Komnas HAM: Sanksi AS atas kapal ikan China bisa bawa efek jera

Data sebut 40 pekerja WNI tewas di kapal asing pada November 2019 - Maret 2022; 84 persen di kapal China.
Pizaro Gozali Idrus
2022.12.12
Jakarta
Komnas HAM: Sanksi AS atas kapal ikan China bisa bawa efek jera Pekerja mengumpulkan ikan dari kapal di pelabuhan perikanan di Banda Aceh, 16 Juni 2022.
[Ketua Mahyuddin/AFP]

Sanksi yang diberikan Amerika Serikat kepada sejumlah kapal ikan China dapat memberikan dampak positif atas upaya pencegahan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap anak buah kapal, kata Komisioner Komisi Nasional (Komnas) HAM pada Senin (12/12).

Pada Jumat (9/12), AS telah memberikan sanksi kepada perusahaan China, termasuk Dalian Ocean Fishing (DOF) pemilik kapal tempat pekerja Indonesia meninggal yang dituduh melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran tenaga kerja.

“Sanksi yang dijatuhkan Amerika kepada kapal asing itu sebenarnya bisa memberikan efek jera,” ujar Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah kepada BenarNews, Senin.

Departemen Keuangan AS mengumumkan sanksi tersebut sebagai bagian dari berbagai tindakan yang diambil Washington untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia pada 10 Desember.

“Sebaiknya juga banyak kapal-kapal yang lain mesti juga diberikan sanksi karena praktik perbudakan itu sesungguhnya terjadi banyak di kapal dengan bendera berbeda-beda negara,” ucap Anis, menambahkan bahwa hal semacam juga terjadi di antaranya pada kapal Korea dan Taiwan.

Rizky Fauzan Alvian (20), anak buah kapal (ABK) Indonesia yang pernah bekerja di kapal ikan China Long Xing 629, menilai sanksi tersebut setara dengan perlakuan buruk kapal tersebut kepada para ABK.

“Pendapatku (sanksi itu) setimpal ya, kalau memang mau berbisnis diberesi dulu dari hulunya,” ucap Rizky, yang bekerja dari tahun 2019 hingga 2020 di Long Xing 629, kepada BenarNews.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan ada empat warga Indonesia yang tewas saat bekerja di kapal Long Xing 629. Dua dari ABK meninggal di atas kapal pada Desember 2019, seorang meninggal di sebuah rumah sakit di Korea Selatan saat kapal berlabuh di sana dan korban keempat ditransfer ke kapal yang lain dan meninggal pada Maret 2020 sebelum berhasil mencapai daratan.

Ada 46 warga Indonesia yang bekerja di empat kapal berbendera China yang terdiri dari 15 orang bekerja di Long Xing 629, delapan di Long Xing 605, 20 di Long Xing 606 dan tiga di kapal Tian Yu 8, menurut Kementerian Luar Negeri (Kemlu).

Sebanyak 44 di antaranya telah kembali ke Indonesia pada April dan awal Mei 2020, sementara dua lainnya pulang sebulan kemudian setelah difasilitasi Kemlu.

Retno Marsudi saat itu menyampaikan sebanyak 14 ABK warga Indonesia yang bekerja di kapal Long Xing 629 berbendera China mengaku telah menerima perlakuan tidak manusiawi saat bekerja.

Dari pengakuan 14 pelaut yang selamat, koki kapal kerap memberi mereka makanan berupa umpan ikan yang bau sehingga beberapa di antaranya mengalami gatal hingga keracunan makanan.

Mereka juga mengaku diberi sajian tidak segar, termasuk daging ayam yang sudah berusia setahun lebih di lemari pendingin dan hanya diberi minuman air sulingan dari laut.

Long Xing 629 telah beroperasi sejak 15 Februari 2019. Kapal tersebut diketahui tidak pernah bersandar selama 13 bulan melaut di perairan Samoa.

Berdasarkan data Kemlu pada 2020, tercatat sebanyak 9.404 ABK Indonesia bekerja di kapal asing.

Tumpang tindih aturan

Anis mengatakan Indonesia masih mengalami tumpang tindih dalam tata kelola ABK di luar negeri karena ada tiga kementerian yang terlibat yakni Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Maritim dan Investasi.

Sesungguhnya aspeknya itu aspek Ketenagakerjaan. Sementara Kementerian Ketenagakerjaan ini sama sekali tidak punya kewenangan apa-apa soal itu, sehingga ini yang membuat kemudian kusut dari sisi tata kelola perizinan,” kata Anis.

Anis juga mengkritik masih lemahnya mekanisme pemantauan perusahaan-perusahaan yang menempatkan para ABK di luar negeri. Padahal di dalam UU dan peraturan pemerintah, pengawasan itu harus dilakukan oleh manajemen di kapal yang kemudian dilaporkan secara reguler kepada pemerintah.

“Karena minimnya pengawasan, banyak sekali kasus-kasus yang menyerupai praktik perbudakan itu terjadi kalau meninggal bahkan dilarung seperti peristiwa Long Xing. l.”

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran. Aturan ini merupakan tindak lanjut UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Dalam PP tersebut, perusahaan yang ingin Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) dari Kementerian Ketenagakerjaan, harus mendapatkan Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia (SIP2MI) dari Badan kepada Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).

Kepentingan besar atasi perbudakan

Juru bicara kampanye laut Greenpeace Afdillah menyampaikan Indonesia seharusnya memiliki kepentingan besar untuk mengatasi perbudakan kepada ABK karena Indonesia merupakan negara pengirim ABK terbanyak di dunia, terutama di kapal China.

“Dari penelusuran kami memang ABK Indonesia ini bekerja di kapal China dan banyak dari mereka bekerja secara ilegal,” ucap Afdillah kepada BenarNews.

Sayangnya, kata dia, Indonesia masih memiliki peraturan yang tumpang tindih. Perusahaan yang melakukan perekrutan ABK Indonesia ini izinnya ada tiga yakni dari Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Pemerintah Daerah.

“Namun, sekarang ditegaskan dalam PP Nomor 22 Tahun 2022, yang sudah lama ditunggu, bahwasanya rekrutmen ABK ini sekarang harus dilimpahkan izinnya ke Kementerian Ketenagakerjaan, tapi Kementerian Perhubungan gak mau pusing tetap saja Juni kemarin masih ada izin-izin yang keluar.”

“Setelah ditelusuri, kenapa mereka tidak mau mengambil izin dari Kemenaker, karena mahal. Modalnya harus Rp5 miliar, harus ada deposit Rp1,5 miliar. itu digunakan kalau ada kasus ABK gajinya tidak dibayar tinggal diambil. Tapi itu tidak ada di Kementerian Perhubungan.”

40 ABK Indonesia tewas di kapal asing

Sementara itu, Koordinator Destructive Fishing Watch (DFW) Abdi Sufuhan mengatakan sanksi AS merupakan langkah yang strategis.

“Tindakan tersebut paling tidak akan menghentikan praktik perdagangan orang dan penangkapan ikan oleh dua grup bisnis tersebut.”

Berdasarkan data DFW, kata Abdi, ABK Indonesia yang meninggal di kapal ikan asing pada periode November 2019 hingga Maret 2022 mencapai 40 orang dengan sebaran 84 persen kapal China, 14 persen Taiwan, dan sisanya negara lain seperti Vanuatu dan Korea Selatan.

Sementara itu, dalam kurun waktu November 2019 hingga November 2022, National Fishers Center menerima 93 pengaduan, dengan jumlah korban 283 orang.

Dari jumlah itu, empat besar pengaduan tersebut antara lain gaji tidak dibayarkan/pemotongan upah 50 persen, asuransi dan jaminan sosial 32,8 persen, minta dipulangkan sebelum kontrak selesai 8,6 persen, dan penipuan 8,6 persen.

Abdi mengatakan pemerintah Indonesia itu perlu merespons perkembangan keputusan Departemen Keuangan AS dan mengantisipasi implikasi yang timbul atas sanksi ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.