Irman Gusman Dicopot dari Ketua DPD
2016.09.19
Jakarta

Irman Gusman resmi diberhentikan dari jabatan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menyusul ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap Rp100 juta untuk proses pengurusan kuota gula impor di Sumatra Barat.
Keputusan itu diambil setelah Badan Kehormatan (BK) DPD menggelar rapat pleno, Senin malam, 19 Januari 2016, yang menghadirkan dua ahli hukum tata negara yakni Refly Harun dan Zain Badjeber untuk didengarkan pandangannya.
"Setelah melakukan proses dengar pendapat dengan ahli hukum tata negara dan Sekretaris Jenderal DPD, saudara Irman Gusman diberhentikan dari jabatan Ketua DPD," ujar AM Fatwa, Ketua BK DPD dalam jumpa pers usai rapat pleno.
Hasil rapat selanjutnya akan dibawa ke rapat paripurna yang diadakan Selasa, 20 September 2016.
Walau diberhentikan dari jabatan ketua, Irman tetap berstatus sebagai anggota DPD dan statusnya itu akan ditentukan setelah ada keputusan hukum tetap.
Irman ditangkap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan di rumah dinasnya di Jakarta, Sabtu, 17 September 2016 dini hari.
Dalam operasi itu, KPK menyita bukti uang tunai Rp100 juta yang diduga diterima Irman sebagai hadiah dari Direktur Utama CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto dan istrinya, Memi, terkait pengurusan kuota gula impor di Sumatra Barat yang diberikan Badan Urusan Logistik (Bulog) tahun 2016.
Disayangkan
Penggiat antikorupsi menyayangkan kasus suap melibatkan Irman yang diduga memperdagangkan pengaruhnya sebagai pejabat tinggi negara.
“Hal ini tidak seharusnya terjadi pada Irman karena posisinya sebagai Ketua DPD yang kewenangannya terbatas, namun malah disalahgunakan,” ujar Ahmad Hanafi, Direktur Indonesian Parliamentary Center kepada BeritaBenar, Senin siang.
“Tidak sepatutnya Irman kena operasi tangkap tangan seperti itu,” tambahnya.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, juga menyayangkan Irman terlibat kasus dugaan suap ini, terlepas dari jumlah uangnya yang oleh sebagian kalangan dianggap terlalu kecil untuk ditangani KPK.
Menurutnya, tidak ada batasan nominal dalam operasi tangkap tangan dugaan suap atau gratifikasi yang KPK lakukan, kecuali kasus dugaan korupsi yang memiliki unsur kerugian negara yang batas minimal nominalnya adalah Rp 1 miliar.
“Kedua hal ini harus dibedakan dan kalau ada kritik terhadap KPK karena menangani kasus dengan nominal kecil, hal itu jangan digunakan untuk delegitimasi kasus Irman,” ujar Dahnil kepada BeritaBenar.
Dalam kasus ini, Dahnil mengatakan Irman sudah menyalahgunakan pengaruh dan nama besarnya sebagai pejabat tinggi negara.
“Kekuasaan bila tidak dibingkai dengan sikap amanah dapat menimbulkan sikap memperdagangkan pengaruhnya. Dalam konteks ini pejabat publik harus tahu bahwa kekuasaannya adalah amanah,” ujar Dahnil.
Ahmad menambahkan bahwa dia yakin jika KPK sudah sangat teliti dalam penyidikan sampai akhirnya melakukan operasi tangkap tangan terhadap Irman.
Menurutnya, korupsi di kalangan pejabat negara masih banyak karena hukum pidana yang ada belum bisa memberikan efek jera. Alasannya bila dijatuhkan hukuman penjara pada akhirnya bisa diperpendek dengan pemberian remisi.
“Uang yang diganti ke negara juga tidak seberapa dengan jumlah yang sudah dikorupsi,” ujar Ahmad.
Sistem yang ada di parlemen, tambahnya, juga memungkinkan terjadi penyalahgunaan wewenang sehingga mungkin saja ada yang tadinya tidak punya niat untuk korupsi tapi bisa terjerumus karena ada kesempatan.
“Teorinya korupsi bisa terjadi bila ada niat, ada kesempatan, dan resiko yang sudah diperhitungkan,” ujar Ahmad.
Kampanye antikorupsi
Menanggapi ditangkapnya Irman, Presiden Joko “Jokowi” Widodo meyakini bahwa KPK telah menangani kasus yang menjadi kewenangannya dengan sangat profesional dan menghormati proses hukum yang berjalan di KPK terhadap siapapun.
“Pada kesempatan kali ini saya juga menegaskan, stop korupsi untuk siapapun,” ujar Jokowi saat menghadiri pembagian bahan makanan di Desa Linggar, Kecamatan Rancaekek, Bandung, akhir pekan lalu.
KPK menetapkan Irman, Xaverius dan Memi sebagai tersangka, Sabtu, 17 September 2016.
Sebagai pemberi suap, Xaverius dan Memi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara sebagai penerima, Irman disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau atau Pasal 11 dalam undang-undang yang sama.
Irman adalah senator mewakili Sumatra Barat dan selama ini dikenal sebagai tokoh yang kerap mengampanyekan antikorupsi.
Dia pernah menjadi pembicara dalam Festival Antikorupsi (Festa) tahun 2015 yang dilaksanakan oleh KPK dan pemerintah kota Bandung di Institut Teknologi Bandung, Desember lalu.
Di acara itu, Irman membubuhkan cap telapak tangan sebagai simbol pemberantasan korupsi dan menulis pesan anti korupsi yang berbunyi, “Mari kita bangun negeri yang bersih dari korupsi, sehat, dan pintar menuju Indonesia yang hebat dan bermartabat.”
Kiprah Irman sebagai pejabat negara juga telah diakui dengan dianugerahi Tanda Jasa Bintang Mahaputera Adipradana pada tanggal 13 Agustus 2010.
Bintang jasa itu adalah penghargaan bagi mereka yang berjasa bagi negara di berbagai bidang yang bermanfaat untuk kemakmuran, kemajuan, dan kesejahteraan.