Arif Purnawan, Keliling Indonesia Lestarikan Tenun Tradisional
2016.07.08
Klaten
Berkeliling ke seluruh wilayah Indonesia untuk melestarikan teknik menenun dan kerajinan tenun tradisional menjadi salah satu cita-cita Arif Purnawan yang masih coba diwujudkannya.
Perajin tenun asal daerah Pedan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, ini telah memulai petualangan ke berbagai daerah untuk menjaga supaya teknik menenun dengan alat tenun tradisional tetap terjaga dan dilestarikan.
Daerah-daerah yang sudah didatangi memiliki kerajinan tenun tradisional, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, Sumatera, dan Sulawesi. Dalam petualangannya, dia tidak sekadar mempelajari tapi juga melakukan beberapa perubahan teknik dan mengajarkannya kepada para perajin.
“Tenun tradisional yang mulanya selonjor, saya ubah menjadi duduk sehingga perajin lebih mudah melakukan produksi tenun,” terang Arif saat ditemui BeritaBenar, akhir Juni lalu.
Perubahan dari selonjor ke duduk terkesan sepele. Tapi bagi perajin, perubahan itu sangat berpengaruh terutama dalam proses produksi yang bisa menjadi maksimal.
“Mengubah alat tenun tradisional lebih proporsional dan nyaman digunakan akan mencegah perajin beralih ke tenun modern bermesin,” tuturnya.
Saat berada di daerah, Arif mengobservasi kemudian membantu membuat alat tenun tradisional jika diminta dan sekaligus mengajari cara menggunakan alat buatannya. Ia juga melayani pemesanan pembuatan alat tenun bukan mesin, baik tenun ikat, tenun dobby, maupun tenun songket.
Beberapa daerah yang masih diobservasi Arif di antaranya ialah Kupang, Sumba, Belu, Kefamenanu, Soe, Rotendao di Nusa Tenggara Timur dan Paya Kumbuh di Sumatera Barat.
“Itu penghasil tenun tradisional khas daerah masing-masing dan masih menggunakan alat tenun bukan mesin sehingga harus dilestarikan,” tutur Arif.
Warisan keluarga
Sebelum menjadi sosok pelestari alat tenun tradisional, Arif hanya berpikir bagaimana mempertahankan usaha tenun lurik yang turun-temurun dijalani oleh keluarganya.
Tanpa disangka, di tengah perjalanannya menekuni tenun lurik, tenun dengan pola garis-garis yang menjadi khas di Klaten, dan beragam teknik tenun lainnya, Arif tertarik mempelajari berbagai macam tenun nusantara yang kaya makna dan sarat nilai budaya. Ini membuatnya bertekad untuk mempertahankan teknik tenun tradisional
Arif mengenal tenun, terutama kurik, sejak masih masih kecil. Ayahnya, Raden Rachmat pada era 1960-an dikenal sebagai salah satu pionir tenun lurik Pedan. Rachmat berhasil membesarkan usaha lurik ayahnya, Atmo Pawiro.
Lurik Pedan dan Rachmat seakan tak terpisahkan dan menjadi salah satu ikon Klaten. Seiring berjalannya waktu dan munculnya berbagai teknik pembuatan lurik dengan mesin industri membuat lurik tradisional mulai tenggelam.
“Sulit bertahan jika tenun hanya berhenti pada produksi lurik saja, itu seperti lari di tempat,” ujar Arif, yang juga pengusaha tenun dari warisan keluarga.
Menurut dia, perlu pengembangan meski tetap dengan alat tenun sederhana tetapi bisa membuat produk berbeda. Sehingga, tidak hanya lurik saja yang bertahan tetapi semua kain hasil tenun tradisional.
Selain berkeliling Indonesia untuk menjaga tenun tradisional tetap lestari, Arif juga mulai memproduksi tenun nusantara. Tenun yang dibuatnya dipasarkan ke seluruh Indonesia dan beberapa negara Asia, Amerika dan Eropa.
Arif Purnawan berdiri di samping peralatan tenun tradisional di Klaten, Jawa Tengah, 29 Juni 2016. (Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar)
Menjaga tenun lurik
Setelah menyelesaikan kuliahnya tahun 1990, alih-alih mengikuti saran para kerabatnya untuk menjajal tes calon pegawai negeri sipil, Arif malah memilih menekuni tenun lurik yang digeluti ayah dan kakeknya.
“Jadilah raja meski kecil. Itu pesan ayah saya yang saya ingat dan selalu saya pegang teguh,” ujar Arif.
Melihat kondisi lurik di Klaten saat ini, ia mengaku prihatin. Lurik tradisional yang jadi salah satu ikon Klaten kini hampir tenggelam, kalah dengan lurik pabrikan. Jumlah pengusaha lurik tradisional di Klaten pada tahun 1960-an mencapai 1000-an orang, tetapi kini hanya tersisa sekitar 50 orang saja.
Sapto Aji, seorang pengusaha lurik tradisional mengatakan tidak adanya dukungan pemerintah membuat kondisi pengusaha lurik kian terpuruk. Hal lain karena banyak muncul usaha lurik pabrikan.
Tapi, Kepala Bidang Perencana Ekonomi Bappeda Klaten, Wahyu Haryadi mengaku, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Klaten terus mendorong perkembangan batik dan lurik khas setempat. Promosi juga akan terus dilakukan melalui acara khusus “Lurik Carnival” dan dalam promosi pariwisata Klaten.
“Diharapkan saat orang datang ke Klaten, mereka langsung terpikir untuk beli lurik sebagai oleh-oleh, atau ketika mereka melihat lurik mereka akan teringat Klaten,” jelasnya.
Sapto dan para pengusaha lurik sempat senang ketika Pemkab Klaten mewajibkan para pegawai negeri sipil memakai lurik dua kali seminggu. Tapi kewajiban itu tidak dibarengi dengan keharusan untuk membeli dari usaha tradisional.
“Pemasaran memang kelemahan kita yang sekarang hanya mengandalkan pesanan lurik musiman,” ujar Sapto.
Satu hal lagi yang dirasakan Sapto menjadi penanda hilangnya lurik tradisional adalah tidak adanya regenerasi perajin lurik.
Beberapa perajin tenun lurik tradisional yang aktif saat ini rata-rata berusia di atas 50 tahun. Sementara generasi di bawahnya lebih memilih jadi pekerja pabrik daripada perajin lurik yang hanya dibayar Rp7000 per meter.