KontraS: Indonesia alami kemunduran demokrasi di bawah Jokowi
2022.10.20
Jakarta
Indonesia mengalami kemunduran demokrasi di bawah kepemimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, dengan maraknya pembatasan kebebasan sipil dan pengawasan yang dilakukan pihak kepolisian, kata kelompok hak asasi manusia KontraS pada Kamis (20/10).
Dalam laporan setebal 45 halaman, KontraS memaparkan bagaimana iklim kebebasan semakin memburuk dalam tiga tahun periode kedua Jokowi, dengan adanya kasus penangkapan sewenang-wenang dan serangan terhadap pembangkang pemerintah.
“Hal itu menyebabkan masyarakat merasa takut. Masyarakat juga memiliki ruang yang sangat minim untuk dapat menyuarakan secara bebas kritiknya terhadap pemerintahan,” kata Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti dalam keterangan pers di Jakarta.
Pada 2020 lalu misalnya, sebanyak 5.198 mahasiswa ditangkap tanpa alasan yang jelas dan 87 orang diantaranya harus mendekam di penjara, kata KontraS dalam laporan berjudul Catatan 3 Tahun Pemerintahan Joko Widodo – Ma'ruf Amin Tiga Tahun Bekerja, Kemunduran Demokrasi Kian Nyata.
Terbaru, pada September lalu, awak dan kru media Narasi mendapatkan serangan digital berupa upaya pengambilalihan akun WhatsApp, Facebook, Telegram dan Instagram.
“Ancaman dan serangan juga menyasar pada mereka yang aktif menyatakan pendapat di ruang digital,” kata Fatia. “Dengan UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) yang tak kunjung direvisi oleh pemerintah masyarakat kian enggan karena takut dikriminalisasi.”
Adapun bentuk pelanggaran terhadap kebebasan digital sekaligus hak atas privasi terus dilakukan dalam berbagai cara seperti doxing (penyebaran informasi pribadi), peretasan dan berbagai serangan digital lainnya.
Dalam merumuskan laporan ini, KontraS mengambil data dengan beberapa metode seperti pemantauan media selama tahun ketiga pemerintahan Jokowi – Ma’ruf Amin, pendampingan hukum, data jaringan, serta catatan advokasi kebijakan yang dilakukan oleh KontraS.
Pemerintahan Jokowi juga dinilai KontraS tak membuahkan hasil dalam hal penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Terdakwa pensiunan Mayor Inf. Isak Settu menjadi tersangka satu-satunya dengan tuduhan pelanggaran HAM dalam kasus penembakan empat pemuda dan melukai 17 orang lainnya pada 2014 di Kabupaten Paniai, Papua.
Komnas HAM yang turut menginvestigasi peristiwa itu menyatakan kasus tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat.
“Penyelesaian pelanggaran HAM berat di kepemimpinan Jokowi-Maruf banyak keluar jalur. Penyelesaian kasus Paniai tidak terlalu baik karena hanya ditetapkan satu tersangka saja,” kata Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Tioria Pretty Stephanie.
Isak menjalani sidang perdana bulan lalu di pengadilan negeri Makassar, Sulawesi Selatan. Ia dijerat pasal berlapis menurut UU pengadilan HAM dengan ancaman 20 tahun penjara.
Dalam kampanye pemilihan presiden 2019, Jokowi berjanji akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Namun Jokowi juga memberikan jabatan kepada orang-orang yang dituduh terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu, termasuk mantan panglima TNI Wiranto dan mantan komandan Kopassus Prabowo Subianto.
“Ini tentu akan menyulitkan agenda penuntasan kasus pelanggaran HAM dan tata kelola yang berbasis HAM,” kata Tioria.
KontraS juga mencatat reformasi kepolisian merupakan agenda yang tak kunjung dilakukan oleh pemerintah. Hal ini mengakibatkan banyak kasus besar yang terjadi dilatarbelakangi oleh anggota polisi dan militer.
“Ada upaya untuk mengaburkan informasi dengan memberitakan hal yang hanya dipegang kebenarannya hanya kepolisian yang tahu. Hal ini dilihat dari upaya kepolisian yang menutupi sejumlah fakta dan peristiwa dengan melakukan penghapusan barang bukti,” ujar perwakilan KontraS itu.
“Ini sangat berbahaya karena kejahatan tersebut akan terus berulang dan reformasi Polri tidak akan pernah berjalan,” lanjutnya.
Laporan the Economist Intelligence Unit menunjukkan skor indeks demokrasi di Indonesia cenderung menurun di era pemerintahan Jokowi. Bahkan skor indeks demokrasi Indonesia sempat mencapai yang terendah dalam satu dekade terakhir yaitu di angka 6,3 pada 2020.
Indeks demokrasi Indonesia sempat mencapai yang tertinggi di tahun 2015 di angka 7,03 namun turun pada 2016 (6,97), dan turun lagi menjadi 6,3 di tahun 2017 dan 2018.
KSP: Angka kemiskinan turun
Deputi IV Kantor Staf Presiden (KSP), Juri Ardiantoro tidak merespons permintaan BenarNews untuk memberikan komentar terhadap laporan KontraS. Sementara Juru Bicara Wakil Presiden, Masduki Baidlowi, menolak berkomentar.
Sementara itu dalam pemaparan tiga tahun kinerja Jokowi- Ma'ruf, kepada wartawan di Istana Negara, Kepala KSP Moeldoko mengatakan angka kemiskinan menurun drastis di masa tiga tahun pemerintahan pasangan itu.
Ia merinci, per Maret 2022, angka kemiskinan turun 9,54 persen atau 26,16 juta orang dari sebelumnya 9,71 persen. Kemudian, per 21 September angka kemiskinan turun 3,79 persen dari sebelumnya 4 persen.
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih cukup baik di angka 5,2 persen dengan inflasi 4,9 persen. Dibandingkan berbagai negara di dunia, Indonesia masih menempati posisi cukup baik.” kata Moeldoko.
“Komunikasi satu arah”
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati, mengatakan demokrasi Indonesia mengalami penurunan karena partisipasi masyarakat terbatas.
“Kebebasan tidak dibungkam habis-habisan sih, tapi karena pandemi tidak ada negosiasi antara negara dan masyarakat,” ujar Wasisto kepada BenarNews.
“Negara sebagai pengontrol masyarakat seperti komunikasi satu arah. Selama pandemi ini negara seolah melegitimasi diri apa yang dilakukan pemerintah sudah sesuai kebutuhan rakyat,” kata dia.
“Penyelesaian kejahatan kemanusiaan masa lalu belum terealisasi. Sisa dua tahun pemerintahan bagus jika fokus dalam hal ini karena pemerintah jarang menyentuh hal itu,” ujarnya.
Dosen Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Caroline Paskarina, menyebut penurunan kualitas demokrasi ini merupakan fenomena global.
“Ini berarti demokrasi elektoral melalui Pemilu tidak menjadi melahirkan pemimpin yang mampu mensejahterakan rakyat,” kata dia.
Menurut dia, pandemi juga turut berdampak pada demokrasi sehingga respons yang dilakukan adalah banyak pemerintahan suatu negara yang membatasi informasi. Disisi lain, kata dia hoaks menyebar secara luas, bahkan menjadi apa yang disebut infodemik.
“Upaya pemerintah untuk menangani banyak hoaks ini ternyata ditangani secara represif menggunakan berbagai pendekatan yang cenderung berdampak pada kebebasan sipil,” kata Caroline.