Insiden Papua, Jokowi: Tindak Tegas Rasisme

Menko Polhukam mengatakan Papua adalah anak emas terbukti dari prioritas infrastruktur dan anggaran APBN yang besar.
Rina Chadijah & Yuliana Lantipo
2019.08.22
Jakarta & Jayapura
190822_ID_Papua_1000.jpg Aktivis Papua berhadapan dengan polisi dan tentara saat mereka melakukan demonstrasi di dekat Istana Negara di Jakarta, 22 Agustus 2019.
AP

Presiden Joko “Jokowi” Widodo meminta aparat bewenang untuk menindak tegas oknum pelaku rasisme terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur yang memicu kerusuhan di sejumlah wilayah di Papua dan Papua Barat.

“Saya juga telah memerintahkan Kapolri untuk menindak secara hukum tindakan diskriminasi ras dan etnis yang rasis secara tegas,” ujarnya di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis, 22 Agustus 2019.

Jokowi juga menyebutkan kondisi di kedua provinsi paling timur Indonesia itu telah berangsur normal, meski protes masih berlangsung, termasuk di Jakarta.

“Alhamdulillah situasi sudah berjalan normal kembali, permintaan maaf sudah dilakukan dan ini menunjukkan kebesaran hati kita bersama untuk saling menghormati, untuk saling menghargai sebagai saudara sebangsa dan setanah air,” katanya.

Jokowi telah memerintahkan Menteri Politik Hukum dan Keamanan, Panglima TNI dan Kapolri untuk melihat langdung situasi di Papua Barat dan Papua.

Ia mengatakan dalam waktu dekat akan mengundang tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama Papua ke Istana Negara, Jakarta.

“Ini tolong digarisbawahi, minggu depan saya akan mengundang para tokoh Papua dan Papua Barat untuk bicara mengenai kesejahteraan di Tanah Papua,” katanya.

Aktivis Papua mewarnai muka mereka dengan warna lambang Bintang Kejora, simbol gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka, saat berdemonstrasi di dekat Istana Negara di Jakarta, 22 Agustus 2019. (AP)
Aktivis Papua mewarnai muka mereka dengan warna lambang Bintang Kejora, simbol gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka, saat berdemonstrasi di dekat Istana Negara di Jakarta, 22 Agustus 2019. (AP)

Demo masih berlanjut

Sementara itu, demo untuk menentang tindakan rasisme yang dialami mahasiswa Papua masih terjadi hingga memasuki hari keempat di sejumlah daerah.

Di Jakarta, lebih dari 100 massa melakukan demonstrasi di sekitar Istana Negara, yang bersamaan dengan Aksi Kamisan – unjuk rasa damai setiap hari Kamis untuk mendesak pemerintah mengusut kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu.

Massa dari “Aliansi Mahasiswa Antirasisme, Kapitalisme, Kolonialisme, dan Militerisme” awalnya menggelar aksi di depan Mabes TNI AD.

Di situ, mereka sempat terlibat aksi dorong-dorongan dengan aparat yang menghalangi massa mendekati Istana Negara.

Dalam aksinya, massa menuntut agar seluruh aparat baik TNI mapun Polri yang terlibat kekerasan terhadap mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya diseret ke meja hijau.

Beberapa peserta aksi juga membawa bendera Bintang Kejora, bendera milik Organisasi Papua Merdeka yang dilarang berkibar di Indonesia.

Bintang Kejora juga dibawa massa yang menggelar aksi di berbagai daerah di Papua dan Papua Barat sejak Senin lalu.

Tak hanya itu, mereka juga membawa spanduk berisi tuntutan referendum bagi Papua.

Salah satu spanduk bertuliskan, "Usir Orang Papua Pulang ke Tanah Airnya, Maka NKRI Harus Keluar dari Tanah Papua sebagai Jalan Paling Demokratis".

Setelah dihalau dan tidak diperbolehkan mendekati Istana, massa kemudian menggelar orasi di depan taman pandang Istana Monumen Nasional, yang hanya selemparan batu dari Istana Negara.

Beberapa kali orator sempat membakar semangat demonstran dengan meneriakkan, kata Papua, yang disahut massa dengan merdeka.

“Papua… Merdeka… Papua… Merdeka… Papua… Medeka!” teriak para demonstran.

Tersangka

Kapolres Mimika AKBP Agung Marlianto mengatakan pihaknya telah menetapkan 34 demonstran sebagai tersangka kerusuhan di Timika, Rabu.

"Dari 45 yang kita amankan, hanya 34 akan dilanjutkan proses hukumnya," katanya.

Awalnya polisi menangkap 13 orang karena memblokir jalan dan membakar ban bekas. Polisi juga menyita bensin, senjata tajam dan bendera Bintang Kejora dalam unjuk rasa di Timika.

Rabu siang, polisi kembali menangkap 31 orang. 20 orang diamankan karena merusak Hotel Grand Mozza tak jauh dari Kantor DPRD Mimika.

“Tiga aparat keamanan terluka dalam kerusuhan itu,” katanya.

Seorang warga Fakfak, Papua Barat, yang menolak disebutkan namanya karena alasan keamanan menyatakan bahwa Kamis siang di Fakfak terlihat warga mulai keluar rumah, tapi masih was-was kalau terjadi kerusuhan lagi.

“Warga berbelanja kebutuhan seperlunya dan cepat pulang. Ada pasar lain yang buka,” katanya saat dihubungi BeritaBenar.

Sehari sebelumnya, Pasar Sentral Thumburni dan kantor Dewan Adat di Fakfak dibakar. Selain itu, bentrokan antara dua kubu massa juga sempat terjadi di Fakfak.

“Saat bentrok kemarin, ada massa berlari ke arah kampung di pinggiran kota. Jalannya lewat tebing gunung saat sore dan malam hari. Ada yang ditembaki dari tebing pantai,” kata warga.

Menurutnya, ada warga yang terkena peluru saat berlari di pinggiran tebing.

“Ada yang kena tembak di kaki, korbannya sekretaris kampung. Karena ada mantri di rumah tetangga jadi cepat ditolong. Dia kena tembak di betis,” jelasnya.

Korban lain adalah seorang pria 50 tahun yang terserempet peluru nyasar.

“Dia dilarikan ke tempat saudara suster. Di sana diperiksa. Karena pendarahan terus keluar jadi suster ambil alat di Puskesmas dan kembali jahit kepalanya,” katanya.

‘Jangan digeneralisasi’

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto meminta warga Papua tidak menggeneralisir tindakan rasial yang diterima mahasiswa Papua di Jawa Timur akhir minggu lalu.

Sabtu lalu bertepatan dengan hari kemerdekaan RI, karena tuduhan penodaan terhadap bendera merah putih, asrama mahasiswa Papua di Surabaya digrebek oleh sejumlah massa dan aparat bersenjata yang meneriaki mereka “monyet”. Aparat juga menembakkan gas air mata dan menangkap 43 orang di asrama tersebut walaupun akhirnya mereka dikembalikan pada malam harinya.

"Kita pisahkan oknum yang kurang ajar, tentu nanti ada tindakan hukum, tetapi jangan kemudian digeneralisasi bahwa penghinaan suku lain kepada suku Papua," kata Wiranto saat berkunjung ke Manokwari, Papua Barat, seperti dilansir kantor berita Antara.

Wiranto menambahkan, pemerintah Indonesia tidak mengesampingkan Papua dan Papua Barat.

"Papua dan Papua Barat bukan anak tiri, tetapi adalah anak emas, dengan diprioritaskan dalam pembangunan infastruktur dan penyetaraan harga seperti di Jawa. Bahkan anggaran APBN lebih besar dari provinsi lain," katanya.

Staf ahli Gubernur Papua Barat George Celcius Auparay yang mengaku sakit hati atas penghinaan terhadap suku Papua, mengatakan permintaan maaf akan percuma apabila insiden itu berulang lagi di masa mendatang.

"Kita sudah sepakat satu bangsa. Kalau satu bangsa kenapa diperlakukan kaya begini," ucap George.

Sementara itu lembaga HAM mengkritisi pembatasan internet di Papua yang diberlakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) “hingga suasana Tanah Papua kondusif.”

“Pembatasan internet ini merupakana serangan terhadap hak kebebasan berekspresi di Papua dan Papua Barat,” Kata direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

“Keputusan ini juga akan mencegah masyarakat mendokumentasikan dan menginformasikan bukti pelanggaran yang dilakukan pasukan keamanan, pada saat aparat mengirim lebih banyak pasukan keamanan ke wilayah itu,” tambah Usman.

Namun Menteri Kominfo Rudiantara, mengatakan keputusan itu adalah untuk kepentingan nasional. “Kami tidak represif, tidak seperti di negara lainnya. Orang-orang masih bisa menelpon,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.