Penerbitan SPDP atas KPK Dinilai ‘Serangan Balik’ Novanto

Pengamat berharap kasus ini tidak berkembang menjadi konflik baru ‘cicak dan buaya’.
Arie Firdaus
2017.11.09
Jakarta
171109_ID_SN_1000.jpg Ketua DPR, Setya Novanto ketika menjadi saksi kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 3 November 2017.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Penerbitan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) atas nama pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo dan Saut Situmorang menindaklanjuti laporan dari pengacara Setya Novanto, dinilai sebagai "serangan balik" kubu Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu yang kini menjadi tersangka kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).

"Sangat bisa dimaknai seperti itu," kata pengamat politik Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago, kepada BeritaBenar, Kamis, 9 November 2017.

Tak jauh berbeda penilaian pengamat hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Achmad.

"Makanya kasus ini harus dianggap serius. SPDP itu artinya kan sudah ditemukan unsur pidananya. Jika sudah ditemukan alat bukti maka bisa ditetapkan tersangka. Apalagi ini diterbitkan kurang dari sebulan sejak dilaporkan,” ujarnya, “karena jika disebut penyalahgunaan wewenang, pencekalan kan salah satu kewenangan KPK," kata Suparji.

"Bisa-bisa ini nanti menjadi pemicu konflik baru 'cicak-buaya'," tambah Suparji.

Istilah "cicak-buaya" bermula dari pernyataan eks-Kabareskrim Polri, Susno Duaji, pada 2009 yang menganalogikan KPK sebagai “cicak” yang hendak melawan kepolisian yang dianalogikan sebagai “buaya”. Susno melontarkan pernyataan itu setelah dirinya disadap KPK yang ingin mengungkap kasus Bank Century.

Kasus tersebut menyeret dua Wakil Ketua KPK saat itu Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah sebagai tersangka penyelewengan wewenang.

Aktivis dari Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia, Boyamin Saiman, mengkritik sikap kepolisian yang dinilai terhitung cepat menerbitkan surat perintah terhadap Agus dan Saut.

"Apa yang mereka lakukan ini layak dipertanyakan. Karena jika melihat kebutuhan lebih besar, pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas ketimbang laporan Novanto," kata Boyamin.

"Kepolisian pun seharusnya melihat bahwa apa yang mereka lakukan ini justru akan dimaknai sebagai wujud melemahkan KPK."

Dikutip dari laman Tribunnews, Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian menepis pendapat yang menilai penerbitan SPDP dua pimpinan KPK itu berpotensi menimbulkan konflik lanjutan 'cicak-buaya'.

"Enggak ada. Saya selaku Kapolri sangat mendukung proses penegakan hukum," katanya.

‘Berharap tak terulang’

Ketua KPK Agus Rahardjo serta Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dilaporkan salah seorang kuasa hukum Novanto, Sandy Kurniawan, ke Bareskrim Polri atas dugaan penyalahgunaan wewenang dan pembuatan surat palsu perpanjangan pencegahan terhadap Novanto pada 9 Oktober 2017.

Laporan tersebut ditindaklanjut polisi dengan menerbitkan SPDP pada 7 November, ditandatangani Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim, Herry Rudolf Nahak.

Keduanya diduga melanggar Pasal 263 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP dan/atau Pasal 421 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara. Hanya saja, dalam SPDP itu tak dirinci ihwal objek perkara.

Kepada BeritaBenar, juru bicara Mabes Polri, Setyo Wasisto, juga enggan merinci objek perkara, termasuk peran Agus dan Saut.

"Saya tidak bisa detail. Nanti saja ditunggu hasil pemeriksaan. Yang jelas sejak kemarin sudah naik ke penyidikan. Tapi (status Agus dan Saut) masih terlapor," pungkas Setyo.

Sejauh ini, kepolisian menyatakan telah memeriksa enam saksi, terdiri dari masing-masing seorang ahli bahasa dan tata negara, serta tiga orang ahli pidana.

Adapun juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan KPK telah menerima SPDP atas nama dua pimpinannya. Ia percaya kepolisian bisa bersikap profesional merespons laporan itu.

"Karena jika yang dipermasalahkan adalah surat permohonan pencegahan ke luar negeri untuk Setya Novanto, itu adalah kewenangan KPK," kata Febri saat dihubungi.

Dia merujuk Pasal 25 UU Tipikor yang mengatur bahwa kasus korupsi harus didahulukan ketimbang perkara lain, dalam hal ini aduan kubu Novanto.

"Maka kami berharap tidak terulang pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka," ujarnya.

Selain Bibit Samad dan Chandra Hamzah, dua pimpinan KPK lain juga sempat ditetapkan tersangka oleh kepolisian, yakni Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.

Serupa dengan dua nama awal, kasus Samad dan Bambang kemudian dihentikan oleh Kejaksaan Agung setelah terungkap adanya rekaman rekayasa kasus.

Tertib hukum

Kuasa hukum Novanto, Friedrich Yunadi, membantah melakukan "serangan balik" terhadap KPK.

Melainkan, katanya, sekadar sebagai langkah menertibkan KPK terhadap hukum. Ia merujuk pada keputusan hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menyebutkan bahwa KPK tidak boleh menyidik kliennya setelah menang praperadilan, 1 Oktober lalu.

"Kan sudah jelas. Artinya KPK tidak boleh lagi melakukan penyidikan, apapun alasannya," kata Friedrich kepada BeritaBenar.

Novanto kembali ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut menyusul beredarnya SPDP KPK atas Novanto bertanggal 3 November 2017.

"Kalau dilanjutkan seperti sekarang, berarti melawan. Makanya sekarang kami jerat dengan pidana."

Novanto ditetapkan tersangka oleh KPK pada 17 Juli lalu, tapi tak sekalipun menghadiri pemeriksaan di KPK dengan alasan sakit, sampai akhirnya status tersangkanya gugur di sidang praperadilan.

Ketika bersaksi untuk terdakwa Andi Narogong yang didakwa turut mengatur proyek, Novanto berulang kali membantah keterlibatannya dalam proyek yang merugikan negara Rp 2,3 triliun --dari total nilai proyek Rp 5,9 triliun.

Tiga orang kini bersatus tersangka dalam kasus e-KTP, yakni Markus Nari, Anang Sugiana Sudihardjo, dan Miryam Haryani.

Sedangkan dua pejabat Kemendagri yakni Irman dan Sugiharto telah divonis masing-masing tujuh dan lima tahun penjara.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.