbitan Perppu pembatalan revisi UU KPK.

Dalam pertemuan itu, mereka menyarankan agar penerbitan Perppu KPK menjadi jalan terakhir untuk ditempuh Jokowi.

"Kami tidak beri masukan secara spesifik. Hanya tentu partai politik menyampaikan bahwa opsi Perppu harus menjadi opsi paling terakhir, karena ada opsi lainnya yang mesti dieksplor juga," kata Sekjen Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani, kepada wartawan.

Menurutnya, pilihan lain untuk menyelesaikan polemik itu adalah legislative review dan uji materi di MK. Bila menempuh mekanisme legislative review, pemerintah dan DPR akan kembali membahas UU KPK hasil revisi dan mengganti pasal-pasal sesuai aspirasi masyarakat.

Arsul berharap Jokowi mendengar aspirasi dari Parpol koalisi dalam menyikapi polemik UU KPK.

"Harus ingat juga Parpol merepresentasikan, mungkin suara Parpol yang ada di Pak Jokowi 60 persen dari seluruh jumlah pemilih. Berarti 100 jutaan. Itu signifikan," katanya.

Ketua umum Partai Nasional Demokrat, Surya Paloh menilai akan ada masalah apabila Perppu KPK diterbitkan di tengah proses judicial review di MK dan jika salah langkah, Jokowi bisa dimakzulkan.

"Salah-salah Presiden bisa di-impeach karena itu. Salah-salah lho. Ini harus ditanya ahli hukum tata negara. Coba deh, ini pasti ada pemikiran-pemikiran baru," ujarnya kepada wartawan.

Sekretaris Kabinet, Pramono Anung mengatakan rencana mengeluarkan Perppu KPK sepenuhnya berada di tangan Jokowi.

"Yang jelas urusan ini hanya Bapak Presiden yang tahu dan tidak perlu dimultitafsirkan," katanya saat ditanya wartawan.

Demo berlanjut

Sementara itu, aksi demo menolak revisi UU KPK masih berlanjut hingga Rabu, meski tak seramai pekan lalu.

Ratusan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMMI), dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) menggelar aksi di sekitar jalan Merdeka Barat, meminta Jokowi segera mengesahkan Perppu KPK.

Tapi, tak jauh dari lokasi unjuk rasa itu, berkumpul puluhan perempuan yang membawa spanduk menentang rencana Jokowi menggeluarkan Perppu. Mereka menamakan diri sebagai Komando Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (KOMPAK).

Aparat kepolisian disiagakan di antara kedua massa pengunjuk rasa, yang berlangsung tertib.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.