DPR setuju negara biayai pembengkakan dana kereta cepat Rp3,2 triliun
2022.11.23
Jakarta
DPR pada Rabu (23/11) menyetujui pembiayaan untuk menutup pembengkakan dana proyek kereta api cepat Jakarta - Bandung melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) pada PT Kereta Api Indonesia sebesar Rp3,2 triliun.
“Komisi VI DPR menyetujui PMN pada PT KAI sebesar Rp3,2 triliun yang berasal dari cadangan investasi APBN 2022 untuk memenuhi permodalan porsi Indonesia atas cost overrun (pembengkakan biaya) proyek KCJB (Kereta Cepat Jakarta-Bandung),” ujar Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima dalam rapat dengar pendapat bersama Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo.
“Komisi VI DPR RI meminta Kementerian BUMN memastikan tambahan PMN 2022 ini bisa menyelesaikan proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung tepat waktu yakni Juni 2023 dan tidak menimbulkan cost overrun lagi,” lanjut dia.
Berdasarkan audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ditetapkan cost overrun proyek ini sebesar US$1,449 miliar atau Rp21,7 triliun. Dengan pembengkakan ini, demikian total biaya proyek bertambah menjadi sekitar US$7,5 miliar atau sekitar Rp112,5 triliun.
Pada rapat dengar pendapat dengan DPR sebelumnya, Direktur Utama PT KAI Didiek Haryantyo mengungkapkan Indonesia dan China sudah mencapai kesepakatan skema pembiayaan cost overrun akan ditutup dari dua sumber yaitu, ekuitas sebesar 25% dan pinjaman sebesar 75%.
Porsi ekuitas 25% , setara Rp5,3 triliun dan Indonesia dengan 60 persen saham mempunyai tanggungan sebesar Rp3,2 triliun. Sedangkan porsi China dengan 40% akan membiayai Rp2,1 triliun. Sedangkan 75% dari biaya pembengkakan akan diajukan pada China Development Bank (CDB) dengan nilai setara Rp16 triliun.
Wakil Menteri BUMN Kartika mengatakan perkembangan fisik proyek hingga November 2022 sudah mencapai 81,66 persen sedangkan progress investasi sudah mencapai 91,4 persen.
Pertengahan minggu lalu di akhir acara G20 di Bali, Presiden Joko Widodo serta Presiden Tiongkok Xi Jinping secara virtual menghadiri acara uji coba proyek yang juga dikenal sebagai Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC). Proyek ini merupakan bagian dari Belt and Road Initiative, program pemerintah China senilai US$1 triliun lebih untuk membiayai pembangunan infrastruktur di seluruh dunia.
Kartika mengatakan ada dua opsi pinjaman sebagai alternatif pembiayaan cost overrun, pertama CDB memberikan pinjaman pada KCIC dengan dukungan penjaminan pemerintah.
Opsi kedua, CBD memberikan pinjaman pada PT KAI.
“Saat ini masih dilanjutkan negosiasi dengan CBD terkait struktur pinjaman dan penjaminan fasilitas tambahan untuk cost overrun proyek,” ujar dia.
Dedi Sitorus, anggota komisi VI meminta pemerintah harus memastikan bahwa cost overrun tidak terjadi lagi dalam penyelesaian proyek ini.
Pemerintah menurut dia juga harus memikirkan model bisnis kereta cepat yang diperkirakan baru bisa mencapai break-even point hingga 38 tahun mendatang.
“Harga tiket dan model bisnis yang dipikirkan agar menjadi sesuatu yang memberi manfaat dan memberi multiplayer effect secara ekonomi,” ujar dia.
Setelah mendapat persetujuan dari Komisi VI DPR, pencairan PMN ini masih membutuhkan persetujuan dari Komisi Keuangan (Komisi XI) agar bisa disalurkan pada 2022 ini, ujar Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan.
"Proses pencairan PMN untuk PT KAI dalam rangka penyelesaian KCJB masih akan dibahas kembali bersama Komisi XI DPR dan pihak-pihak terkait sebelum dilakukan pencairan," kata Direktur Hukum dan Humas DJKN Kementerian Keuangan, Tri Wahyuningsih, pada CNBC Indonesia.
Sejak konstruksi dimulai pada tahun 2017, proyek KCIC telah menuai sejumlah kecaman terutama dampaknya terhadap lingkungan dan kekhawatiran tentang kenaikan biaya hingga hampir US$8 miliar atau sekitar Rp114 triliun, dibandingkan dengan perkiraan awal sebesar US$6 miliar atau sekitar Rp86,3 triliun.
Proyek yang pada awalnya dicanangkan tidak menggunakan biaya negara seperti tertuang dalam Peraturan Presiden tahun 2015, dalam prakteknya tidak demikian, di mana pada Oktober 2021, Presiden Jokowi memutuskan untuk mengizinkan penggunaan APBN untuk membiayai proyek yang dananya membengkak itu.
Sebulan kemudian, Menteri Keuangan Sri Mulyani di depan DPR mengatakan bahwa pemerintah telah memutuskan untuk menyuntikkan Rp4,3 triliun rupiah untuk KCIC, kebijakan yang dikritik sejumlah pihak yang mengatakan hal itu akan membawa Indonesia ke dalam perangkap utang.
“Riskan”
Pengamat ekonomi politik internasional Universitas Al-Azhar Indonesia, Wildan Faisol, mengatakan penyertaan PMN dalam mendanai proyek kereta cepat tergolong riskan.
Pertama, kata dia, kembali ke tujuan awal bahwa PMN pada era pandemi dimaksimalkan untuk melindungi para pelaku usaha yg terdampak karena pandemi COVID-19.
“Kedua, PMN sejatinya juga diberikan kepada beberapa BUMN yang mengalami kesulitan keuangan, dengan tetap memperhatikan kriteria dan skala prioritas BUMN yang berpengaruh terhadap hajat hidup orang banyak dan berdampak sistemik bagi sektor keuangan,” ujar Wildan kepada BenarNews.
Dalam hal ini, kata dia, meskipun PT KAI memiliki pengaruh besar dalam bidang usaha perkeretaapian Indonesia serta berdampak pada hajat hidup kebutuhan transportasi masyarakat Indonesia, penyertaan PMN dalam proyek ini merupakan langkah yang keliru.
Wildan mengatakan kereta cepat untuk sebatas melayani rute dari Jakarta ke Bandung (142,3 km) tidak bisa diharapkan banyak mendorong pertumbuhan perekonomian nasional.
“Justru hal ini semakin menguatkan stigma pembangunan ekonomi yang terpusat atau sering disebut sebagai ‘Jawasentris’,” paparnya.
Padahal, urgensi menghidupkan kembali moda kereta api baik sebagai moda transportasi umum atau barang sangat dibutuhkan di Pulau Sumatra, Kalimantan bahkan Sulawesi,” lanjut dia.
Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana masalah pembengkakan pembiayaan kereta api cepat tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di China hingga Spanyol.
Sebabnya adalah investasi dalam bidang infrastruktur yang sangat besar.
“Apalagi itu lebih sulit dibanding rel-rel yang biasa karena rel khusus dan lebih tinggi. Apalagi di Indonesia pembebasan lahannya sulit,” ujar dia.
Pizaro Gozali Idrus berkontribusi pada artikel ini