Pimpinan Katibah Gonggong Rebus Dituntut 6 Tahun Penjara

Terdakwa menilai jaksa telah bersikap keliru karena mereka sama sekali tidak pernah merencanakan serangan teror, termasuk plot meluncurkan roket ke Singapura.
Arie Firdaus
2017.05.10
Jakarta
170510_ID_Courtrocket_620.jpg Terdakwa Gigih Rahmad Dewa tersenyum usai dituntut enam tahun penjara oleh jaksa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, 10 Mei 2017.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Gigih Rahmad Dewa, pimpinan Katibah Gonggong Rebus (KGR), kelompok yang disebut polisi berencana menyerang Singapura dengan roket diluncurkan dari Batam, dituntut enam tahun penjara oleh jaksa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rabu, 10 Mei 2017.

Tuntutan dibacakan jaksa setelah meyakini Gigih (31) terbukti melakukan tindak pidana pemufakatan jahat aksi terorisme, seperti termaktub dalam Pasal 15 juncto 7 Undang-Undang (UU) Terorisme. Ancaman hukuman maksimal dalam pasal itu adalah 20 tahun penjara.

"Terdakwa menampung dua warga etnis Uighur yang ingin bergabung dengan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso," kata jaksa Yuana Nurshiyam.

"Mereka juga menyalurkan dana dari Bahrun Naim untuk kegiatan radikalisme di Indonesia dan menyusun beberapa amaliah (aksi teror). Sehingga unsur pemufakatan jahat terpenuhi."

Tuntutan penjara terhadap Gigih lebih tinggi dari lima rekannya, yakni Hadi Gusti Yanda, Eka Saputra, Trio Syafrido, Leonardo Hutajulu, dan Tarmizi.

Trio dituntut lima tahun penjara, Hadi dan Eka masing-masing empat tahun penjara, dan Leo tiga tahun penjara. Sedangkan, Tarmizi yang menjalani sidang dua pekan lebih awal telah dituntut lima tahun penjara.

Kelimanya memang dijerat pasal berbeda oleh jaksa. Alih-alih mengenakan Pasal 15 jo 7, mereka dijerat Pasal 13 huruf c UU Terorisme tentang memberikan kemudahan dan bantuan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Ancaman maksimal beleid ini adalah 15 tahun penjara.

Menyoal tuntutan Gigih lebih besar ketimbang rekan-rekannya, jaksa merujuk status terdakwa selaku pimpinan kelompok KGR, yang juga mengoordinasi rekan-rekannya dan berhubungan dengan Bahrun Naim.

Bahrun merupakan WNI simpatisan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang kini disebut berada di Suriah. Dia pula yang disebut terlibat aksi teror di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, pada Januari 2016 yang menewaskan delapan orang --empat di antaranya pelaku.

‘Jaksa keliru’

Mengomentari tuntutan itu, Gigih menilai jaksa telah bersikap keliru. Pasalnya, dia dan kelompok lain sama sekali tak pernah merencanakan teror, termasuk menyerang Singapura dengan roket.

"Enggak ada (rencana serangan),” kata Gigih kepada BeritaBenar usai persidangan, "kami enggak seekstrem itu."

Tak berbeda dengan Gigih, Khadafi selaku kuasa hukum para terdakwa menilai jaksa terlalu memaksakan dalam menuntut kliennya.

Dia mencontohkan dakwaan tentang memfasilitasi warga Uighur untuk bergabung dengan kelompok Santoso di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.

Santoso alias Abu Wardah adalah pimpinan MIT sebelum tewas ditembak pasukan TNI dalam baku tembak di kawasan pegunungan Tambarana, Poso, pada 18 Juli 2016.

“Fakta soal itu tidak pernah terungkap di persidangan. Tak ada saksi di persidangan yang mengetahui kejadian,” kata Khadafi.

Lantas, pembelaan apa yang disiapkan tim kuasa hukum dalam persidangan lanjutan pada Kamis pekan depan?

“Kami akan klarifikasi keterlibatan para terdakwa, merujuk fakta-fakta yang muncul di persidangan,” kata Khadafi kepada BeritaBenar, tanpa merincikan lebih lanjut.

Jaringan Bahrun Naim

Kelompok KGR disebut kepolisian sebagai jaringan kecil Bahrun Naim di Indonesia. Keterkaitan kelompok ini dengan Bahrun terlihat dari keberadaan Bahrun dalam grup Telegram KGR.

Lewat grup itu pula, kata polisi, Bahrun menginstruksikan Gigih Cs untuk menjemput dua warga etnis Uighur yang dipersiapkan menjadi calon pelaku bom bunuh diri, yakni Nur Muhamet Abdullah alias Ali dan Doni.

Doni diketahui telah dideportasi. Sedangkan Ali kemudian dijemput seorang pengikut Bahrun yang bernama Nur Rohman.

Rohman ialah pelaku bom bunuh diri di Mapolresta Solo pada 5 Juli 2016. Oleh Rohman, Ali kemudian diantar ke Bogor, Jawa Barat, untuk bertemu kelompok Arif Hidayatullah.

Ali dan Arif belakangan ditangkap aparat di Bekasi, Jawa Barat, Desember 2015 dan telah menjalani persidangan terpisah. Keduanya dihukum masing-masing enam tahun penjara.

Para anggota kelompok KGR ditangkap aparat Detasemen Khusus Antiteror 88 Mabes Polri pada Jumat, 5 Agustus 2016 di beberapa titik di Batam, Kepulauan Riau.

Anggota pertama yang ditangkap adalah Eka Saputra yang ditangkap pada pukul 06.00 WIB. Bersamaan dengan Eka, diamankan pula sepucuk airsoft gun.

Setelah pengembangan, aparat kemudian menangkap Gigih satu jam kemudian. Polisi turut mengamankan panah, paspor, beberapa buku tabungan, dan uang tunai senilai Rp2,5 juta.

Dalam waktu hampir bersamaan, polisi juga menangkap Trio yang bekerja sebagai pegawai sebuah bank, Tarmizi, dan Hadi.

Polisi sempat mengamankan seorang lain berinisial TS saat menangkap Hadi, namun kemudian dilepaskan setelah diketahui tak memiliki keterkaitan dengan kelompok KGR.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.