HRW: Permainan Politik Picu Diskriminasi Terhadap LGBT

Arie Firdaus
2016.08.11
Jakarta
160808_ID_LGBT_1000.jpg Seorang aktivis pro LGBT meringkuk dikelilingi polisi ketika terjadi bentrok antara kelompok pro dan anti LGBT di Yogyakarta, 23 Februari 2016.
AFP

Permainan politik di Indonesia dinilai menjadi pemicu serangan dan ancaman keamanan terhadap kelompok minoritas, termasuk LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender).

Demikian laporan penelitian berjudul “Permainan Politik Ini Menghancurkan Hidup Kami: Komunitas LGBT Indonesia di Bawah Ancaman”, yang dikeluarkan Human Rights Watch (HRW) d Jakarta, Kamis, 11 Agustus 2016.

Seperti dinyatakan dalam laporan setebal 58 halaman itu, permainan politik terlihat dari seringnya ujaran kebencian terhadap kaum LGBT yang digunakan sebagai "jurus" untuk meraup suara atau menarik simpati dari masyarakat.

Menurut catatan HRW, setidaknya ada beberapa hasutan kebencian terhadap LGBT yang pernah disampaikan aparat pemerintahan Indonesia, seperti pernyataan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir, Januari lalu.

Dia melarang organisasi mahasiswa pro-LGBT didirikan di kampus-kampus di Indonesia. Pernyataan itu disampaikannya, menyusul keberadaan kelompok Support Group and Research Center on Sexuality Studies (SGRC) di Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat.

Adapula pernyataan Wali Kota Tangerang Arief Wismansyah yang menyebutkan bahwa “susu formula bisa membuat anak menjadi gay”.

Atau, pernyataan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan yang menyebut homoseksual seharusnya dilarang di Indonesia karena tak sesuai dengan budaya lokal. Ia pun menolak gerakan LGBT.

"Tindakan diskriminatif para pejabat dan lembaga-lembaga negara Indonesia secara gamblang menyingkap betapa dalam dan luasnya prasangka pemerintah dan ini belum kelihatan akan berakhir," kata Kyle Knight, peneliti hak-hak LGBT di HRW yang juga penulis laporan itu, dalam siaran pers.

"Retorika anti-LGBT juga mengungkap keengganan pemerintah untuk berdiri di antara minoritas yang terpinggirkan dan para penyerangnya –sebuah kegagalan mendasar untuk memberi perlindungan --setara dengan kegagalan Indonesia akhir-akhir ini dalam memberikan perlindungan terhadap agama-agama minoritas.”

Pernyataan Jubir Presiden

Jurubicara Presiden Joko Widodo, Johan Budi, yang dikonfirmasi terkait laporan HRW itu menyebutkan, sebagai warga negara, siapapun akan dilindungi hak-haknya oleh negara jika mereka mengalami kekerasan, “jadi tidak melihat kecenderungan seksualnya.”

"Namun kalau LGBT diartikan sebagai gerakan untuk mempengaruhi pihak lain, misalnya untuk mengikuti menjadi seperti mereka, maka itu tidak dibenarkan dan tidak ada ruang di sini," ujar Johan Budi.

Aktivis LGBT Dede Oetomo sejalan dengan laporan HRW. Menurutnya, sikap homofobia yang masih tinggi kerap kali digunakan dalam permainan politik.

Tarikan permainan itu, kata Dede, bahkan lebih besar jika dibandingkan era Orde Baru. Ia mencontohkan banyaknya politikus di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang angkat suara terkait LGBT setelah kasus SGRC di UI mencuat awal tahun ini.

"Zaman dahulu terhitung lebih aman," kata Dede kepada BeritaBenar.

"Masa kita kalah dengan Belize, negara di Afrika? Mereka baru saja mencabut pasal diskriminasi LGBT. Kita, kok, malah uji materi di Mahkamah Konstitusi?" kata Dede mengacu pada sejumlah kalangan konservatif yang tergabung dalam kelompok Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) yang belakangan ini mengajukan permohonan perubahan pasal KUHP di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mempidanakan pelaku homoseksual. Jika perubahan tersebut disetujui, kaum LGBT bisa berisiko dipidana penjara lima tahun.

Sebatas jargon

Sejalan dengan laporan HRW dan pernyataan Dede, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nur Khoiron mengatakan, semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menyanjung keberagaman sejauh ini memang masih sebatas jargon di tanah air.

"Sehingga, masih banyak yang memaksa pemikiran dan nilai-nilai mereka kepada orang lain," ujarnya saat dihubungi BeritaBenar.

Menurut Khoiron, Komnas HAM juga pernah membuat penelitian serupa, seperti  yang dilakukan HRW. Hasilnya, tak jauh berbeda, dimana penghargaan terhadap kelompok minoritas seperti homoseksual masih sangat rendah.

"Masih terbentur moralitas pribadi atau pendapat bahwa homoseksual itu penyakit mental," ujar Khoiron lagi.

Meski begitu, tambahnya, Komnas HAM tak akan berhenti membantu memberikan perlindungan bagi kaum LGBT dan kelompok minoritas lainnya.

"Kami harus menyampaikan informasi yang benar kepada masyarakat," tegasnya.

Laporan tak komprehensif

Salah satu organisasi Islam besar di Indonesia, Muhammadiyah, meragukan kesahihan laporan penelitian HRW. Seperti disampaikan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Kebijakan Publik Busyro Muqoddas, laporan tersebut tidak komprehensif.

"Ada pernyataan dari pemerintah, enggak?" kata Busyro. "Kalau tidak ada, berarti itu sepihak. Kan tidak seimbang."

Muhammadiyah selama ini memang dikenal vokal menentang keberadaan kaum LGBT. Pimpinan Muhammadiyah lain, Yunahar Ilyas, bahkan pernah menilai perilaku LGBT menular. Pendapat itu berpijak dari fakta bahwa pasangan LGBT tak bisa menambah keturunan.

"Karena itu, mereka berusaha menyebarluaskan perilaku LGBT melalui penularan," kata Yunahar, seperti dikutip dari laman Republika.

"Untuk itu, melakukan penularan-penularan dirasa sebagai sebuah kewajiban para LGBT mempertahankan eksistensi mereka."

Sikap Muhammadiyah tak berbeda dengan organisasi Islam besar di Indonesia lainnya, yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Seperti disampaikan seorang pimpinan PBNU, Miftahul Akhyar, LGBT melanggar fitrah manusia sehingga keberadaannya di Indonesia harus ditolak.

Saat ini tidak ada hukum  yang melarang keberadaan LGBT di Indonesia, kecuali di Provinsi Aceh yang memberlakukan hukum Syariah. Namun demikian kaum minoritas yang sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia ini mendapat tentangan keras beberapa tahun belakangan ini dari kaum konservatif.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.