Pemerintah Diminta Tangkal Penyebab Konflik Horizontal

Arie Firdaus
2016.08.04
Jakarta
160804_ID_Ahmadiyah_1000.jpg Seorang polisi menginspeksi rumah seorang pemimpin Ahmadiyah yang dirusak warga di Cikeusik, Pandeglang, Banten, 7 Februari, 2011
AFP

Lemahnya penegakan hukum, disamping kesenjangan ekonomi, dinilai menjadi faktor terus maraknya konflik horizontal di Indonesia. Sementara itu, polisi telah menetapkan 19 tersangka dalam kasus kerusuhan pembakaran vihara di Tanjungbalai, Sumatera Utara, minggu lalu.

Peneliti Setara Institute, Aminudin Syarif, mengatakan tidak adanya jaminan perlindungan hukum terutama bagi kaum marginal atau minoritas, menyebabkan mudahnya terjadi konflik kekerasan di Indonesia.

"Aksi itu wujud lemahnya perlindungan hukum pemerintah pada kelompok minoritas," kata Syarif.

Selain peristiwa di Tanjungbalai pada Jumat 29 Juli lalu, Syarif mengatakan banyak contoh lainnya.

Seperti misalnya, intoleransi terhadap kelompok Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Kalimantan Barat atau pengusiran pengikut Ahmadiyah.

Pengikut Gafatar diusir dari Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Rumah mereka dibakar dan perkebunan dirusak warga yang mengaku resah dengan kelompok itu. Tak jauh berbeda nasib pengikut Ahmadiyah di banyak tempat.

Andaikata pemerintah berani bersikap tegas, dia percaya sikap-sikap intoleran tak akan pernah terjadi.

"Jangan sampai muncul pemikiran bahwa Anda akan aman jika berada dalam kelompok mayoritas," tegasnya.

Kesenjangan ekonomi

Sementara itu ulama dan akademisi Muslim melihat kesenjangan ekonomi ikut menjadi pemicu konflik di masyarakat.

"Harus diakui, tak hanya faktor agama yang menjadi penyebab konflik horizontal selama ini," tutur Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin kepada BeritaBenar, Kamis, 4 Agustus 2016.

"Ada juga faktor ekonomi. Meski saya tak tahu mana yang penyebab utama dan sekunder,” tambahnya.

Pandangan tak jauh beda disampaikan Direktur Pusat Pengajian Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Saiful Umam.

Menurutnya, kesenjangan ekonomi tak jarang akhirnya membuat sekelompok warga mendefinisikan bahwa kekayaan adalah milik suatu etnis tertentu.

"Yang melabeli kemudian mendefinisikan dirinya dengan label lain, seperti agama," kata Saiful.

Perbedaan identifikasi diri, kata Saiful, membuat kondisi sosial jadi rapuh dan gampang terkoyak saat terjadi konflik.

"Dengan mudahnya, agama kemudian jadi pelatuk untuk berbuat intoleransi," ujarnya.

Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, juga tidak menepis faktor kesenjangan ekonomi sebagai salah satu penyebab konflik horizontal di tanah air.

"Kesenjangan sosial yang meningkat memang bisa menimbulkan ledakan sosial," ujarnya kepada BeritaBenar.

Tetapkan 19 tersangka

Sementara itu, Kapolri Tito Karnavian mengatakan konflik di Tanjungbalai bermula dari seorang warga Tionghoa yang meminta pengurus masjid untuk mengecilkan pengeras suara di masjid dekat rumahnya itu, akhir pekan lalu.

Sengketa itu sempat diselesaikan melalui dialog antara warga, pengurus masjid, dan aparat kepolisian setempat.

Tapi keesokannya, masalah lebih besar justru terjadi saat sekelompok orang menyerbu dan merusak beberapa wihara. Penyerangan ini dipicu munculnya pesan berantai yang bernada provokasi.

Sejauh ini, kepolisian telah menetapkan setidaknya 19 orang sebagai tersangka dalam kerusuhan ini. Terkait provokator kerusuhan, Tito belum bisa memastikan.

"Kita masih cari provokatornya. Karena sebenarnya akar masalah adalah salah paham," kata Kapolri kepada wartawan.

Selain beberapa orang yang diduga perusuh, kepolisian juga telah menangkap seseorang bernama Ahmad Taufik yang menyebarkan pernyataan provokatif lewat akun Facebook-nya terkait kerusuhan Tanjung Balai.

Kabid Humas Polda Metro, Kombes Pol Awi Setiyono mengungkapkan dari pengakuan Ahmad, diketahui tersangka melakukan hal itu karena tidak puas terhadap pemerintah.

“Dia kecewa dengan pemerintahan saat ini, seperti kondisi ekonomi, harga-harga naik,” kata Awi seperti dikutip dari Tempo.co.

Akibat perbuatannya, Ahmad dijerat dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara atau denda paling banyak Rp1 miliar.

Cegah provokasi

Untuk mencegah provokasi lewat media sosial, Tito mengatakan akan berkomunikasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam mengawasi pesan-pesan yang bernada provokasi.

Dia berharap Kementerian Komunikasi dan Informatika mendesak provider asing untuk memiliki server di Indonesia agar pengusutan pesan provokatif di media sosial lebih mudah diusut.

"Selama ini, kita tak punya akses sehingga penanggulangannya menjadi sulit," kata Tito.

Lebih lanjut, Kapolri berharap masyarakat lebih bijak dalam mengeluarkan pendapat di media sosial. Pasalnya, penegak hukum bisa menjerat para penyebar kebencian dengan UU ITE.

"Ada hukumannya di UU ITE, bagi penyebar pernyataan kebencian dan berita-berita negatif. Kasihan masyarakat kita, kasihan rakyat kalau terprovokasi," katanya.

Imbauan yang sama juga disampaikan Din Syamsuddin. Ia berharap setiap warga bisa menahan diri agar konflik horizontal tak terulang lagi.

“Meskipun alasan ekonomi, tapi tetap tak boleh menjadi alasan untuk mengamuk dan bersikap intoleran,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.